PART 16

98 18 2
                                    

Aku tak tahu kenapa bisa sampai bermimpi tentang Almarhum Bapak.
Anehnya aku tak mampu menggapai tangannya. Sementara tangan beliau terus terayun menggapai-gapai ke arahku. Apa arti mimpi itu?

Aku jadi merindukan suasana Padepokan. Suasananya, segar udaranya, kesetiakawanannya, anak-anak, Kak Susi, Bang Fen- ... Eh, kenapa jadi teringat dia. Jadi teringat juga kata-katanya, bahwa aku tak bisa mendoakan Almarhum Bapak karena perbedaan itu ...
Tapi terlintas juga kata-kata saat dia mengatakan kalau dia suka padaku. Terbersit rasa perih. Karena terlanjur Tommy sudah ada menemani hari-hariku yang terpuruk selama bertahun-tahun.

Seperti ada yang hilang dari dalam diriku. Dan seperti aku merindukan sesuatu yang aku tak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku saat ini.

Sebenarnya aku merindukan saat Almarhum Bapak membaca Al Qur'an. Kata beliau, beliau dulu pernah juara MTQ tingkat Nasional. Pantas saja suaranya sangat bagus. Setiap mendengar beliau membaca Al Qura'an, aku pasti menangis. Walaupun aku tak paham apa arti yang dibacakan beliau. Mendadak sekujur tubuhku merinding karena indahnya alunan suaranya.

"Bapak aku rindu ..." desisku lirih.

'Kalau sedih segeralah sholat di sepertiga malam. Namanya sholat Tahajjud. Dimana tak ada hijab antara hamba dengan Sang Khaliknya. Biasa di kerjakan saat malam ketika kau terbangun.' Dulu Bapak mengajariku tentang macam-macam Sholat Sunnat.

Mungkin di saat seperti ini maksud Bapak dulu. Saat aku sedih, bimbang dan tak ada pegangan.
Kepada siapa aku harus mengadu. Bahkan cara wudhu, cara sholat dan  bacaan sholatpun aku nyaris lupa. Ya Tuhan, aku harus apa?
Buku tentang Aisyah masih di genggamanku dan entah kenapa tanpa sadar aku mendekap erat buku itu di dadaku.

~~~

"Julie, hari ini Papa ada kedatangan tamu dari orang-orang Dinkes," ujar Papa sambil mengunyah bubur Oatmeal di depannya. Sejak didiagnosa ada gejala penyempitan pembuluh darah jantung, Papa mulai menjaga pola makannya.

"Dinkes? Dinas Kesehatan? Untuk apa orang Dinkes kemari?" tanyaku. Aku biasanya suka sarapan nasi goreng sambil membaca salah satu novel yang baru aku beli juga kemarin.

"Kan Papa mau buka usaha Home Industry gitu. Kayak minuman Ok* Je**y Drink di cup itu loh. Soalnya Papa udah capek kerja terus. Pengen menikmati hari tua Papa di rumah. Lagian deposito juga udah aman buat simpanan. Apa lagi coba yang di cari? Nanti urusan pembukuan dan keuangan lu pegang ya," ujar Papa.

"Julie kan kuliah, manalah bisa."

"Bisalah, nanti pulang kuliah kan bisa. Udah lu nurut aja lah."

Aku mengedikkan bahu, "Terserah Papa ajalah. Julie ikut aja."

"Hari ini ada jadwal kuliah gak? Kalau gak ada temenin Papa ketemu sama Ibu-ibu Dinkes itu ya."

"Jam berapa dia datang? Julie ada kuliah jam 10. Jam 2 udah pulang sih."

"Katanya sore mereka datang. Ini udah jam jam setengah 9 loh. Kok belum siap-siap, nanti telat. Mahasiswi baru jangan sampai telat," sahut Mama.

"Iya tinggal ganti baju. Udah mandi kok tadi sebelum sarapan. Jam setengah 10 dijemput Tommy," jawabku, dengan mata masih fokus dengan novel.

"Jangan novel melulu. Sampai Mama ngomong pun gak di lihat," rajuk Mama.

Kututup novel di depanku. Lalu aku bangkit dari dudukku dan mencium pipi Mamaku.

"I'm sorry my beloved Mama. Ya udah aku siap-siap dulu yaa."

"Eh, kapan Tommy masuk asrama?" tanya Papa.

"Kayaknya sih 2 mingguan lagi gitu."

"Baik-baik ya sama Tommy. Menantu idaman Papa itu." Papa terkekeh.

Aku hanya diam dan melangkah menuju kamarku untuk bersiap-siap berangkat kuliah.

"Hai, Sayang. Gimana pagi ini," sapa Tommy dari dalam mobil.

"Eemm ... Kabar hari ini ... Kenyang!" jawabku sambil nyengir.

"Serius napa sih, Jul."

"Aku dua rius malah."

"Jawab aku kangen kek, atau rindu kek gitu karena udah 3 hari gak ketemu. Emangnya kamu gak kangen sama aku?"

Aku termangu dengan pertanyaannya. Jujur sejak ketemu Bang Fendy dan mimpi itu, aku seperti kehilangan rasa dengan Tommy.
Hasratku ingin sholat lagi seakan meronta.

"Woi, ngelamun lagi." Dikibaskannya telapak tangannya di depan mukaku.

"Sorry, Tom. Sebenernya aku masih ngantuk. Biasalah, begadang baca novel yang kemarin beli." Memang aku sangat mengantuk. Karena setelah terbangun dari mimpiku, aku nyaris tak bisa tidur. Kuhabiskan waktuku dengan membaca buku Aisyah itu. Dan menjelang pagi aku baru tertidur lagi.

"Makanya, gila novel, boleh aja. Tapi ingat jam istirahatmu lah, Sayang. Nanti kalau sakit kan aku juga yang repot," ucapnya, sambil mengacak lembut rambutku.

Aku tersenyum mendengar perhatiannya padaku. Ya Tuhan, cowok sebaik ini haruskah kusakiti ....

Hari ini, Tommy sibuk mempersiapkan segala keperluannya untuk masuk asrama 2 minggu ke depan. Aku disuruhnya untuk membawa mobil dan mengantarkannya ke rumah temannya terlebih dahulu.

Jadi pulang kuliah siang ini, aku membawa mobilnya pulang ke rumahku. Tadi sudah kutolak. Aku bilang aku bisa pulang naik angkot. Katanya dia tak mau aku berpanasan dan berdesakan di angkot. So sweet!

Sorenya, tamu dari Dinkes  datang sesuai jam yang dijanjikan. Tampak 2 orang Ibu menggunakan pakaian dinas negeri sipil melangkah masuk.

"Sore, Pak," sapa mereka, menyalamiku dan Papa.

"Sore, Bu, ayo kita masuk ke dalam," ajak Papa sopan.

"Tidak usah, Pak. Enakan di sini saja," ujar salah seorang Ibu yang bertubuh sedikit gempal. Kemudian duduk di kursi teras.

Aku menyuguhkan 2 cup air mineral Aq*a kepada kedua Ibu tersebut.

Sebetulnya, aku tak begitu paham apa yang mereka perbincangkan. Aku hanya tahu, mereka datang kemari guna mengurus izin BPOM atas minuman ringan yang akan Papa produksi.

Tak lama berselang, Papa dipanggil karena ada telepon untuknya. Entah dorongan dari mana, ketika Ibu-ibu tersebut mengajakku ngobrol, mendadak mengarah pada keingintahuanku akan Islam. Salah seorang Ibu heran, kenapa aku seorang Katolik paham akan Islam.

"Maaf, Nak. Ibu heran. Kenapa ya kamu tahu tentang Aisyah? Beliau adalah istri Nabi yang cerdas dan dermawan. Dan juga kenapa kamu bertanya tentang sholat dan cara wudhu?" Ibu yang setelah berkenalan dan aku tahu namanya Ibu Pintauly Siregar, bertanya penuh selidik.

"Ibu heran ya? Karena saya seorang Katolik?" Aku melihat ke arah pintu dan memastikan Papa tidak datang.

Kuceritakan semua perihal tentangku 2 tahun silam. Bagaimana perjuanganku, hingga maksud dari mimpiku.

"Subahanallah, kamu beneran pernah jadi seorang Muallaf?" tanya Bu Juniarti, temannya Bu Pinta.

Aku mengangguk, dan sempat menitikkan air mata. Bu Juniarti yang akrab dipanggil Bu Butet itu menggenggam jemariku.

"Mimpi itu benar adanya, bahwa kamu harus balik lagi pada fitrahmu, Nak. Jangan takut, kami ada dan siap membantumu," ujarnya, sambil tersenyum.

"Terima kasih, Bu," ucapku, dengan mata berbinar.

Kemudian, kami kembali pada posisi sikap di awal, setelah mendengar langkah sandal Papa dari dalam rumah.

"Maaf ya, Ibu-ibu, saya lama. Tadi ada masalah di ekspedisi untuk pengiriman mesin kemas saya," ujar Papa, lalu duduk di sebelahku.

"Tidak apa-apa, Pak. Setelah saya cek, berkas Bapak sudah lengkap. Tinggal kami proses saja. Mungkin beberapa hari lagi kami datang kembali untuk tanda tangan beberapa dokumen permohonan. Jadi, kami mohon pamit ya," pamit Bu Pinta lalu kembali menyalami Papa dan aku.

Begitu menyalamiku, Bu Pinta mempererat genggamannya lalu tersenyum. Tersirat makna dari senyumannya. Ada rasa tenang melihat sosok Ibu ini. Aku yakin suatu saat beliau pasti bisa membantuku ....

~~~

#Alfatihah untuk Alm. Ibu Pintauly Siregar 😭






Aku Muallaf, Durhakakah Aku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang