🦋 05. Kehidupan Baru 🦋

3.3K 400 86
                                    

Pagi temans, ❤💜
Mas Cakra dan istrinya online lagi. Sambut hyuuuk penganten barunya. Hueee 😝😝😝
.
.
Juni bangun pagi-pagi sekali dengan badan yang terasa sangat pegal. Sebuah lengan melingkari perutnya sementara kepala Cakra menyuruk di lekuk lehernya. Juni ingin beranjak, tetapi Cakra memeluknya sangat erat. Mau tidak mau Juni kembali meringkuk malas dan mencoba memejamkan matanya lagi.

Juni menyerah, hampir setengah jam dia mencoba tertidur namun lelap tidak menghampirinya. Yang ada justru sang suami malah memeluknya lebih erat. Juni menghela napas panjang, cahaya terang dari luar sudah masuk ke kamar melalui sela-sela tirai berat yang tidak sepenuhnya tertutup. Kini Juni bisa mengamati kamar suaminya, kamar yang sepenuhnya terlihat maskulin dengan ranjang besar yang mendominasi salah satu sudut kamar yang saat ini mereka gunakan.

Di atas kepala ranjang ada sebuah bingkai lukisan Juni dalam keremangan senja di Pantai Parangtritis. Tampak dalam lukisan itu rambut Juni tergerai dengan kibaran lembut dan gaun panjang Juni yang tersingkap hingga lutut seolah ada angin yang meniupnya. Juni tidak tahu bagaimana Cakra bisa menyuruh orang melukisnya dengan penggambaran yang begitu sempurna, tepat seperti sore itu kala mereka kembali bertemu untuk yang pertama kalinya. Dalam kamar itu juga terdapat lemari yang tinggi yang besarnya hampir memenuhi salah satu sisi dinding. Juni duga di sanalah seluruh pakaian dan perlengkapan yang dimiliki oleh suaminya tersimpan.

Terakhir Juni melihat sebuah pintu yang dia pikir adalah kamar mandi. Cahaya semakin terang masuk ke dalam kamar dan Juni dapat melihat dengan lebih jelas. Tirai berat yang menutup jendela itu berwarna krem. Seprai yang menutup ranjang berwarna biru gelap bercorak kotak-kotak keperakan.

Juni meregangkan tubuhnya yang kebas karena berada dalam satu posisi untuk waktu yang cukup lama. Dia menoleh ke arah suaminya yang kini berbaring telentang karena gerakannya tadi. Dengan selimut yang melorot hingga perut, Juni melihat tubuh maskulin suaminya, rambut berantakan yang sedikit menutup dahi, dan bulumata yang ternyata cukup lentik untuk dimiliki seorang pria.

"Puas memandangi suamimu, Sayang?" tegur Cakra.

Juni yang masih tertegun langsung menarik selimut sampai leher. Dia tidak menyangka kalau Cakra sudah terbangun, tetapi tetap memejamkan mata hanya untuk memergoki tingkahnya yang memalukan. Tanpa sadar Juni menjauh dari Cakra, tetapi suaminya itu segera meraih kembali tubuh mungilnya dalam pelukan erat.

"Jangan menjauh, lihat saja aku semaumu. Aku tidak keberatan dan kau tidak perlu malu padaku, aku sudah melihatmu lebih dari yang kamu tahu."

Wajah Juni memerah sampai ke telinganya. Ucapan Cakra benar-benar sangat tidak tahu malu menurutnya. Meski tersirat, tetapi hal-hal seperti itu tidak seharusnya diucapkan dengan begitu terus terang. Setidaknya itu yang Juni pikirkan karena dalam pertumbuhannya, tak sekalipun ada orang yang berbicara sedemikian gamblang kepadanya.

"Aku berbicara semauku dan akan lebih terus terang padamu. Jadi biasakan itu, tetapi menarik juga kalau bisa melihat pipimu itu bisa merona karenaku," kata Cakra.

Satu hal yang tidak dimengerti oleh Juni, bagaimana Cakra bisa menebak tepat apa yang sedang ada dalam pikirannya. Bagi Juni itu sangat berbahaya karena itu artinya dia tidak akan bisa menyembunyikan apapun dari suaminya yang pemaksa itu.

"Wajahmu itu sama dengan buku terbuka di mataku. Jadi gampang sekali bagiku untuk mengetahui apa yang kau pikirkan."

Nah ... Juni baru saja memikirkan bagaimana suaminya itu mengetahui apa yang ada dalam pikirannya dan detik berikutnya Cakra sudah menjawab pertanyaan yang tidak dia ucapkan. Juni menarik selimut hingga menutup kepalanya dan berbalik menelungkup tanpa peduli pada tawa Cakra yang tiba-tiba terdengar sampai ke gendang telinganya.

Cakrawala JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang