Leno mengetukkan jari-jarinya di pagar balkon kamarnya. Entah sudah berapa puntung rokok yang ia habiskan malam ini. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan Leno tidak bisa tenang karena pikirannya dihantui berbagai persoalan. Sesekali laki-laki itu meringis ketika membayangkan hal-hal yang harusnya tidak ia lakukan.
Pikiran Leno sekarang didominasi oleh Aira. Kekasih—lebih tepatnya mantannya yang sudah lebih dua tahun ini bersamanya. Mata cokelatnya yang selalu menatap Leno dengan cara yang berbeda. Leno tidak mau kehilangan itu.
Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu kamarnya. Lantas Leno buru-buru mematikan rokoknya yang masih menyala dan membuangnya asal ke jalanan bawah rumahnya. Laki-laki itu segera menutup pintu transparan yang menghubungkan kamar dengan balkonnya. Setelah semua terlihat seperti biasa, Leno membuka pintu kamarnya dan mendapati adik perempuannya yang sudah memakai piyama tidur.
"Gue keganggu, bau rokok lo sampe ke kamar gue."
Lagi-lagi Leno meringis. "Sorry,"
Adeeva menghela napas pelan. Ia menelusuri pandangannya ke seluruh isi kamar kakak laki-lakinya ini. Sungguh rapi. Tidak ada tanda-tanda bahwa kakaknya ini sedang ada masalah. Namun, Adeeva bukan anak kecil berumur sepuluh tahun yang memercayai itu. Ia tahu bahwa manusia yang ada di hadapannya ini sedang mengalami kesulitan.
"Lo ada masalah ya sama Kak Aira?" tebak Adeeva. Gadis itu sudah masuk ke kamar Leno tanpa memedulikan Leno yang menatapnya seperti berkata bahwa seharusnya ia tidak masuk ke kamar ini.
"Dek," ujar Leno yang melangkahkan kakinya menyusul Adeeva. Terlihat gadis itu sedang berusaha membuka pintu balkon. Leno menghela napas. Ia tidak bisa memarahi Adeeva yang sering mencampuri masalah pribadinya. Karena sekali lagi, hubungan antara adik dan kakak memang sangat kuat.
"Gila ya lo? kalo ketauan mama sama papa gimana coba?" Adeeva menatap Leno setelah melihat beberapa bungkus rokok yang bertebaran di lantai balkon dan berberapa kaleng minuman soda yang sudah kosong.
Adeeva tidak tahan berlama-lama disana, ia memutuskan untuk menutup kembali pintu balkon kamar kakaknya sekaligus menutupnya dengan tirai. Gadis itu menghela napas, ia berjalan menuju pinggir kasur dan duduk disana.
"Lo ada masalah ya sama Kak Aira?" tebak Adeeva lagi karena pertanyaan yang sebelumnya tidak digubris sama sekali oleh laki-laki berkacamata yang sekarang sedang duduk di sofa berwarna abu-abu itu.
Leno sungguh benar-benar banyak pikiran malam ini. Ia hanya ingin sendiri. Namun, tidak mungkin jika ia membentak saudara kandungnya sendiri. Ia menatap Adeeva yang sekarang juga sedang menatapnya. Seolah-olah ingin berkata bahwa ia butuh sendiri kali ini.
Adeeva terdiam. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah tirai warna abu-abu. "Yaudah, gue yakin kok lo tau apa yang baik buat diri lo sendiri."
Adeeva beranjak dari bibir kasur dan melangkah hendak ingin keluar kamar. Namun saat ganggang pintu telah ia genggam, gadis itu berhenti sejenak. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah Leno yang tidak berkutik sama sekali.
"Gue ada di sebelah kalau lo butuh cerita." ucap Adeeva lalu sedetik kemudian gadis itu membuka pintu kamar Leno dan keluar. Menyisakan Leno yang masih terdiam dengan segala pikiran yang menghantuinya.
Ucapan terakhir dari Aira lima hari yang lalu, berhasil membuat dirinya gelisah hingga malam ini. Namun yang memulai semua ini adalah dirinya, ia tahu bahwa ada berbagai risiko saat mengatakan hal-hal yang harusnya tidak ia katakan di dalam suatu hubungan. Lalu mengapa ia merasa mengambil langkah yang salah? Bukannya keputusannya waktu itu sudah cukup mewakili perasaannya? Lalu mengapa?
LIMA HARI YANG LALU
"Kamu bosen?" tanya Aira yang terlihat membenarkan posisi duduknya. Ia menatap laki-laki itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ada perasaan kecewa, sedih, dan terkejut.