Prolog Part 1

592 35 1
                                    

Namaku July Margareth dan aku punya nama Chinese yaitu Tjia Lian Kim.
Kata Mamaku Lian artinya bunga teratai indah, dan Kim itu bola emas. Sedangkan Tjia adalah Marga dari keluarga besar Papa.

Jangan pikir namaku oriental terus tampang ku oriental juga. Nggak sama sekali! Hikks.
Aku lebih mengikuti jejak Opung (kakek), Ayah dari Mama ku. Kulitku sawo matang dan mataku besar.

Itu nama pemberian Papaku sejak aku lahir kedunia.
Aku keturunan Chinese dan Batak. Aku anak ke- 4 dari 4 bersaudara dan aku paling kecil dan cewek satu-satunya. Kebayangkan gimana aku dimanjanya?

Kehidupanku waktu kecil lumayan, bahkan bisa dikatakan sangat mewah karena Papa ku seorang Developer. Aku bahkan sama sekali hampir tidak pernah ke dapur dan mencuci piring karena kami mempunyai tiga orang ART. Ada yang memasak, mencuci dan bersihkan rumah. Tapi, Mama tetap turun ke dapur dan memasak. Soalnya Papa nggak suka masakan orang lain.

Setiap pulang sekolah aku selalu di antar dan di jemput. Sampai-sampai kata guruku, aku ini di ibaratkan telur emas yang di jaga sedemikian rupa. Ya Tuhan, segitunya kah aku? Tapi kayaknya emang bener sih. Soalnya sekolah ku nggak pernah jauh dari rumah. Kata Mamaku, nanti kalau di culik gimana terus di perkosa. Ih, kan serem. Jadinya ya udah nurut aja dah.

" Nanti sekolahnya di SMP X aja ya, " ujar Papa suatu hari.

" Tapi July mau nya di SMPN 10, " jawab ku memohon.

" Gak ada! Lu harus nurut ya. Atau nggak usah sekolah sama sekali, " perintahnya.

Apalah dayaku ini. Ya sudah aku cuma bisa pasrah. Padahal saat itu aku pengennya sekolah kejuruan Tata Boga.

Walau begitu pun aku selalu mendapatkan ranking setiap ulangan Caturwulan ( kalau sekarang namanya semester).
Setiap ada acara drama Natal, paduan suara aku pasti selalu di tunjuk.
Pokoknya setiap acara Seni aku boleh ikut. Padahal aku sukanya main basket, badminton dan renang. Jadi nggak heran kalau sampai saat ini aku tuh nggak bisa berenang.

Tapi mulai beranjak SMU, lagi-lagi harus menuruti apa mau Papa ku. Aku pengennya masuk SMK tapi Papa maunya ke sekolah umum saja.

" Pa, nanti July masuk SMK aja ya. Jurusan nya Tata Boga, " seru ku sambil menunjukkan brosur.

" Ihh,,. Sekolah apaan itu. Udah masuk ke SMU X. Sekolah ngetop itu loh, " ujarnya tanpa menoleh. Tatapannya tetap ke koran yang di pegangnya.

Huufft, aku cuma bisa menghela nafas.

Tapi ternyata sekolah bonafid pun tak menjamin perilaku siswa di dalamnya. Terbukti setelah SMU, aku mulai terkontaminasi pergaulan anak-anak tajir yang kebanyakan mengalami Broken Home, atau anak-anak kurang perhatian orang tua.

Akhirnya, disanalah pelampiasan kekecewaan ku atas keputusan Papa.
Aku mulai ikut-ikutan cabut dan merokok.
Berkali-kali Papa dipanggil guru BP dan buntutnya aku di drop out dari sekolah.
Kurang lebih ada 2 SMU yang aku masuki waktu itu dan semua berakhir dengan DO. Ya ampun, kalau ingat dulu, rasanya malu setengah mati.

Terakhir di sekolah terakhir ini lah, aku mendapatkan hidayah itu. Aku dimasukkan ke sekolah swasta yang berisikan anak-anak Tionghoa. Kebetulan sepupu Papa ku disana sebagai Ketua Yayasan.
Tapi begitupun, disana banyak juga anak pribumi yang bersekolah
Dari beragama Nasrani, Hindu dan mayoritas beragama Buddha yang mendominasi sekolah ini.

Dan uniknya, sepertinya sudah rencana Allah. Kelas yang berisikan murid beragama Buddha-Kristen penuh. Akhirnya aku dimasukkan ke kelas yang berisikan siswa beragama Buddha-Islam. Jadi pas pelajaran agama Buddha atau Nasrani aku ikuti.

Mungkin karena muka ku ini lebih mirip ke pribumi, anak Tionghoa nggak ada yang mau berteman denganku. Oalaah nasib bener.
Teman-teman ku rata-rata Pribumi semua dan beragama Islam.

Suatu hari, sebelum pulang sekolah, teman-temanku memutuskan sholat Dhuhur terlebih dahulu di musholla sekolah. Waktu itu aku nggak tahu sama sekali apa itu Dhuhur. Hahaha.. Secara aku masih Katolik.

Aku pun disuruh menunggu di teras musholla. Tiba-tiba aku merinding. Aneh. Seperti ada sesuatu yang berdesir melihat mereka kompak dalam gerakan sholat. Dan dari jauh aku lihat serba putih. Aku kok semakin merinding ya.

Setelah tiga bulan aku bersekolah disana, aku memberanikan diri untuk ikut teman-teman Muslim dalam pelajaran agama Islam.
Dan lucunya, aku kepedean duduk paling depan karena di ajak temanku namanya Nurjannah. Duh, jadi kangen sama anak itu. Soalnya aku sama sekali nggak tahu kabar dan keberadaannya.

Waktu itu aku sama sekali juga nggak ngerti pelajaran apa dan bagaimana. Cuma aku lihat temanku bergiliran disuruh membaca ayat Al Qur'an. Tiba-tiba, sampai giliran ku.

Tuhan, mati aku! Gimana bacanya, hurufnya pada keriting semua, batinku bingung.

" Lho, ayo baca. Kok diem aja. Kamu murid baru ya. Kok Bapak baru liat, " tanya Pak Guru heran.

Aku cuma melongo.

" Dia Kristen, Pak " kata Nurjannah.

" Loh kok malah masuk kelas saya? "

Dan aku masih melongo bingung. Hahaha..

Lalu entah siapa, tiba-tiba ada yang nyeletuk, " Dia Muallaf, Pak! "

" Beneran? " tanya Pak Guru.

Aku mengangguk polos. Padahal aku nggak tahu apa itu Muallaf.

Dan sekelas berseru, " Aamiin......" Termasuk Pak Guru yang aku nggak ingat siapa namanya.

🌾🌾🌾

Medan, 15 Mei 2020

Aisyah July Yanty

Aku Muallaf, Durhakakah Aku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang