Dering Ketiga ☎ Sakura yang Mulai Gugur

21 7 0
                                    

(Dering Ketiga)
Sakura yang Mulai Gugur

(Dering Ketiga)Sakura yang Mulai Gugur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

LAURINA

Secepat roda-roda kendaraan dengan kecepatan berlebih yang bemufakat dengan merah muda sakura yang berguguran, pagi ini aku merasakan kontradiktif yang begitu nyata saat mengecek riwayat panggilan di ponselku.

Tidak ada puluhan panggilan yang tak terjawab dari Raynan untukku.

Aku terdiam sejenak. Mungkinkah karena pertengkaran kemarin? Raynan tak mau bersusah payah lagi membangunkanku di saat yang bersamaan dengan matahari yang merebak masuk lewat kaca-kaca yang mengarah langsung ke luar.

Aku menyelipkan anak rambutku di belakang telinga. Menyibakkan selimut putihnya, aku diam di tepi ranjang. Raynan tidak pernah melewatkan sehari saja selama dua bulan ini buat ngebangunin aku lewat telepon dan nyanyi lagu-lagu Taylor Swift kesukaanku.

"Apa aku sudah keterlaluan cueknya sama hubunganku dengan Raynan?" monologku.

Mencoba mengabaikan lalu lalang pikiran buruk di kepalaku, aku turun untuk mandi dan bersiap-siap pergi sekolah karena jarum panjang jam sudah mengarah pas di angka 9. Mungkin Raynan sedang ada urusan penting lainnya yang harus diurus pagi-pagi begini. Ya, mungkin itu alasan Raynan tak menghubungiku.

30 menit cukup untukku menuntaskan segala hak yang harus dilakukan sebelum berangkat sekolah seperti remaja perempuan lain. Mandi, mewangikan badan, mengoleskan sedikit liptint agar bibirku tetap lembab, menyiapkan buku yang akan kubawa hari ini, dan juga sarapan.

"Tumben Raynan belum jemput kamu?" Mama yang sedang mencuci piring bertanya. Aku mematikan televisi yang menampilkan gosip tentang perceraian salah satu pesohor tanah air di pagi yang kurang menggairahkan ini. Menoleh ke Mama, lalu menaikkan kedua bahu. "Gak tahu, Ma," sahutku.

"Coba telepon. Pastikan dia jemput atau enggak. Kalau memang Raynan gak bisa, nanti Mama pesankan ojek online aja." aku mengangguk mengerti.

Aku mencoba menghubungi Raynan, tapi tidak dijawab. Kucoba sekali lagi, sama saja, tidak ada respons darinya. Kurasa ini pertama kalinya naik ojek online lagi. Karena selama berparan, Raynan tidak pernah lupa menjemput dan mengantarkannya pulang ke rumah dengan selamat.

Tiba-tiba terlintas olehku kejadian kemarin. Kemarin aku berpikir untuk memilih diantara Raynan dan jurnalistik. Di persimpangan untuk masa kini dan masa depan. Jurnalistik membutuhkan fokusku yang penuh—apalagi sepulang sekolah nanti aku ada pembicaraan sebentar dengan masing-masing ketua divisi dan anggota inti jurnalistik guna membahas final concept majalah sekolah.

Aku mulai merasakan kehambaran berpacaran. Senyumku tak lagi terukir alami saat melakukan sesuatu dengan Raynan. Berkencan, berboncengan, makan bersama di kantin. Rasanya aku mulai mual dengan itu semua.

Raynan juga sangat mudah marah denganku. Contohnya saja kemarin. Dia marah pada hal kecil karena aku tak bisa menemaninya makan soto bersama. Bukankah hal tersebut terlalu kekanak-kanakan?

Dan sekarang, dia tak menjawab panggilanku. Memikirkan hal rumit ini membuatku pusing. Biar kuurusi nanti saja. Ojekku datang, aku harus berangkat ke sekolah.

Mungkinkah... aku harus melakukannya hari ini juga?

Can We Talk About Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang