Allura Clandara Madava
Malam pertama gue di pulau telah berakhir. Untuk pertama kalinya gue bangun dalam suasana pagi yang begitu segar. Bahkan ajaibnya, gue terbangun oleh suara kokok ayam. Bukan gue banget sebenarnya. Kalau dulu-dulu alarm dan telepon mama lah yang bisa memicu kesadaran gue. Sekarang tubuh gue seperti bereaksi sendiri mendengar kokok ayam. Duh berasa sehat banget gue.
Gue pun membuka sedikit jendela kamar. Ternyata masih gelap. Jam masih menunjukkan pukul lima subuh. Setelah mencuci muka, sikat gigi, dan menunaikan shalat subuh, gue mengenakan sweater dan keluar kamar. Masih sunyi. Si Melviano kayaknya juga belum bangun. Gue pun melangkah pelan menuju pintu utama takut membangunkan Pak Karim ataupun Melviano. Gue buka perlahan pintunya, kebetulan cuma dikunci pakai pengait.
Dengan bermodalkan sandal swallow, gue berjalan menyusuri jalan-jalan kecil diantara rumah-rumah warga. Saat pemandangan pantai mulai terlihat, gue dengan semangat mempercepat langkah. Gue pun mendudukkan diri di atas pasir pantai menikmati air laut yang maju mundur mengenai ujung kaki gue. Oh My God ! Gue kalau disuruh tinggal disini selamanya juga mau. Apa gue menikah aja ya sama warga desa disini biar bisa hidup sederhana dan selalu menghadapi pagi yang seindah ini ? Tiba-tiba khayalan gue terusik oleh suara Senna Jovianne yang melintas begitu saja di benak gue. Sebelum gue berangkat kemarin dia berulang kali ngingetin gue buat nggak mikir sembarangan kalau lagi di kampung orang. Katanya kadang pikiran-pikiran itu bisa kejadian. Ya, bukannya gue nggak mau hidup disini selamanya. Bagaimanapun kan gue masih harus kuliah. Perjuangan jadi dokter lama soalnya.
Lamunan gue lagi-lagi terbuyarkan karena sebuah kain yang tiba-tiba aja tersampir di pundak gue. Gue menoleh dan mendapati Melviano sudah ikut duduk disamping gue. ternyata dia yang menyampirkan sarung di pundak gue. Gue sempat mengendus-endus baunya sebelum cowok itu negur gue.
"Masih bau baru kok, belum pernah dipakai."
Ya bukannya gue sudzon nih. Gue cuma takut aja dia nyampirin sarung bekas dipake tidur semalam. Kan rada aneh gitu. Jadi gue mengendus cuma buat tindakan pencegahan aja.
Gue kembali melirik Melviano yang memakai jaket. Tapi bahannya kayaknya lebih tipis dari sweater gue. Gue berpikir sebentar. Karena nyokap gue selalu mengajarkan buat berbagi maka nggak ada salahnya kalau gue menerapkan itu. Gue bergeser sedikit, melonggarkan sampiran sarung Melviano dan menyampirkan sebelah sisinya ke pundak Melviano. Jadi posisinya sekarang kami berdua lagi duduk bersisian diselimuti oleh sarung cap kaki gajah milik Melviano ini. Melviano kayaknya sempat kaget dengan perlakuan gue, tapi dia tetap diam.
"Kalau nggak nyaman bilang aja," seru gue mencoba mengerti. Gue sadar diri kok kadang-kadang gue ini agresif dan nggak semua orang bisa menerima keagresifan gue.
"Nyaman kok." Gue tersenyum simpul mendengar jawabannya. Duh, mimpi apa gue semalem ? Pagi-pagi gini udah duduk berdua bareng cowok manisan ganteng sambil memandangi matahari terbit di tepi pantai. Oh betapa sempurnanya hidup.
"Kenapa lo nerima proyek ini ?" tanya Melviano setelah beberapa saat hening. Gue berpikir sebentar untuk menemukan jawaban yang simpel.
"Bukan menerima. Lebih tepatnya gue yang mengajukan proyek ini."
Melviano langsung memutar badannya sembilan puluh derajat agar bisa melihat gue. Hampir saja sarung di pundaknya jatuh tapi berhasil gue tahan.
"Jadi lo yang bikin gue terjebak disini ?"
"Oh jadi lo nggak suka terjebak sama gue disini ?" tanyaku dengan tetap tenang tanpa menoleh ke arahnya.
"Bukan gitu..."
"Terus apa ?"
"Kenapa lo mengajukan proyek ini ? Kenapa harus di desa terpencil kayak gini?"
"Karena gue suka hal-hal menantang !!!"
Melviano mengangkat alisnya, membuat kegantengannya jadi semakin meningkat.
"Kapan lagi lo bisa hidup seperti ini? Tanpa fasilitas internet dan semacamnya ? Jauh dari hirup pikuk kota ? Bisa ikut menyelami kehidupan orang lain yang jauh berbeda disana. Bisa ngeliat pemandangan pagi seperti ini. Ini yang namanya kehidupan Mel ! Beginilah kita harus hidup. Meskipun kita nggak bakal selamanya disini, tapi kita punya sesuatu yang bisa diceritakan ke anak cucu kelak."
Melviano masih terdiam, sepertinya berusaha mencerna ucapan gue. Karena semangat gue tiba-tiba membara akibat pertanyaan Melviano, gue nggak bisa menahan diri untuk bangkit. Gue berjalan lebih maju biar kedua kaki gue terendam sepenuhnya oleh air laut yang dingin, menghirup napas dalam-dalam lalu menoleh ke Melviano yang masih duduk di belakang gue.
"Suatu saat gue akan dengan bangga menceritakan ke anak cucu gue kalau gue pernah terjebak di pulau terpencil sama temen gue. Tanpa internet, tanpa listrik. Semangat warganya masih murni, polos, tanpa pemikiran rumit khas ibukota. Dan gue akan menceritakan semua pengalaman, pelajaran berharga, dan keindahan yang gue dapat di tempat ini. Sambil memperlihatkan video dokumentasi yang lo buat. Gue... gue bakal bener-bener bangga kalau itu semua bisa terwujud."
"Sekarang ayo ikut gue Mel. Kita nggak boleh melewatkan pagi ini dengan sia-sia."
Gue pun mengulurkan tangan gue ke arah Melviano. Dan cowok itu dengan mantap menerima uluran tangan gue. Dia ikut berdiri memandang gue lekat. Bisa gue rasakan Melviano sedikit meremas tangan gue. Anehnya, remasan itu membuat gue merasa hangat. Sebuah senyuman terbit di bibirnya, dan entah mengapa diantara semua senyum yang pernah gue lihat di dunia ini. Senyum Melviano pagi ini, adalah yang terbaik. Membuat gue rasanya bersedia menyerahkan seluruh hidup gue demi melihat senyum itu lagi.
Untuk pertama kalinya, gue mengakui ada senyum yang lebih indah dari milik Kevlar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost & Looking
ChickLitSebuah kisah yang tak pernah benar-benar dimulai Atau sudah dimulai tanpa tersadari ? Atau mungkin seharusnya tidak dimulai ? "Kalau apa yang kita rasakan ini salah, maka ini adalah kesalahan yang paling gue syukuri."