🦋 06. Prinsip Juni 🦋

3K 352 84
                                    

Pagi temans ❤💜
Mas Cakra yang suka maksa menyapamu lagi dong.🥰🥰
.
.
Cakra pulang sore hari tepat setelah Juni mandi dan sedang menggunakan pelembab kulitnya. Juni tidak menyapa suaminya, melirik saja tidak. Dia asyik mengoles pelembab kulit ke lengan dan kakinya, tidak terganggu dengan kehadiran Cakra. Suaminya itu mencium kepalanya dan berlalu ke kamar mandi.

Pintu kamar mandi tertutup pelan sementara Juni meneruskan kegiatannya merawat kulit. Sebentar kemudian dia bangkit dan mengambil celana yang akan dipakai oleh Cakra. Dia ketuk pintu kamar mandi dan memberikan celana itu untuk suaminya.

"Sayang, aku mau kopi hitam agak pahit," pinta Cakra begitu keluar dari kamar mandi. Wajahnya bersih, rambutnya sedikit basah, dan mengenakan celana longgar berwarna coklat muda yang Juni pilihkan. Tangannya meraih kaos hitam yang Juni ulurkan lalu mengenakannya dengan cepat.

"Ada simbok yang siap kamu suruh apa saja, kenapa menyuruhku?" tanya Juni dan seketika menghentikan gerakan Cakra yang sedang menyisir rambutnya.

"Yang istriku simbok atau kamu?" tanya Cakra dingin.

"Aku kan hanya istri pajanganmu di rumah ini."

Juni terkejut ketika Cakra meletakkan sisir di depannya dengan cukup keras. Dengan sedikit mencengkeram, Cakra menarik lengan Juni dan membawanya duduk di tepi tempat tidur mereka. Matanya menatap Juni tajam, membuatnya tertunduk dengan jemari yang saling meremas.

"Bisa kau katakan apa maksud ucapanmu barusan?" suara datar Cakra sedikit banyak membuat Juni agak gentar juga.

Juni membisu, tidak bermaksud menjawab pertanyaan Cakra yang dilontakan seolah tanpa rasa bersalah. Dia sadar kalau telah menyentil harga diri Cakra sebagai seorang suami dan dia agak menyesal karenanya.

"Kau mau tau apa itu istri pajangan?" jemari Cakra mendongakkan dagu Juni supaya menatap ke matanya yang menyorot tajam.

Juni menggeleng saat menyadari isyarat bahaya dari pertanyaan Cakra. Secepat kilat dia bangkit dan berjalan ke luar kamar menuju dapur di bawah. Sesampainya di dapur, simbok sudah menjerang air, Juni mengambil cangkir dan mulai menakar gula dan kopi. Air mendidih tidak lama kemudian, dimatikannya kompor lalu menuang isinya ke dalam gelas.

Selesai mengaduk kopi, Juni mengambil tatakan dan membawanya kepada Cakra yang duduk di sofa ruang tengah. Sebuah ruangan besar dengan satu sofa panjang berwarna hitam menempel dinding yang berwarna abu-abu serta tv flat yang menempel dinding yang berseberangan dengan posisi duduk Cakra. Juni meletakkan kopi itu di atas meja kaca berwarna hitam tepat di depan suaminya. Saat akan beranjak, Cakra memanggilnya dan mengisyaratkan padanya untuk duduk.

Juni duduk di sebelah Cakra, memperhatikan sekilas suaminya yang meraih cangkir kopi, meniup sebentar lalu menyesap pelan kopinya. Cakra memejamkan mata sebentar, menikmati citarasa kopi yang dibuatkan oleh Juni. Sekilas Juni melihat ada kilat kepuasan di mata gelap Cakra setelah pria itu meletakkan kembali cangkirnya di meja.

"Sayang, kita tidak bisa berumah tangga dengan baik jika kepala cantikmu itu penuh dengan prasangka buruk." Cakra memulai percakapan dengan suara datar dan dalam.

"Kamu terlalu otoriter," Juni berujar pelan.

Cakra menoleh ke arah Juni dan menaikkan sebelah alisnya. "Menurutmu begitu?"

"Iya." Juni mengangguk, kali ini dia menatap mata suaminya dengan berani. Juni salah, selama ini dia menganggap mata Cakra berwarna gelap, nyatanya warna mata suaminya adalah coklat, berkilat tajam ketika menatapnya seolah Juni adalah seseorang yang telah melakukan kesalahan besar.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan?" Cakra menaikkan sebelah kaki ke sofa dan menekuknya lalu sedikit berputar menghadap Juni.

"Aku mau ke kios."

Cakrawala JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang