PART 21

91 18 1
                                    

Ponselku berdering, kulirik jam dinding pukul 03.30 WIB. Ku lihat di layar ponsel tertulis nama Bu Pinta.

“Assalamualaikum, sudah bangun,Nak?”

“Wa’alaikumussalam. Untung Ibu bangunin aku. Kalau gak, bisa kesiangan aku.”

“Sudah ada lauk untuk sahurnya?”

“Sudah ada, Bu. Alhamdulillah tadi malam tak berhasil sembunyiin lauk ke kamar.”

“Ya sudah, buruan kamu makan. Nanti keburu imsak. Assalamualaikum ….”

“Wa’alaikumsalam, Bu ….” Setelah kututup ponsel, segera ku buka tempat bekal berisi menu sahur, yang telah kusiapkan tadi malam. Segera kusantap, kemudian membaca doa niat sahur yang sudah dituliskan Bu Raisyah waktu belajar mengaji kemarin.

Saat samar-samar kudengar adzan berkumandang, aku mengambil wudhu dan kulaksanakan dua raka’atku. Benar-benar waktu shubuh adalah waktu yang paling tenang dan seakan Allah itu sedang dekat bersamaku ….

Esoknya, seperti biasa, sepulang kuliah aku ke rumah Bu Raisyah. Hari ini Bu Raisyah ada jadwal mengajar di Madrasah, jadi Kak Lia yang menggantikan untuk mengajariku. Kebetulan jadwal kuliahnya sedang kosong.

Alhamdulillah, aku semakin lancar dan sudah mencapai Iqra 2. Tak lama aku berpamitan pulang. Aku berjanji nanti aku akan cari cara bagaimana supaya bisa keluar dan berbuka bersama.

Perjuangan berpuasa bagi pemula sepertiku, benar-benar rasanya sangat luar biasa. Apalagi aku sendiri yang berpuasa di rumah.

“Julie … Ayo, makan siang!” panggil Mama.

“Iya bentar lagi, masih kenyang,” jawabku berbohong. Tak mungkin aku bilang kalau aku sedang berpuasa kan?

Tak lama, aku mendengar suara pintu kamarku di ketuk. Pasti Mama. Keluargaku selalu menerapkan, jika anggota keluarga berkumpul di rumah, wajib makan bareng.

“Kenapa gak makan?  Puasa?” tanya Mama penuh selidik.

“Apa sih Mama. Puasa apaan? Gak kok,” elakku.

“Ya udah kalau gitu. Ayo ke ruang makan!” perintahnya lalu meninggalkanku.

Aduh harus apa aku ini? Sementara aku kan lagi puasa.  Dengan malas aku berjalan ke ruang tamu.

“Tuh, nasi dan lauknya udah Mama sendokin ke piringmu. Buruan makan!”

“Makan di kamar aja yah. Soalnya lagi banyak tugas nih, Ma. Deadline dari kampus.” Entah dari mana mendadak timbul ide itu.

“Terserahlah. Yang penting dihabiskan, Mama capek masaknya.”

“Tommy apa kabarnya?” tanya Papa tiba-tiba, sehingga membuat langkahku terhenti.

“Gak tau, Pa. Lagi sibuk kali. Ya udah aku ke kamar dulu ya.”

Sesampai di kamar, segera kucari kantong plastik. Saat memasukkan makanan ke dalam plastik, mulutku tak henti-hentinya memohon ampun karena terpaksa membuang makanan. Di sini tetangganya sudah pada kaya, karena wilayah kami memang bukan daerah padat penduduk melainkan daerah komplek perumahan.
Kusembunyikan di bawah washtafel kamar mandiku, nanti kalau sudah pada istirahat siang, akan aku buang keluar.

Bisa kalian bayangkan apa rasanya jadi aku yang harus terus-menerus membuat kebohongan demi kebohongan untuk melindungi aqidahku.

Lambat laun, semua yang kusimpan serapat apapun, pasti akan tetap ketahuan. Seperti hari itu, aku sedang asyik melihat-lihat buku agama di Toko Buku Wali Songo. Aku sangat terkesan dengan seorang Ustadz, yaitu Ustadz Yusuf Mansyur. Setiap melihatnya membawakan dzikir di TV, hatiku serasa menangis. Aku lantas membeli sebuah buku tentang Keistimewaan Dzikir. Nanti akan aku tanyakan pada Bu Raisyah bagaimana jelasnya.

Toko buku tersebut dengan rumahku pun tidak terlalu jauh. Dengan berjalan kaki hanya menghabiskan waktu sepuluh menit.

Namun, alangkah terkejutnya aku melihat kamarku berantakan. Semua isi lemariku berkeluaran. Dan yang duluan aku cari adalah mukena, sajadah dan buku-buku agamaku.

“Apa yang kau cari?” tanya Papa. Di sampingnya ada Mama yang juga menatapku sinis.

“Ternyata selama ini kau hanya berpura-pura. Dan nyatanya kau kembali membuat ulah. Dasar kau benar-benar anak tidak tau diuntung!” Plaaaaaakkk.  Papa menamparku dengan sangat kuat membuat tubuhku limbung dan terjatuh ke lantai.

“Pa, tahan emosimu. Jangan terlalu kasar pada Julie,” teriak Mama.

“Tak usah kau bela anak durhaka ini. Disayang tapi tak tau disayang.”

“Tapi, Pa, Julie perempuan. Jangan kasar begitu. Dia anak perempuan kita satu-satunya.”

“Bukan! Dia bukan anak kita! Kau lupa dia anak pungut?” celetuk Papa.

Apa?  Aku anak pungut?

“Papa!  Ngomong apa Papa ini?”

“Ya memang dia anak pungut kan?  Yang 18 tahun lalu kita ambil dari Sarah? Sudah seharusnya kau tau siapa dirimu. Kau tau, kau bukan anak kami!  Seharusnya kau itu tau dari dulu, supaya kau lebih tau diri!”

“Papaaaaa …. “ teriak Mama.

“Sekarang kau jangan kemana-mana, besok kau akan Papa berangkatkan ke Jakarta ke rumah Tante Inggrid. Kau harus diselamatkan dari teman-teman yang merusakmu itu.” Usai berucap demikian, Papa lantas mengunciku di dalam kamar.
Aku kembali hanya bisa menangis terpekur di lantai.

Hari ini hatiku benar-benar sangat sakit. Menerima kenyataan aku ini bukan anak kandung Papa dan Mamaku, ditambah aku besok akan diberangkatkan ke Jakarta. Aku tak mau masuk ke asramanya Tante Inggrid. Karena di sana aku pasti akan di suruh menjadi Biarawati. Karena Tante Inggrid adalah seorang biarawati di sana. Aku gak mau!

Aku melihat pintu menuju kamar mandiku sedikit terbuka. Hemm … Papa lupa kalau pintu ini kan tembus ke kamar tamu juga. Sepertinya aku bisa kabur dari sana ….

~~~













Aku Muallaf, Durhakakah Aku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang