🦋 03. Pinangan Tanpa Cinta 🦋

3.8K 432 106
                                    

Selamat malam, temans😍🥰
Mas Cakra yang suka maksa dateng lagi menyapamu😁
.
.
.
Juni baru saja melepas kepergian pelanggan terakhirnya sebelum jam makan siang. Senyumnya cerah karena sepanjang pagi dia telah sibuk merangkai bunga dengan pembeli yang tak ada putusnya. Dia lelah, tetapi merasa bahagia dengan pencapaiannya hari itu.

Senyumnya pudar ketika melihat Cakra datang ke kios bunga lagi siang ini. Pria itu berkata kebetulan saja sudah menyelesaikan pekerjaannya dan ingin makan siang bersama Juni. Juni yang sudah mulai mengenali adat buruk Cakra hanya bisa diam. Menolak Cakra sama dengan siap adu argumen panjang dan berakhir dengan kekalahan dipihak Juni serta kedongkolan hati yang berakibat pada mood Juni.

Cakra membawa sayur asem sebagai menu makan siang mereka, lengkap dengan cumi goreng mentega, dan sambal jeruk limau serta pepes ikan mas. Juni mengakui dalam hati, Cakra adalah jenis pria yang peduli dengan asupan gizi yang Juni makan. Rea pergi ke kios tetangga seperti biasanya saat Cakra datang dan memilih untuk meninggalkan Juni daripada berada dalam situasi yang tidak mengenakkan.

"Jadi, Sayang, aku akan melamarmu seminggu lagi dan kita akan menikah 2 minggu setelahnya. Kau tak perlu menyiapkan apa pun karena aku yang akan mengurusnya. Persiapkan saja dirimu, pergi ke salon kecantikan untuk memanjakan diri. Percantik wajahmu supaya kau akan terlihat lebih menawan di hari pernikahan kita," kata Cakra.

Juni membiarkan Cakra mengoceh sendiri sementara dia terus mengunyah cumi goreng mentega yang sangat menggugah seleranya siang itu. Pikirannya hanya tertuju pada makanan tanpa peduli Cakra yang sedang memperhatikannya dengan seksama. Baru kali ini Juni merasa santai dan masa bodoh di depan Cakra.

"Apa kau mendengarkanku, Juni?" tanya Cakra.

Juni melirik Cakra sekilas lalu menelan makanan yang ada dalam mulutnya. Juni meraih air mineral dalam gelas dan meneguknya pelan. "Iya, lalu apa yang istimewa?" tanya Juni balik.

"Sangat istimewa karena kau akan mulai mempercantik dirimu untukku," ujar Cakra santai.

"Memangnya mengapa aku harus begitu?"

"Karena kita akan menikah, Juni."

"Itu kan hanya keputusan sepihakmu."

"Jadi kau tidak mau menikah denganku?"

"Tidak," sahut Juni cepat.

Juni merasa senang bukan main ketika berhasil membuat Cakra terdiam. Senyum manisnya tersungging penuh kemenangan, tetapi rupanya hanya sampai disitulah kesenangannya. Senyum Cakra yang dia lihat setelahnya adalah sebuah seringaian berbahaya seperti yang sering Juni lihat di film yang ditontonnya.

"Apa itu jawaban final untukku, Sayang?"

"Tentu."

"Oke. Sekarang mari kita lihat," kata Cakra. "Kau masih akan tetap pada pendirianmu itu atau tidak setelah mendengar penuturanku ini," lanjut Cakra.

"Coba saja," sahut Juni.

Juni menatap sekilas wajah Cakra, mengira-ngira apa yang sedang ada di dalam pikiran pria pemaksa itu sekarang. Bagaimanapun Juni mencoba, dia tetap tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh Cakra. Juni hanya melihat wajah tegas Cakra dan rambut yang disisir ke belakang dengan rapi.

"Juni Saraswati. 25 tahun, putri pertama dari pasangan Hadinata dan Mariana. Mempunyai 2 adik laki-laki, satu kuliah sementara yang lain masih sekolah menengah. Pak Hadinata bekerja sebagai staf biasa di Anugerah Jaya Konstruksi sementara Bu Mariana hanyalah seorang ibu rumah tangga. Penghasilan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar pendidikan dengan pengaturan yang cermat sementara putri sulungnya membantu sebisanya."

"Ada yang salah?" tanya Juni.

"Ada."

"Sebutkan!" perintah Juni.

