Allura Clandara Madava
Kampret emang si Melviano. Apa tadi dia bilang ? 'That was amazing and I will never regret it ?". Dia mau bikin gue makin gabisa tidur apa yak ? Udah cukup semalam gue baru tidur jam empat sampai telat subuhan. Ya gimana mau tidur coba ? Bayangan wajah Melviano yang mendekat ke arah gue nggak mau hilang. Gue berasa dihantui. Apalagi rasa bibirnya tuh kayak awet banget. Nggak tahu deh kayaknya gue udah gila. Butuh konsul sama Senna nih. Apa betul berciuman bisa menghilangkan sebagian kewarasan kita ? Tapi kok Senna fine-fine aja ya kalau habis ciuman sama pacarnya ? Arrghhhhh bodo ah !
"Woy ngelamun aja." tegur Melviano sambil mendorong pelan bahu gue.
"Huss.. ganggu aja."
"Ngebayangin apa hayoo ?"
"BERISIK !"
"Lah, kenapa malah berantem ? Biasanya juga mesra." seru Pak Karim yang sekarang ikut bergabung setelah tadi sempat ke rumah Bu Eda.
Karena habis begadang, tadi pas pulang dari sekolah pinggir pantai gue langsung tidur siang. Sorenya Pak Karim ngebangunin gue nyuruh siap-siap. Katanya Fariz mau ngajak kami ke tebing sinyal. Disebut tebing sinyal karena katanya itu tempat paling tinggi di pulau ini dan alhamdulillahnya bisa menjangkau sinyal meskipun cuma buat nelpon dan sms doang.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam."
"Nah, Nak Fariz udah datang. Kalian berangkat gih, jauh loh tempatnya."
Gue pun pamit ke Pak Karim sambil menyalami tangan dia. Melviano juga ngelakuin hal yang sama. Setelahnya kita jalan ngekorin Fariz yang ternyata bareng sama tunangannya. Nggak lupa dengan Melviano yang udah ngegandeng tangan gue.
Jauh yang dibilang Pak Karim tuh ternyata nggak main-main. Butuh waktu setengah jam buat sampai di tebing ini padahal itu udah naik motor. Medannya juga agak berat sih, jalan sempit, berbatu dan serba tanjakan. Setelahnya, kita masih harus jalan kaki selama lima menit buat bisa bener-bener sampai di puncak. Karena disinilah sinyal paling kuat. Pantas aja ya orang-orang di pulau ini nggak banyak yang punya ponsel. Hanya orang-orang berada saja termasuk Pak Karim dan Fariz. Ya percuma juga beli ponsel kalau harus menempuh perjalanan sejauh ini demi dapat sinyal. Kata Pak Karim dan Fariz, mereka bahkan punya jadwal tetap sekali dalam seminggu ke tempat ini untuk mencari sinyal agar bisa berkomunikasi dengan sanak keluarga diluar pulau. Kecuali ada yang urgent harus dihubungi. Minggu lalu sebenarnya gue dan Melviano udah mau diajakin kesini tapi batal karena Fariz dan Pak Karim ada kepentingan mendadak dan harus ke kabupaten.
Dan bener aja, pas udah menginjakkan kaki di puncak tebing, ponsel gue udah bunyi nggak berhenti. Gila, banyak juga sms yang masuk. Gimana nanti kalau chat udah masuk ? Bisa hang ponsel gue.
Gue pelan-pelan membuka sms satu-satu. Terutama dari orang-orang penting.
Mama : Mama kangen
Mama : Kalau udah dapet sinyal langsung telpon ya
Sebenarnya masih banyak sms dari mama tapi gue cuma baca yang terakhir-terakhir aja.
Papa : Jaga kesehatan ya
Papa : Kabari kalau ada apa-apa
Bentor : Heh lu tau nggak si Mendoan katanya MBA. Udah dapet undangannya belom ?
Kalau itu dari sepupu gue yang nama aslinya Beni Rolando Madava. Partner in Crime gue dalam hal pergosipan. Waduh, dilihat dari gosipnya kayaknya sampai Jakarta gue harus segera bikin janji temu sama si Bentor nih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost & Looking
ChickLitSebuah kisah yang tak pernah benar-benar dimulai Atau sudah dimulai tanpa tersadari ? Atau mungkin seharusnya tidak dimulai ? "Kalau apa yang kita rasakan ini salah, maka ini adalah kesalahan yang paling gue syukuri."