"Kamu hati-hati, ya?" Ucapku. Setelah saling melepas pelukan. Tangannya-ku genggam erat. Sebagai pertanda sebenarnya aku tidak ingin ia pergi.
Ia tersenyum. Senyumnya ringan tapi jika kamu melihatnya, aku yakin kamu akan jatuh.
"Kamunya juga baik-baik disini. Belajar yang bener."
Aku mengangguk. Mengambil salah satu tangannya dan mengajak jari kelingkingnya dan jari kelingkingku saling berikatan. Ia melihat apa yang aku lakukan lantas menatap dengan tatapan heran.
"Janji ke aku kalau lima tahun lagi kamu bener-bener balik." Aku menatapnya dengan tatapan memohon. Meminta untuk kali ini saja ia bisa berjanji, setidaknya ada hal yang bisa aku pegang dan menjadi motivasi untuk menjalani lima tahun kedepan ini.
Ia menggeleng, "Aku bukan peramal yang akan tahu lima tahun kedepan akan seperti apa dan aku juga gamau buat janji karena aku takut gabisa nepatin."
Iya, dia selalu begitu. Tidak pernah berjanji. Katanya takut tidak bisa menepati. Tapi haruskah disaat seperti ini ia juga tidak bisa untuk sekadar berjanji?
"Aku disini, di samping kamu buat ngejagain kamu. Bukan buat nyakitin kamu. Aku sayang kamu dan aku gamau sekalipun bikin kamu kecewa," Ia mengusap kepalaku, berusaha menenangkanku dengan suaranya yang lembut dan senyumnya yang indah.
Aku mengangguk. Tanda mengerti. Walau sebenarnya tidak dan tidak akan pernah mengerti.
"Aku harus pergi sekarang."
Perkataan terakhir yang ia berikan padaku. Dengan senyumnya yang menyiksaku. Hatiku seperti teriris karena takut itu akan menjadi senyum terakhir yang akan kulihat darinya.
Ia perlahan melangkah mundur. Melambaikan tangan. Dan lama-lama menghilang dimakan oleh keramaian.
Aku masih berdiam diri. Menatap bayangannya yang masih bersisa. Berharap, banyak kata semoga yang keluar di dalam pikiranku.
Berharap ia benar-benar akan pulang. Berharap ia benar-benar milikku.