PART 22

248 23 11
                                    

Aku biarkan keadaan hening terlebih dahulu agar aku lebih leluasa untuk kabur. Tadi aku sudah menelepon Bu Pinta dan beliau bersedia untuk menjemputku di tempat kemarin kami pernah janjian bertemu pertama kali.

Kubuka pintu kamar tamu, kemudian kupastikan situasi sudah sepi. Seperti biasa, jam segini adalah jam istirahat siang.
Dengan mengendap-endap, aku berjalan keluar melalui pintu belakang.
Alhamdulillah, akhirnya aku bisa keluar juga. Segera ku stop becak yang melintas dan segera kusebutkan alamat yang akan ku tuju.

Sesampai di sana, tampak olehku mobil Bu Butet. Segera kuhampiri mobil minibus merah itu.

“Maaf ya, Bu, lama. Soalnya memastikan dulu keadaan aman baru bisa keluar,” ucapku terengah-engah.

“Tidak apa-apa, kami juga baru sampai kok. Ayo cepat naik!  Takut nanti ada yang lihat,” ujar Bu Butet.

Bu Butet membawaku ke rumah Pak Yusuf. Kebetulan istrinya yang bekerja sebagai seorang guru , hari itu sedang tidak ada jadwal.

“Oh ini anak yang Ibu ceritakan sewaktu kita tarawih di musholla kemarin?”

“Iya, Bu. Sedih mendengar kisah perjuangannya. Apa Ibu mau menerima dia tinggal di sini?”

“Dengan senang hati saya menerimanya. Saya dan Bapak sudah merencanakan akan memasukkannya ke Pesantren. Di sana tentu saja lebih aman dari kejaran orang tuanya, dan di sana tentu saja dia akan mendapatkan lebih banyak ilmu,” terang Bu Rani.

“Bagus kalau begitu. Saya setuju. Tapi, saya rasa lebih baik, Nak Julie kita islamkan terlebih dahulu, Bu.”

“Benar, Bu. Besok saja kita carikan Ustadz untuk mengislamkannya.”

Malam itu, teror orang tuaku tak berhenti datang. Beberapa kali orang suruhan Papa bolak balik di komplek itu menuju rumah Bu Butet. Sehingga membuat aku benar-benar ketakutan. 

Akhirnya karena melihat situasi demikian, Pak Yusuf memutuskan besok langsung membawaku ke Pesantren di salah satu pelosok daerah di Medan.

Pagi-pagi sekali, Pak Yusuf, Bu Rani, Bu Pinta dan Bu Butet, membawaku sebuah Pesantren. Alhamdulillah, di sana aku diizinkan menuntut ilmu gratis tanpa dipungut biaya karena aku seorang Muallaf.

Kemudian aku disyadahatkan lagi untuk kedua kalinya di usiaku yang ke 19 tahun dan diberi nama Aisyah sesuai nama yang aku minta berdasarkan nama istri Rasulullah yang sangat aku kagumi.

Aku diterima sangat baik di sana oleh beberapa tenaga pendidik. Mereka dengan sabar setiap hari mengajariku mengaji, dan mengajakku  sholat berjamaah. Aku tidak tahu akan sampai kapan aku di sini. Berpegang pada izin pemilik Yayasan, aku bebas sampai kapanpun di sini.

Karena tahun ajaran baru belum dimulai, aku diajak beberapa guru untuk mengawal penerimaan santri dan santriwati baru. Setelah semua aktif, maka aku akan ikut belajar aktif bersama para santriwati.

“Aisyah ….” Salah seorang Ustadz memanggilku ketika aku sedang membersihkan dan membereskan buku-buku di perpustakaan. Kebetulan, teras perpustakaan tersebut digunakan untuk tempat penerimaan santri baru.

“Ya, Ustadz, ada yang bisa saya bantu?”

“Saya lihat dari tadi kamu gak ada istirahatnya. Nanti kamu kecapekan,” ujar Ustadz tersebut.

“Gak apa-apa, Ustadz. Saya sekalian membaca. Kan lumayan bisa dapat ilmu gratis,” sahutku sambil tergelak. “Ohya,  Ustadz kok bisa tau nama saya?”

“Siapa yang gak tau kamu di pesantren ini. Muallaf yang memiliki perjuangan yang luar biasa dan baru di islamkan semalam kan?”

“Ah, Ustadz bisa aja. Saya gak keistimewa itu.”

“Saya Ustadz Ahmad. Saya nantinya akan jadi guru kamu.”

“Ohya, saya pastinya akan senang sekali memiliki guru yang baik, ramah dan tampan kayak Ustadz,” kelakarku sambil terus merapikan buku yang sudah kubersihkan.

“Hahaha … kamu bisa aja.”

Tak lama beberapa orang Ustadz dan Ustadzah datang dan ikut bergabung dalam obrolan kami.
Aku merasa sangat beruntung ditempatkan di sini. Selain mereka sangat ramah dan mereka juga sangat tidak pelit akan ilmu.
Mereka berjanji akan memberikan ilmu yang terbaik sehingga perjuanganku selama ini tidak sia-sia.

Siang ini, Ustadzah Fitri mengajakku makan siang di dapur khusus Ustadz dan Ustadzah.
Lauknya sangat sederhana. Sambal tempe dan ikan asin serta sayurnya tumis kol.
Entah kenapa dikelilingi canda tawa Ustadz Ustadzah di sini, membuat rasanya justru malah terasa nikmat.

Ustadz Ahmad memesan teh manis dingin untukku. Katanya teh yang manis untuk Aisyah yang manis. Tentu saja ucapannya membuat teman-teman lain bersorak menggoda.
Soalnya, menurut mereka Ustadz Ahmad sudah cukup matang untuk menikah, namun sampai sekarang belum juga menikah.
Mereka mendoakan agar kelak aku dan Ustadz Ahmad benar-benar berjodoh. Mendengar doa mereka aku hanya bisa tersipu-sipu. Sementara Ustadz ahmad justru menatapku dan tersenyum.
Aku pikir tak ada salahnya membuka hati. Kali aja Allah tentukan aku berjodoh dengan Ustadz Ahmad. Toh Bang Fendy pun menghilang bagai tanpa jejak sejak bertemu Tommy sore itu.

~~~













Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Muallaf, Durhakakah Aku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang