PART 17

76 16 1
                                    

Papa menyuruhku untuk mengantar Bu Pinta dan Bu Butet keluar. Karena Papa masih ada urusan dengan ekspedisi yang terlambat mengantarkan mesin label Papa. Kesempatan bagus untuk menuntaskan pembicaraan tadi.

"Bu, kapan-kapan kita ngobrol banyak ya. Aku penasaran kali tentang Islam ini," pintaku pada mereka.

"Boleh kali lah. Kapan ada waktunya?

"Nanti bisa kita atur waktunya ya, Bu. Soalnya saya pagi kuliah. Ada nomer handphone?"

"Ada, sebentar ya." Bu Pinta merogoh kantong seragam dinasnya lalu mengambil pulpen dan secarik kertas kemudian menuliskan nomer ponselnya.

"Nanti kita janjian ketemu dimanaa ... gitu. Biar lebih leluasa kita ngobrolnya. Oke? Kami pamit dulu ya. Semangat!" ucapnya sambil mengelus bahuku.

"Terima kasih ya, Bu."

Segera ku save nomor Bu Pinta di handphone N*kia ku. Sewaktu-waktu nanti bisa aku hubungi beliau.

Tommy semakin sibuk dengan urusannya dan aku pun menghabiskan waktuku dengan kuliah.  Hanya sesekali Tommy mengirim sms atau meneleponku.

Hati sudah mulai terasa hambar pada Tommy. Di sisi lain terbersit rasa kasihan karena dia dan orang tuanya begitu baik padaku. Tapi, hatiku rasanya tak mampu berbohong. Aku tak lebih menganggapnya sebagai seorang sahabat.

Tanpa sengaja aku bertemu dengan Bang Fendy di kampus.  Aku tak yakin ini sebuah kebetulan. Apa mungkin dia memang sengaja menjemputku.

"Bang Fendy? Ngapain kemari? " tanyaku heran.

"Abang mau menjemput Adek, boleh kan?"

"Tumben .... "

"Abang kangen sama Adek ...."

Aku tersipu malu mendengar ucapannya. Dan senyumnya itu lho. Ya ampun, meleleh aku rasanya.

"Ya udah, naik! Tapi abang cuma punya motor. Kalau cowok Adek itu kan punya mobil jadi gak kepanasan," ujarnya merendah.

"Apa sih, Bang. Kok gitu ngomongnya? Ya udah,  emangnya kita mau kemana?"

"Udah ikut aja!"

Aku pun naik ke boncengan. Dan motor meluncur ke sebuah warung bakso yang tak jauh dari rumahku.  Katanya biar tak terlalu jauh untuk mengantarku pulang.

Ketika bersama Bang Fendy, aku benar-benar merasakan hidup. Tawanya, candanya dan kebiasaannya yang menjawil hidungku membuatku merasakan menemukan hidup yang selama bertahun ini mati.

Aku tidak tahu nama hubungan ini apa, dan aku tak berani bertanya. Aku hanya merasakan nyaman berada di dekatnya. Mungkin karena Aku dan Bang Fendy terpaut usia 5 tahun, sehingga Bang Fendy sangat dewasa memperlakukanku. Beda dengan Tommy yang notabene kami seusia. Jadi belum mendapatkan sifat kedewasaan.

Allahu Akbar Allah Akbar.

"Dek, udah adzan. Abang mau sholat dulu di masjid itu. Adek mau ikut atau di sini?"

"Adek ikut aja, Bang."

Setelah membayar bakso yang kami makan tadi, Bang Fendy mengajakku ke Mesjid yang tak jauh dari rumahku. Mungkin adzan yang aku dengar selama ini,  berasal dari masjid ini.

Aku duduk di sebuah teras rumah di depan masjid itu. Kebiasaanku memperhatikan orang yang sholat seperti waktu sekolah bersama teman-teman dulu, terulang kembali.

"Sedang tidak sholat ya, Nak?" Seseorang menyapaku dan otomatis membuatku terkejut.

Melihat ekspresiku, Ibu tersebut langsung meminta maaf. "Maaf, Ibu mengejutkanmu ya."

Aku Muallaf, Durhakakah Aku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang