Selamat malem, temans ❤💜
Cakra baru pulamg kerja🤭🤭Sudah lebih dari tiga hari Juni tidak enak badan. Merasa lemas dan kehilangan selera makan. Selama tiga hari itu pula pekerjaan Juni hanya tidur di kamar dengan menutup seluruh gorden sehingga tidak ada cahaya yang masuk. Juni bangun menjelang jam sembilan lalu mandi dan melakukan kegiatannya seperti biasa. Juni pikir itu adalah awal dari flu, mengingat cuaca yang memang sedang tidak bersahabat.
Belum ada niat untuk pulang ke rumah suaminya sejak pembicaraannya dengan bapak beberapa hari yang lalu. Juni mengatakan masih perlu waktu untuk memikirkan semuanya sebelum kembali bertemu dengan Cakra. Dia perlu memantapkan hati menghadapi suaminya yang arogan dan pemaksa.
Juni sedang duduk di ruang tamu saat ibu datang dari pasar dengan naik becak dan berhenti persis di depan rumah. Juni keluar dan mengambil belanjaan ibu kemudian membawanya ke dalam sementara ibu masih membayar ongkos kepada abang becak. Ibu menyusul masuk ke dapur bersamaan dengan Juni yang sedang mengeluarkan semua bahan yang baru dibeli ibu. Dia bersiap untuk memasak makan siang untuk keluarganya sebelum tengah hari.
Ibu bersimpuh di lantai dan mulai menyiapkan bumbu sementara Juni mengambil wadah besar untuk meletakkan sayur yang sudah dipotong. Juni juga membersihkan ikan segar, memberinya bumbu, dan perasan lemon serta memasukkannya ke dalam kulkas. Semuanya dikerjakan oleh Juni dan ibu dengan cekatan.
Bapak masuk ke dapur melalui pintu belakang tepat saat Juni baru saja mematikan kompor dan mengatakan kalau makan siang sudah siap. Bapak segera mencuci tangan sementara Juni menyiapkan semuanya di meja makan. Bening bayam, pepes ikan dan sambal menjadi menu makan siang keluarga Juni.
"Makan enak begini ini apa kamu ndak ingat suamimu, Jun?" pertanyaan ibu membuat Juni membatalkan suapannya sejenak dan memilih untuk meletakkan sendoknya kembali di piring.
"Ibu mau bilang apa?" Juni langsung bertanya setelah meneguk air putih dari gelasnya. Membersihkan bibirnya dan memberi perhatian penuh pada ibu.
"Makan siang dengan menu enak begini, mbok kamu mengabari Nak Cakra. Panggil dia ke sini dan kita bisa makan sama-sama. Tadinya ibu berpikir begitu, tetapi melihat kamu ndak ingat sama sekali dengan suamimu itu maka ibu memilih untuk mengingatkanmu." Ibu memperingatkan Juni sambil melayani bapak yang ingin menambah porsi makan siangnya.
Salah lagi, itulah yang dirasakan Juni saat dirinya menyempatkan untuk makan bersama dengan bapak dan ibu. Juni mendadak merasa seperti anak tiri yang setiap hari hanya disindir dan tidak pernah ada benarnya. Sebenarnya di sini yang anaknya bapak dan ibu itu dia atau Cakra? Juni merasa tidak diperhatikan lagi oleh orang tua hanya karena suaminya yang bagi mereka adalah dewa penolong.
"Mas Cakra tidak pernah makan siang di rumah, Bu," jawab Juni hati-hati.
Sehati-hatinya Juni dalam memilih jawaban, saat seseorang memang berniat untuk mencari kesalahan maka semuanya tidak akan pernah benar. Sekilas ibu meliriknya sinis dan kembali menyuapkan makanan ke mulut. Juni kehilangan selera makan dan merasa mual seketika.
"Itu kan hanya alasanmu. Coba ibu tanya, selama di sini berapa kali kamu menghubungi suamimu? Pernahkah dia datang dan berbicara denganmu?" pertanyaan yang efeknya langsung memukul telak tepat di hati Juni.
Tidak ada pembenaran dalam hati Juni yang bisa digunakan sebagai alasan untuk membela diri. Juni memilih diam hingga orang tuanya selesai makan dan meninggalkan meja. Juni membereskan semuanya dan dalam diamnya meneteskan air mata.
Inilah keluarganya yang sudah Juni bela mati-matian hingga mengabaikan suaminya dan yang dia dapatkan hanyalah kesalahan. Semua adalah salahnya seorang diri dan tak ada kesalahan Cakra sama sekali. Hanya Juni yang bersalah di sini sampai kapan pun.
Keadaan seperti itu sudah berlangsung selama seminggu dan Juni menjadi enggan makan dengan bapak dan ibu. Sehari-harinya hanya Juni berada di dalam kamar melakukan pekerjaannya dan sesekali membeli makanan online. Juni hanya memakan sedikit dan membuangnya karena mendadak kehilangan selera lalu akan tidur beberapa jam.
Juni terbangun karena teriakan ponselnya yang cukup mengganggu kenyamanan telinga. Meraba-raba ke atas nakas, Juni menemukannya dan menjatuhkan benda itu ke lantai. Dengan menengkurapkan tubuh, Juni menepi ke bibir ranjang dan berusaha mengambil ponselnya di lantai. Panggilan telah terhenti dan disusul satu pesan masuk.
Mata Juni melebar demi melihat panggilan siapa yang baru saja membangunkannya dari tidur lelap. Juni ingin marah karena belakangan merasa benar-benar tidak enak badan dan berefek pada jam istirahatnya. Mengabaikan pesan yang masuk, Juni mematikan ponsel dan mencoba tidur kembali.
Juni terbangun di tengah malam dengan perasaan mual luar biasa. Secepat kilat dia berlari ke kamar mandi untuk mengosongkan isi perutnya. Suara kerasnya mungkin mengganggu seisi rumah hingga tak lama kemudian Juni merasa ada pijatan yang menghampiri tengkuknya. Sebuah pijatan yang mengantarkan rasa nyaman dan berhenti mual dalam sekejap.
Lemas Juni kembali ke kamar dipapah oleh bapak. Pria itu memberikan minyak kayu putih kepada Juni lalu beliau keluar. Ibu masuk dan mengambil minyak kayu putih dari tangan Juni. Beliau duduk di tepi ranjang dan membuka baju Juni di bagian perut kemudian mengoleskan minyak kayu putih di sana.
"Bilang sama Ibu, sudah berapa bulan?" tanya Ibu seraya menggosok lembut perut Juni.
Juni terdiam mendengar pertanyaan ibunya. Pikirannya kembali mengingat bagaimana kehamilan itu terjadi. Seingatnya dia selalu minum pilnya secara rutin dan tidak pernah absen. Dahi Juni mengerut ... tidak pernah absen? Tunggu ... Juni akhirnya mengingat hari kedatangan dokter kulitnya. Saat itu dia bahagia karena akhirnya bisa melakukan perawatan lagi setelah beberapa bulan dan malamnya dia lupa mengkonsumsi pilnya.
"Ndak bisa jawab? Pertanyaan Ibu susah, ya?" tanya Ibu lagi. Beliau selesai mengoles perut Juni dan kembali menutupkan bajunya.
"Juni nggak tau, Bu." Juni menjawab pelan. Berbagai pikiran singgah ke kepala Juni dan tidak mau pergi. Ibu keluar dari kamar, terdengar suara aktivitas di dapur, dan disusul ibu yang kembali masuk kamar membawa segelas teh hangat.
Ibu membantu Juni duduk dan minum teh hangat manis. "Ini...," ibu memberikan sebuah bungkusan ke tangan Juni, "gunakan besok pagi setelah kamu bangun tidur."
Juni melihat bungkusan yang diberikan ibu dengan perasan gamang. "Iya, Bu." Singkat saja Juni menjawab karena kantuk mulai menyerangnya. Juni memejamkan mata dan masih bisa merasakan elusan ibu di dahinya sebelum beliau keluar kamar.
Pagi-pagi sekali Juni sudah bangun dan diam di kamar mandi untuk waktu yang lebih lama dari biasanya. Pikirannya kalut dan hatinya harap-harap cemas menunggu hasil apa yang akan dia dapat dari benda yang seringnya menjadi harapan kabar baik para suami istri itu. Beberapa saat berlalu dan sedikit takut-takut Juni melirik hasil yang ditunjukkan benda itu.
Dua garis merah di sana membuat Juni bersandar lemas di dinding. Jadi itulah yang menjadi penyebab tidak enak badannya belakangan ini, raibnya selera makan dan mual-mual yang disusul terkurasnya isi perut di tengah malam dan hampir sepanjang hari yang akhirnya tidak bisa lagi dia sembunyikan dari orang tuanya.
Bagaimana Juni akan bersikap sekarang? Dia bingung memutuskan jalan yang akan dia ambil. Hubungannya dengan Cakra saja masih belum ada kejelasan sementara dirinya kini tengah hamil. Seorang anak yang tidak direncanakannya telah hadir dan berlindung dalam perutnya.
TAMAT
Yang penasaran kelanjutannya langsung melipir ke ebook-nya yakk. Lengkap sama ekstra part. Meluncur segera. 😘😘💜❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Cakrawala Juni
RomanceCover by @henzsadewa Kesalahan satu malam yang dilakukan Juni membuatnya menjadi pendiam dan menutup diri dari pergaulan. Hari-harinya hanya dia lalui dengan bekerja dan keluarga besar di akhir pekan. Cakrawala dipertemukan dengan Juni setahun setel...