"Akan menjadi salah jika Pak Hadinata kehilangan pekerjaan dan kau tak akan mampu menutup semuanya sendirian."

"Itu nggak akan terjadi."

"Akan terjadi jika aku menginginkannya."

"Memang kamu siapa berani-beraninya berkata seperti itu ke aku? Aku benci kamu, dasar tukang paksa!" geram Juni.

"Aku melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keinginanku, Juni."

Juni tercekat saat menyadari betapa berbahaya pria bernama Cakra ini. Berbahaya dalan artian mengancam ketenangan hidupnya dan berpotensi untuk mengacau segala yang sudah Juni capai. Juni mendadak pusing.

"Tidak bisa berkata apa-apa, kan, Sayang?"

"Bisakah kamu pergi saja?" tanya Juni lelah.

"Tidak. Aku akan pergi setelah mendapat kepastian bahwa aku bisa melamarmu secara resmi minggu depan."

"Jika aku tetap tidak mau, bagaimana?"

"Siap-siap saja kalau bapakmu akan kehilangan pekerjaan. Kita sama-sama tahu apa yang akan terjadi jika aku melakukan itu," jelas Cakra.

"Kamu enggak akan bisa," kata Juni.

"Aku bisa, Sayang. Percayalah ...."

"Kamu cuma mengancam."

"Aku pemilik Anugerah Jaya Konstruksi. Jadi kau pasti bisa membayangkan apa yang bisa kulakukan, bukan?"

Juni terdiam, pikirannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Seluruh kemarahannya naik ke permukaan, mengaburkan akal sehat dan logikanya. Satu per satu kejadian buruk terbayang di depan matanya seandainya bapaknya kehilangan pekerjaan.

Juni tidak akan tega melihat bapaknya terpuruk karena masih punya anak yang harus dibiayai. Hatinya tahu benar jika bapaknya tak akan merepotkan dirinya dengan meletakkan tanggung jawab di pundak Juni sepenuhnya. Juni mengerti, dia harus membuat keluarganya aman dan nyaman dengan cara membuat Cakra tidak menyentuh mereka.

"Kamu memanfaatkan kekuranganku!" Juni merasa jengkel dan dipermainkan.

"Bagian mana aku mempermainkan hidupmu, Sayang? Aku menawarkanmu untuk memanjakan dan mempercantik diri sambil menunggu hari pernikahan kita. Apa itu salah?"

"Salah. Jelas sangat salah. Kau memanfaatkan situasi ...."

"Anggap saja aku terobsesi padamu, Juni. Sejak peristiwa satu malam itu, aku hanya ingin kau jadi istriku," potong Cakra tidak mau mendengar perkataan Juni.

"Jangan ganggu kenyamanan keluargaku," pinta Juni.

"Kau harus membuatku nyaman. Menikah denganku dan jadilah istriku maka aku tidak akan mengganggu ketenangan keluargamu."

Demi apapun yang ada di sekitarnya, rasanya Juni ingin sekali memukul kepala Cakra dengan kaleng kosong bekas wadah bunga. Pria pemaksa itu benar-benar memaksakan setiap kehendaknya. Tidak ada satu celah pun bagi Juni untuk meghindari keadaan itu.

"Baiklah. Beri aku waktu 3 bulan untuk mempersiapkan semuanya."

"Tidak perlu, Sayang. Persiapkan dirimu saja, biar sisanya aku yang akan mengurus."

Juni mengangguk pasrah, tidak mempunyai energi lagi untuk membalas Cakra. Cakra mengeluarkan dompetnya lalu menarik sebuah kartu ajaib milik salah satu bank terkenal. Dia meletakkan kartu itu di hadapan Juni dan menatap Juni dingin ketika dilihatnya gelagat Juni yang sudah ingin menolak.

"Pin-nya adalah tanggal, bulan, dan tahun lahirmu. Gunakan untuk memanjakan dirimu dan beli gaun pengantin yang kamu suka. Ingatlah satu hal ... jangan mempermalukan aku di depan umum saat kita menikah nanti. Aku tidak akan berkompromi saat seseorang bermain dengan harga diriku. Kau paham, Sayang?"

Juni mengangguk lagi, itu adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan. Dia sudah tidak mampu untuk berpikir ketika tahu bahwa Cakra telah menguasai medan pertempurannya. Tidak ada jalan kembali bagi Juni untuk menyesali kejadian setahun yang lalu.

Sebenernya yang betein itu Cakra apa Juni sih?

Love, Rain❤

Cakrawala JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang