"Ciye yang akhirnya dilamar bujang tampan," goda Rea yang membuat Juni naik darah di pagi hari yang cerah.
"Bisakah kita bekerja saja pagi ini? Mumpung kios kita masih belum terlalu ramai," ujar Juni sabar.
Rea mengangguk dan paham akan situasi hati Juni. Pagi itu kios yang berada di depan sebuah kampus ternama itu tampak segar dengan bunga-bunga beraneka warna yang baru datang. Keharuman semerbak memenuhi ruangan meski jalan besar di depan kios selalu ramai dan sedikit berdebu.
Lamaran sepihak Cakra membuat kejengkelan Juni nyaris tak pernah surut. Pekerjaan yang biasa dia lakukan dengan mudah itu kini benar-benar membutuhkan perhatian ekstra. Berkali-kali Juni salah mengambil bunga, maksud hati mengambil bunga mawar, yang terambil malah bunga seruni. Meski sama-sama putih, tetapi kesalahan tetaplah kesalahan.
Saat melayani pembeli pun, Juni juga melakukan kesalahan. Dia kelebihan memberi uang kembalian, memberikan bunga gladiol padahal pelanggannya minta bunga bakung. Hari Juni sangat kacau hanya dengan mengingat pesan singkat dari Cakra yang mengatakan akan segera melamarnya secara resmi kepada orang tuanya.
"Apa yang kamu pikirkan, Jun? Sepanjang pagi kamu tidak konsentrasi dengan pekerjaanmu. Mikirin apa, sih?" tanya Rea, sahabat sekaligus rekan kerja Juni di kios bunga yang mereka kelola bersama.
"Nggak mikir apa-apa," sahut Juni cepat.
"Mikirin lamaran si seksi, ya?" goda Rea.
"Seksi kalo kamu liat dari ujung sedotan yang udah kebakar," geram Juni.
Rea tergelak mendengar perumpamaan Juni yang menurutnya sangat lucu. Dia tidak mengerti mengapa Juni terlihat sangat antipati kepada Cakra yang menurutnya adalah salah satu pria menarik yang pernah ada. Sangat sedikit pria dengan kualitas seperti Cakra dan masih lajang. Jadi dia heran melihat Juni yang terang-terangan membenci Cakra.
"Jangan terlalu benci, Jun. Nanti bisa jadi cinta." Rea makin menjadi.
Juni bangkit dari duduknya, sekitar jam makan siang kios biasanya sepi. Hal itu dimanfaatkan Juni untuk menyapu dan membuang tangkai bunga yang berserakan di lantai. Selesai menyapu ruangan seluas 30m persegi itu, Juni meletakkan hasil rangkaian bunga di depan kios. Ada beberapa rangkaian yang dia hasilkan, bunga saja dan ada juga bunga dengan beberapa bungkus coklat.
Tepat jam 1 siang sebuah mobil menepi di depan kios Juni, agak ke timur supaya tidak menutupi pintu masuk. Cakra keluar dari mobil sambil menjinjing kotak makan siang dari sebuah resto ternama. Dengan penuh percaya diri, pria itu melangkah masuk ke kios dan langsung mendapati Rea menyambutnya dengan senyum lebar sementara Juni menunjukkan muka masam.
"Selamat siang Rea, Juni," sapanya ramah.
"Siang, Mas Cakra," balas Rea.
"Aku bawa makan siang banyak. Makan, yuk," ajak Cakra."
Wajah Rea sumringah mendengar penuturan Cakra. Dia menerima 2 kotak makanan dari Cakra dan langsung mengucapkan terima kasih. Setelah mengambilkan sendok untuk Cakra dan Juni, Rea beranjak keluar.
"Aku mau makan di sebelah. Tadi sudah janjian sama Mas Kris buat makan bareng. Nggak papa aku tinggal ya, Mas Cakra," pamit Rea.
"Tak apa," jawab Cakra.
Sepeninggal Rea, mata Juni langsung berkilat penuh kejengkelan melihat senyum kemenangan terukir di bibir penuh Cakra. Bibir Juni terkatup rapat dan dia berharap Cakra mengerti isyarat itu. Juni ingin Cakra pergi secepatnya.
"Jika kau ingin aku pergi maka temani aku makan siang," ujar Cakra.
Juni tidak sudi menemani pria pemaksa seperti itu. Jika bisa, Juni lebih memilih kelaparan asal Cakra tidak pernah menemuinya lagi. Kehadiran Cakra sungguh sangat mengganggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cakrawala Juni
RomanceCover by @henzsadewa Kesalahan satu malam yang dilakukan Juni membuatnya menjadi pendiam dan menutup diri dari pergaulan. Hari-harinya hanya dia lalui dengan bekerja dan keluarga besar di akhir pekan. Cakrawala dipertemukan dengan Juni setahun setel...