Part 8

183 23 3
                                    

Tak terasa sudah aku hampir seminggu di Padepokan Silat milik Ayahnya Kak Susi.
Nuansa kekeluargaan disini sangar terasa. Berbeda dengan keluarga kami yang terlalu menonjolkan tata krama orang yang katanya berpendidikan tinggi.
Kesederhanaan di sini mengajarkanku jadi paham bahwa bukan hanya karena harta yang membuat kita dihargai.

Huup, huup,huup. Terdengar suara lantang Pak Surya memberi arahan pada murid-murid Padepokan miliknya.
Aku memperhatikan anak-anak Padepokan berlatih silat sore ini.


Ngomong-ngomong soal Bang Fendy, sepertinya dia sedang menatapku. Selang beberapa detik, pandangan kami bertemu, segera ku alihkan pandangku ke arah lain.
Cowok berwajah oriental itu sukses membuatku salah tingkah berkali-kali. Entah apa yang membuat aku seperti itu. Bahkan sama David dulu pun aku enggak begini-begini amat.

Ku akui dibalik wajah orientalnya, terpancar kharisma dan kelembutan. Apalagi senyumnya itu aduhh bikin aku meleleh rasanya.

“Hayoo mikirin apa, mikirin Abang yaa, Hahaha .... “ serunya tiba-tiba mengagetkanku.
Direbahkannya tubuhnya di rumput tepat di sisi tempatku duduk.

“Yee, perasaan kali Abang. Aku aja lagi liatin Kak Susi ngelatih anak-anak kok,” elakku.

“Ha? Kak Susi aja udah masuk dari tadi. Ketauan boongnya. Hahaha .... “ tawanya lagi menggodaku.

Astaghfirullah, ternyata benar anak-anak sudah bubar dari tadi. Bah, bodoh kali kau, Jul, rutukku sendiri.

“ Ya udahlah, mending kita ikut masuk yuk. Ibu sudah buat teh dan gorengan untuk kita,” ujarnya sambil menarik tanganku. “Eh itu muka kenapa merah kayak pantat bayi, hahaha ....” tambahnya sambil menjawil hidungku dan terus menarik ku ke dalam rumah.

Duh, apa iya, batinku sambil meraba pipiku.

Sesampai di dalam, anak-anak Padepokan telah ramai.

“Nak Julie, hari ini ada teman Bapak yang mau datang. Beliau bisa mebantumu ke Kantor Urusan Agama utk bersyahadat. Kau mau kan, Nak,” tanya Pak Surya membuka percakapan.

“Mau, Pak,” anggukku antusias.

“Ya sudah, cepat makan dan siap-siap ya. Sebentar lagi kawan Bapak datang untuk jemput kita. Nanti kau akan bapak temani ke sana. Susi dan Ibu di rumah aja, mempersiapkan syukuran untuk Nak Julie.”

“Siap, Pak,” jawab Kak Susi.

Tak lama kemudian, Pak Syahrul, teman Pak  Surya pun tiba di Padepokan.

“Bapak sudah mendengar semua cerita tentangmu. Bapak salut sekali dengan tekadmu, Nak,” ujarnya dengan mata berbinar. “Yok kita berangkat sekarang, keburu siang.”

Aku pun berangkat di temani Pak Surya dan Pak Syahrul. Sementara Kak Susi dan Ibunya belanja ke pasar untuk mempersiapkan keperluan syukuran ku hari ini. Betapa baiknya keluarga ini padaku. Benar-benar menganggapku seperti anak mereka sendiri. Kata Pak Surya, anaknya sudah menikah semua. Tinggal Kak Susi yang belum menikah.

Sesampai di KUA, Pak Syahrul memperkenalkanku pada Kepala KUA dan menyampaikan maksud dan tujuan kami datang. Kemudian, aku di arahkan untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat.

Suasana haru seketika menyelimuti ruangan tersebut.
Walau dengan terbata-bata dan menahan tangis, aku dapat menyelesaikan dua kalimat Syahadat dengan baik.

“Alhamdulillah, sekarang kamu sudah sah memeluk agama Islam, Nak. Kira-kira di ganti apa ya nama barunya ini,” ujar Pak Kepala KUA.

“Gimana kalau dikasih nama Nurhayati? Nur itu cahaya, Hayati itu tubuh atau diri. Jadi Nurhayati artinya cahaya dari dalam diri,” celetuk salah seorang Ibu. Mungkin salah seorang karyawan disana.

“Hem, boleh juga. Nama yang bagus,” timpal Pak Syahrul yang di amini oleh yang lain.

Kami kemudian berpamitan setelah menandatangani beberapa berkas.

Sampai di Padepokan, kulihat tikar sudah terhampar dan di sisi ruangan terdapat sebuah meja dengan makanan dan aneka kue.

Menitik air mataku haru melihat kebaikan mereka padaku.

“Kenapa nangis, Nak,” tanya Bu Farida, Ibunya Kak Susi.

“Seharusnya gak usah serepot ini Ibu lakukan untukku, aku jadi ngerasa gak enak,” jawabku lirih.

“Ya Allah, Nak. Kok gitu ngomongnya, kamu udah Ibu anggap anak Ibu sendiri,” ucapnya sambil memelukku.
Aku terisak di bahunya. Bu Farida mengusap kepalaku lembut.

“Sudah jangan nangis. Sebentar lagi anak-anak Padepokan dan teman-teman Bapak datang. Ambil makanan di dapur gih, taruh di meja ya.” Bu Farida mengusap air mataku.

Aku beranjak ke dapur. Ku kemasi beberapa makanan untuk di bawa ke depan.

“Dek ...” panggil Bang Fendy dari pintu dapur.

“Iya, Bang.”

“Abang liatin dari tadi sibuk kali kayaknya. Mondar mandir mulu.”

“Iya mau ada acara syukuran, Bang.”

“Gayamu uda cocok jadi istri,Dek.”

Deg.

“Maksudnya?”

“Iya, gaya Adek udah cocok jadi seorang Istri,” jawabnya sambil menatap mataku.

Kepalaku tertunduk lagi-lagi menyembunyikan pipiku yang memerah.
Kayaknya pipi memerah menjadi kebiasaanku belakangan ini.

“Assalamualaikum, Jul.” Tiba-tiba Jannah muncul dari pintu belakang.

“Jannah, kok tau aku di sini. Kangennya aku,” pekikku lalu berlari memeluknya.

Tiba-tiba aku melihat Papa, Maria sepupuku dan Ayahnya Jannah diiringi Pak Surya, Kak Susi dan Pak Syahrul di belakangnya.

Refleks aku berbalik ingin lari, tapi Jannah menarik tanganku

“Jan, kau yang mengajak mereka ke sini? Gak nyangka aku kau setega ini, Jan.”

“Maafkan aku, Jul. Aku terpaksa, kalau gak, Papamu mengancam akan memenjarakan Ayahku,” jawabnya tertunduk.

“Iya,Nak, maafkan Bapak ya. Bapak terpaksa,” ucap Ayah Jannah lirih.

Aku menggelengkan kepalaku. Hatiku tetap tidak menerima alasannya. Dia sahabatku, tapi ....

“Sudah pulanglah, Julie. Kau mau juga tempat ini Papa laporkan karena sudah menyembunyikan anak yang masih di bawah umur,” ancam Papa arogan dengan tangan terlipat di dadanya.

Ku tatap Pak Surya, sosok yang sudah ku anggap Bapakku sendiri. Beliau menganggukkan kepalanya. Seakan memberi tanda agar aku menurut pada Papa.

Kuhela napasku panjang, dan aku mengangguk. Aku beranjak ke kamar untuk mengemasi pakaianku.

“Sudahlah tak usah dibawa pakaian buruk begitu. Di rumah pakaianmu jauh lebih bagus dari itu.” Dicampakkannya pakaian pemberian Kak Susi dan teman-teman.

Air mataku menitik. Sedih rasanya meninggalkan Padepokan ini, teman-teman yang rasanya sudah seperti saudara, Kak Susi, Ibu, Bapak dan Bang Fendy .... Kemana dia ya, rasanya aku tak melihatnya lagi setelah kedatangan Jannah dan Papa.

“Udahlah, banyak kali dramamu. Kau ingat Mamamu itu di rumah. Nangis aja mikirin kau.” Tiba-tiba Maria menarik lenganku kasar.

“Diam kau! Dari dulu suka kali kau campuri urusanku, Maria,” bentakku tak mau kalah dan berusaha melepaskan cengkeramannya di lenganku.

Pak Surya dan Bu Farida menghampiriku dan menarikku sedikit menjauh dari Papa dan Maria.

“Sabarlah, Nak. Allah tidak tidur. Tetaplah dengan keyakinanmu. Sekarang pulanglah dulu. Nanti setelah usiamu matang, kembalilah kesini. Pintu ini akan selalu terbuka untukmu,” Pak Surya menasehatiku.

Aku mengangguk, dan Bu Farida memelukku lagi dan aku pun kembali terisak di bahunya.

“Kau tetap anak Ibu, Nur. Namamu sudah jadi Nurhayati kan,” ujar Bu Farida.

Aku mengangguk. Aku tersenyum diantara isakan tangisku.

“Apa tidak sebaiknya Bapak dan rombongan makan dulu. Syukuran ini kami buat untuk Nak Julie,” tawar Pak Surya pada Papa.

“Tidak perlu. Ayo, Maria bawa dia ke mobil.”

Maria menarik lenganku. Sambil berjalan dengan langkah terseret-seret, ku tatap satu persatu Bapak, Ibu, Kak Susi dan anak-anak Padepokan. Dan mataku berusaha mencari sosok Bang Fendy. Dia benar-benar menghilang ....

Mobil Kijang yang kami tumpangi melaju perlahan meninggalkan Padepokan Silat Walet Putih milik Pak Surya. Ku lihat Bapak, Ibu, Kak Susi dan anak-anak berdiri untuk melihat kepergianku. Kemana Bang Fendy, dia benar-benar seperti menghilang. Dan ada rasa nyeri di ulu hatiku.

Pandanganku ku arahkan keluar jendela. Gerimis perlahan-lahan turun.

“Maafkan aku ya, Jul,” ujar Jannah meraih tanganku.

Kutepis tangannya. Dan pandanganku kembali keluar jendela.

Hanya hening tercipta di mobil waktu itu. Mobil yang di kendarai Pak No meluncur membelah jalan yang telah basah oleh hujan.

***
































Aku Muallaf, Durhakakah Aku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang