🦋 09. Kembali Pulang 🦋

3.5K 393 73
                                    

Selamat siang temans💜❤
Todei Mas Cakra online malem lagi yakk, sekalian pulang kerja katanya🤭

Sudah lebih dari 2 bulan Juni ada di rumah orang tuanya. Hatinya bahagia ketika dia menginjakkan kembali kakinya di rumah tempat dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Berkumpul kembali dengan bapak dan ibu yang mendidiknya untuk menjadi perempuan tangguh yang bisa diandalkan. Walaupun tidak menyekolahkan Juni hingga perguruan tinggi, nyatanya Juni tetap bahagia karena bisa kuliah dengan biaya sendiri.

Hal yang diperhatikan Juni selama berada di rumah adalah kegiatan bapaknya. Beliau sudah tidak pergi ke kantor seperti dulu. Kini bapak lebih banyak di rumah, beberapa staf yang akan datang ke rumah jika memerlukan bimbingannya, selebihnya bapak akan pergi ke kantor hanya 4 hari dalam seminggu, yaitu hari Senin sampai Kamis.

Hal lain yang mengherankan bagi Juni adalah raut wajah bapak. Pria baik yang menjadi cinta pertamanya itu kini terlihat lebih bahagia. Bekerja hanya sampai jam 3 dan dilanjutkan mengurusi kebun sayur di samping rumah mereka. Tanah berukuran 200 meter persegi itu menurut cerita ibu sudah dibeli oleh Cakra dan menyarankan bapak untuk menanam sayur seperti kesukaan beliau.

Juni bisa melihat betapa bapak terlihat begitu bahagia sekarang. Dia sempat menengok ke sebelah dan melihat hasil karya bapak. Di sana Juni menemukan banyak sayuran organik yang ditanam langsung di tanah. Tumbuh subur dalam petak-petak kecil yang memudahkan bapak saat mengairi tanpa harus menginjak bagian tengah petak untuk menjangkau yang lain. Tanaman bapak hanya berbagai macam sayuran untuk konsumsi sehari-hari . Ada buah markisa yang sudah dibuatkan rambatan hingga membentuk sebuah atap untuk berteduh. Ada juga pare yang memenuhi rambatannya dan berbuah lebat sampai-sampai hampir setiap hari Juni makan sebagai lalapan dan sambal bersama ikan hasil olahan ibu.

"Juni ... dari tadi kok kelihatannya ngelamun saja. Ada apa kok sedih begitu?" Ibunya datang dan langsung duduk tak jauh di samping Juni. Bahkan wajah ibunya pun kini tampak lebih segar dan bahagia.

"Nggak apa-apa, Bu. Cuma heran gimana kehidupan kita bisa menjadi lebih tenang sekarang." Juni menjawab pertanyaan ibunya tanpa memberitahukan kegundahan hatinya.

Ibu tersenyum, menarik satu tangan Juni dan menggandengnya ke arah pintu belakang lalu keluar dan mengarah ke samping. Duduk berdua dengan ibu di bawah atap rambatan markisa, Juni melihat bapak sedang menyemprot tanaman. Menggunting daun-daun mati lalu merapikan media tanam supaya semua tanamannya terlihat bagus.

"Bapakmu itu sehari-harinya ya begitu itu kalau sedang ndak ngantor. Masuk ke rumah pada tengah hari, salat lalu minta makan. Kamu pasti tahu itu karena sudah sebulan ini di rumah." Ibu mempertegas kegiatan bapak kepada Juni dan Juni mengerti ke mana arah pembicaraan ibu.

Juni tidak memungkiri kalau Cakra sudah begitu baik kepada keluarganya. Suaminya hanya membeli tanah di sebelah rumah, entah bernegosiasi dengan cara apa yang jelas dengan itu wajah tua bapak berangsur segar dan tampak beberapa tahun lebih muda. Juni sudah pasti tidak akan percaya jika ada orang yang mengatakan hal itu, tetapi saat melihat bapaknya sendiri, mau tidak mau Juni menjadi percaya bahwa kebahagiaan akan memberikan pengaruh pada penampilan seseorang.

"Suamimu itu baik sekali, Jun. Ibu senang, sangat senang melebihi saat kamu dengan Jupiter. Ibu tidak bermaksud membandingkan keduanya, tapi Nak Cakra ini lebih ngajeni Bapakmu kalau Ibu lihat-lihat."

Nah ... ibu saja yang susah dekat dengan orang bisa begitu suka dengan Cakra yang baru dikenalnya beberapa bulan, sementara beliau mengenal Jupiter hampir sepanjang usia pria itu karena mereka memang masih saudara jauh. Juni gelisah memikirkan kalau dirinya salah sangka dan terlalu keras mempertahankan idealismenya yang dianggap tidak tepat oleh banyak orang serta terlalu lama menenggelamkan kepalanya dalam pasir sehingga tidak bisa membuka mata dan telinga untuk lebih mengetahui kondisi keluarganya sendiri yang ternyata sudah jauh membaik.

Juni mengembuskan napas panjang, "Bu ... bagaimana dengan biaya sekolah adik-adik?" Juni merasa telah melontarkan pertanyaan terbodoh karena hal itu. Menyangga kedua tangan di kursi tepat di sisi paha, Juni menunduk menekuri tanah di bawahnya. Helaian rambutnya yang terlepas dari jalinan tertiup angin dan menutupi pandangan matanya.

"Nak Cakra tidak membantu soal itu, katanya itu adalah urusanmu karena dia sudah menyerahkan kepercayaan untuk mengatur keuangan rumah tangga kalian padamu. Suamimu hanya membeli tanah di sebelah rumah kita ini, itu pun atas namanya sendiri, tidak ada hal buruk yang dilakukan oleh suamimu di belakangmu."

Juni terdiam, membisu, dan tidak bisa menanggapi cerita ibunya tentang semua yang sudah Cakra lakukan. Juni mengingat kembali bagaimana kronologi pertemuannya dengan Cakra sejak pertama kali, disusul pernikahan yang tak diimpikan itu hingga kehidupannya sekarang.

Juni bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah bapak yang berdiri di antara tanamannya. Melewati jalan setapak yang dibuat bapak di antara petak-petak sayur, Juni bisa melihat tangan dingin beliau dalam merawat semua tanaman itu. Sampai di dekat bapak, Juni terperangah melihat apa yang dirawat oleh bapaknya. Pria tersayang itu sedang berdiri di antara dua rak dari bambu sepanjang 2 meter yang masing-masing memiliki 5 susun untuk menampung tanaman stroberi.

"Pak, udah berbuah aja stroberinya." Juni membuka pembicaraan dengan bapak dan hanya mendapat lirikan sesaat sebelum bapak kembali asyik memotongi daun stroberi yang mengering.

Juni tidak gentar meski tak mendapatkan respon dari bapaknya. Dia maju dan membantu bapak menarik daun-daun yang memang sudah mengering dan perlu dibuang. Sesekali diliriknya wajah bapak yang ternyata sedang mengeruh entah memikirkan apa.

"Bapak marah sama Juni?" pelan saja Juni mengajukan pertanyaan pada bapak dan mendapati helaan napas panjang beliau sebagai jawaban.

Juni tidak mendesak bapak karena terus mencecarnya dengan pertanyaan akan membuat bapak berpikir keras dan itu adalah hal yang tidak diinginkan oleh Juni. Sebisa mungkin Juni selalu berusaha untuk meringankan beban pikiran bapak supaya beliau bisa hidup dengan tenang dan tanpa masalah yang berarti.

"Masalahmu apa sama bojomu?" singkat, padat, dan jelas, itulah kesan yang diterima Juni dari pertanyaan bapaknya.

Juni terdiam dan tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya bukan tidak bisa, tetapi lebih kepada dia sudah tahu bahwa jawaban apa pun yang dia berikan, bapak tetap akan memberikan petuah panjang. Sebuah petuah dari seorang bapak untuk anak gadisnya yang Juni tahu adalah hal berguna tentang sikap baik dan kepatuhan seorang perempuan sebelum melepaskan anaknya untuk berumah tangga dengan seorang pria.

"Nggak ada masalah, kok, Pak," elak Juni sambil terus menarik daun-daun stroberi kering.

"Kamu pikir bapakmu ini bodoh? Selawe tahun, Nduk (Dua puluh lima tahun, Nak), Bapakmu ini mendidikmu. Apal dengan kelakuanmu di luar kepala." Bapak menghentikan kegiatannya dan meluruskan punggung lalu menghadap ke arah Juni.

Wajah bapak masih seteduh dulu, sama dengan saat Juni masih melajang, menikah dengan Jupiter lalu menjanda dalam waktu singkat. Tidak ada rasa iba terpancar di sana, yang ada hanyalah kasih sayang seorang bapak yang tanpa batas kepada anaknya. Masa menjanda yang tidak mudah bagi Juni karena anggapan buruk masyarakat, sehingga Juni menjadi sangat selektif dalam pergaulan.

"Bukan begitu, Pak. Juni hanya ...."

"Tidak usah diteruskan, bapak sudah tahu apa jawabanmu. Lari ndak akan menyelesaikan masalah. Pulang dan perbaiki hubunganmu dengan suamimu. Bapak bukan mengusir, hanya dewasalah dan lebih bijak dalam menyikapi segala sesuatunya." Bapak kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti.

Juni memahami bapak sama dengan bapak memahami dirinya. Jika sudah seperti itu, artinya bapak sudah memberikan anjuran keras dan Juni wajib menurut. Juni kembali menarik napas dan mengembuskannya pelan. Meninggalkan bapak di sana dan kembali berjalan ke arah pintu belakang rumah. Ibu sudah tidak tampak di tempat duduk mereka tadi, sementara Juni memilih untuk duduk lagi di tempat semula dan merenungkan petuah bapak.

Oalah anak wedok, aksinya kapan kalo kebanyakan mikir gitu, Jun?

Love, Rain❤

Cakrawala JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang