Part 8

7 0 0
                                    

Melviano Rafisqy Gunadhya

Setelah menempuh perjalanan via udara Jakarta-Makassar selama kurang lebih dua setengah jam, dilanjut perjalanan via darat menuju Kabupaten Bone selama kurang lebih lima jam hingga ke pusat kota, lalu setengah jam menuju ke pelabuhan Bajoe. Terakhir, dua jam perjalanan via laut menyeberang ke Pulau Boyan. Akhirnya, pantat gue bisa bersantai sedikit. Gila, total sepuluh jam perjalanan untuk bisa sampai ke pulau ini via udara, darat, dan laut. Benar-benar terpencil !

Dan yang bikin lebih gila lagi, bener-bener nggak ada signal cuy ! Bahkan buat nelpon nggak ada !!! Emang sih Maryam udah mewanti-wanti gue sebelumnya. Tapi tetap aja setelah mengalaminya sendiri gue kaget. Akhirnya gue memutuskan untuk memasukkan ponsel gue ke dalam tas. Udah nggak ada gunanya juga. Yah lumayanlah dua minggu ponsel gue istirahat dulu dari segala aktivitasnya. Tapi guys masih ada yang lebih parah lagi yaitu LISTRIK. Ya ampun, sekarang udah malam dan sumber listrik yang gue liat di sepanjang rumah warga cuma lentera.

Kami pun dipersilahkan untuk beristirahat di rumah kepala desa yang orang-orang panggil dengan sebutan Pak Karim. Pak Karim tinggal sendiri, istrinya udah meninggal dari lima tahun lalu. Anaknya ada dua tapi semuanya pada merantau ke Makassar. Kata Pak Karim, meskipun tinggal di pulau terpencil dia nggak mau kalau anaknya kurang pendidikan. Jadi, Pak Karim merelakan anaknya untuk merantau jauh dan katanya udah hampir tiga tahun nggak pernah pulang.

Pak Karim pun telah menyediakan dua kamar tidur, satu buat gue dan satu buat Allura. Jujur ya diantara semua rumah yang ada di pulau ini, cuma rumah Pak Karim yang terbuat dari semen dan bata. Rumah warga yang lain gue liat hanya berupa rumah panggung.  Bener-bener menandakan bahwa kedudukannya di pulau ini paling tinggi. Gue denger-denger sih emang yang jadi kepala desa di pulau ini udah turun temurun dari keluarga Pak Karim karena memang mereka yang paling berada. Rumahnya Pak Karim juga lumayanlah karena ada lampu di ruang makannya yang nyambung dengan dapur. Tapi di ruang tamu dan kamar tidur tetep aja pakai lentera.

Berbeda dengan gue yang udah nyaris tepar. Allura justru masih terlihat ceria-ceria aja. Seolah perjalanan sepuluh jam itu nggak ada apa-apanya buat dia. Keren juga nih cewek. Mungkin ini yang dimaksud Maryam kalau cewek ini nggak seperti yang gue bayangkan.

"Melviano ! Yuk kita pergi mancing."

"Hah ? Kita baru nyampe Lura." kata gue berusaha sedikit memperingatkan. Gila aja udah sepuluh jam pantat gue terus menerus berciuman dengan kursi dan sekarang dia ngajak gue mancing? Mau bikin pantat gue tepos ???

"Katanya Pak Karim mau pergi mancing ikan buat makan malam, ikut yuk !"

Gue masih berniat untuk nolak tapi si ceriwis ini udah narik tangan gue duluan. Akhirnya pasrah deh gue diseret ke pantai. Kami menumpangi sebuah boat milik warga menuju sebuah perahu yang cukup besar yang udah markir di tengah laut. Ternyata disana udah ada Pak Karim yang sibuk membakar ikan, ditemani cowok yang tampaknya berumur tiga puluhan yang sedang memancing. Ada pula seorang wanita paruh bayah yang sibuk menata meja makan dengan berbagai hidangan laut dan sambel-sambelnya. Bikin perut gue keroncongan.

"Pak, mau bantu mancing nih Pak !" seru Lura ke Pak Karim. Gila nih anak udah sok akrab aja sama Pak Karim.

"Oh mau ? Nggak capek Nak ?"

"Nggak dong Pak, masih muda ini." sahut Lura santai sambil mengangkat lengannya seolah-olah memamerkan ototnya. Ini anak baterainya nggak ada matinya kali ya ?

"Fariz, ini dua anaknya Bapak mau ikut bantu mancing katanya." seru Pak Karim membuat lelaki yang disebut Fariz ini terseok-seok berlari ke arah kami memperkenalkan diri.

"Ini Dek alatnya." Fariz memberikan gue dan Lura alat pancing buat masing-masing. Begitu alat pancing itu mampir di tangannya, Lura segera berlari kecil mengikuti Fariz untuk memulai aksi mancing manianya. Dengan semangatnya, Lura mengikuti instruksi Fariz tentang tata cara memancing yang baik. Gue yang sebelumnya udah ada pengalaman memancing sama bokap dulu dengan santai dan sedikit malas ikut berdiri di sebelah Lura sambil memulai aksi gue. Belum genap lima belas menit, seekor ikan yang ukurannya lumayan besar udah terjerat alat pancing gue. Lura yang masih belum mendapatkan apa-apa akhirnya terbelalak kaget lalu berseru senang.

"Wah !!! Hebat banget lo Mel ! Baru sebentar udah dapet aja. Tangan lo pasti beruntung." seru Lura sambil menepuk-nepuk kedua tangannya. Gue hanya membalas dengan tertawa jumawa.

"Duh gue jadi iri, gimana sih caranya ?" Lura masih berusaha mengarahkan alat pancingnya, sedangkan Fariz sudah ikut bergabung dengan Pak Karim di pembakaran. Akhirnya dengan insting gentleman gue, gue mendekat ke Lura dan membantunya mengarahkan alat pancing itu. Membuat tangan gue otomatis melingkupi tangan Lura yang memegang alat pancing. Sejenak, gue bisa merasakan tubuh cewek itu menegang. Tapi nggak lama karena secepat mungkin Lura kembali merilekskan dirinya. Gue tertawa kecil menyadari reaksi Lura. Ternyata masih punya malu juga.

Belum berapa menit, Lura merasakan pancingannya ditarik-tarik. Gue pun membantu dia menarik tali dan benar saja sudah ada seekor ikan yang terjerat disana. Meskipun nggak sebesar yang gue dapetin tadi tapi Lura sudah berteriak dan melompat-lompat heboh membuat perahu terasa sedikit bergoyang.

"Heh, heh, sadar woi. Lo mau kapal ini karam !" seru gue biar nih anak kembali kesadarannya.

"Habis gue seneng banget Mel akhirnya berhasil juga. Emang ya nggak ada yang bisa terbebas dari jeratan seorang Allura Clandara Madava."

"Mel, mel. Jangan panggil gue gitu ! Gue berasa cewek. Panggilan gue Vian, biasa dipanggil Yan!!!" Gue berusaha menekankan setiap suku kata dari nama panggilan gue.

"Ya habis udah kebiasaan,"

"Jangan dibiasain !"

"Iya..iya.." Lura merengut sebal mendengar protesan gue membuat bibirnya sedikit mengerucut. Gemes juga. Rasanya gue pengen ngacak-ngacak rambutnya, tapi gue tahan karena kita belum seakrab itu. Bisa-bisa gue di judge PK lagi.

"Lura, Vian. Sini Nak makan dulu !" panggil wanita paruh baya yang mengatur meja tadi. Namanya Bu Eda, dan dia adalah adik dari Pak Karim. Ia tinggal di rumah sebelah Pak Karim.

"Wahhh keren bangett !!!" Lura kembali terkesima melihat masakan yang terhidang di meja. Gue juga sih sempat takjub soalnya hidangannya bener-bener berasa di rumah makan seafood. Nilai plusnya karena hidangannya bener-bener segar karena fresh from pancingan.

"Jadi kalau waktu makan kita ke rumahnya Bu Eda, dia yang selalu sediain makanan buat saya. Kalau saya mah cuma bisa masak air." Jelas Pak Karim di sela-sela menyantap ikan bakar.

"Ohya Pak besok udah siap kan untuk wawancara pertama seputar pulau ini ?" tanya Lura kemudian.

"Siap dong !"

"Asyik !!! Pokoknya besok yang ganteng Pak, pakai baju paling bagus soalnya nanti mau tayang di Youtube loh Pak. Bakal diliat semua orang. Kali aja ada yang kecantol Pak" seru Lura lagi membuat orang-orang yang ada di meja makan terkekeh geli. Cewek ini emang bisa banget memeriahkan suasana.

"Wah saya mah mau gimanapun dandanannya muka tetap begini Nak Lura."

"Tenang Pak ! Biar saya dandanin, rambutnya saya bikin jadi keren pake pomadenya Melviano. Ya kan ?"

"Hah ? Gue nggak punya!" Gue tersentak kaget dengan serangan tiba-tiba itu. Lagian gue bukan tipe cowok yang menggunakan barang seperti itu.

"Ih dasar ketinggalan jaman banget. Ya udah besok pokoknya saya dandanin Pak. Dijamin Bapak bakal jadi kayak papa-papa muda yang nggak kalah sama sugar daddy." Seisi meja kembali tertawa dengan celotehan Allura. Meskipun gue tahu orang-orang disini pada nggak ngerti sugar daddy yang dimaksud Lura. Duh, bener-bener bikin gemes nih cewek.

Lost & LookingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang