Dering Kesembilan Belas ☎ Sedikit Beras untuk Petani yang Telah Menanam Padi

9 3 0
                                    

(Dering Kesembilan Belas)
Sedikit Beras untuk Petani yang Telah Menanam Padi

Jumat pagiku di sekolah diawali dengan memakan bekal nasi dan sayur sop dengan lauk ayam goreng yang dibuatkan mama karena aku bangun sedikit kesiangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jumat pagiku di sekolah diawali dengan memakan bekal nasi dan sayur sop dengan lauk ayam goreng yang dibuatkan mama karena aku bangun sedikit kesiangan. Yang setiap harinya aku bangun jam 5 pagi, pagi ini aku malah bangun jam 5.30.

Aku sedikit menyesali saat aku harus terburu-buru dalam melakukan semua hal dari pagi tadi. Dimulai dengan mandi yang kupangkas waktunya menjadi 5 menit, ganti baju yang biasanya kuberi selingan bernyanyi lagu-lagu Taylor Swift, sampai mama yang menambah kecepatan motornya hingga 50 km/jam. Keadaannya mendesak, mama menyalip mobil-mobil yang terjebak macet dengan lewat diantara celahnya.

"Kenyang nih makan sendirian. Temannya gak ada yang dibagi," sindir Anjani. Tangannya merogoh tas kecilnya.

Kalau sudah ada kegiatan classmeet begini, aku berani bersabda bahwa tidak akan ada anak yang mau membawa tas besar penuh dengan buku-buku pelajaran yang membosankan. Tia yang mendapat peringkat satu pada semester sebelumnya saja tidak mau repot-repot membawa satu alat tulis pun. Di tas selempangnya yang seukuran tanganku cuma ada ponsel dan dompetnya, tidak ada yang lain.

"Sirik aja, kamu. Aku tadi bangun telat, jadi gak sempat sarapan. Mama bawain bekal buat dimakan di sekolah," paparku.

Kalau saja aku berani masuk siang di atas jam 8 seperti anak-anak lain, pasti aku santai. Tapi aku ini mudah sekali berpikiran buruk dan gampang gelisah serta terburu-buru. Telat sekolah adalah satu kata yang tidak pernah akan kulakukan di dalam kamus keseharianku. Tidak untuk sekarang dan selamanya.

"Eh, by the way, jam 9 nanti final pertandingan futsal. Kelas kita lawan kelas XI-IPS 1. Nanti ke samping lapangan ya. Bareng anak-anak semua, kita dukung kelas kita." aku mengangguk untuk menanggapi ajakan Anjani.

Setelah aku memberskan kotak bekalku. Aku masuk ke dalam duniaku yang menyenangkan, menonton interview, games, maupun konser Taylor Swift yang belum kutonton dan mengulang video-video dahulu yang menurutku bisa kutonton ulang.

Jika sudah melihat Taylor memegang iconic microphone-nya, aku tidak akan memedulikan hal-hal tidak penting di sekitarku. Dan itu bertahan hingga raungan Anjani yang memanggil namaku dari pintu sana.

"Lau! Ayo buruan, anak-anak sudah ngumpul di sana. Cus lah." menggoyangkan tangannya, Anjani sangat antusias.

Kami menuju ke satu sisi lapangan yang sudah ramai oleh teriakan anak-anak cewek kelasku. Sungguh, suara mereka sangat nyaring. Aku yang mau duduk sudah sakit telinga mendengar teriakan cempreng tersebut.

"Go IPA 2! Go IPA 2! Go IPA 2!" tak henti-henti, duet teriakan mereka seakan ingin mengalahkan paduan suara sekolah yang tahun lalu memenangkan lomba tingakt provinsi.

Aku tidak ikut berteriak, hanya sesekali bertepuk tangan saat tim kelasku berhasil mencetak gol ke gawang lawan.

Skor saat ini dipimpin oleh kelas XI-IPS 1 dengan 5-2.

Namun, ada satu hal yang membuatku sedikit risih bercampur bahagia. Entah aku yang kepedean atau apalah, aku merasa dari tadi Raynan selalu mencuri pandang kepadaku beberapa kali. Yang aku sadari betul sih, saat Raynan menggiring bola dan ingin memasukkan bola itu ke gawang tim kelasku.

Aku tidak tahu itu memang betul terjadi atau hanya perasaanku. Tapi yang pasti, ada sedikit rasa bahagia yang membuatku menampilkan senyum.

Babak terakhir usai dengan skor sama, 5-2. Tim kelasku kalah. Sementara para cewek-cewek mengomel dan mengoceh pada cowok-cowok, aku lebih memilih untuk pergi ke kelas.

Tapi saat aku membuka pintu kelas dan merasakan hawa dingin dari AC masuk ke lapisan kulitku, sebuah cekalan pada pergelangan tanganku membuatku berhenti.

"Lau."

Aku mendapati Raynan yang masih berkeringat di situ. Botol minum di tangan kirinya, nafas yang masih tersenggal-senggal, dan wajah lelah yang tampak panas. Oh tidak, bagaimana aku bisa bertahan di depan Raynan yang bisa membuatku gila ini?!

"Ya?"

"Makasih, ya, buat yang barusan," singkat Raynan. Tanpa mengucapkan kalimat penjelas, dia berlalu melewatiku yang masih memperlihatkan mulut terbuka pada udara gerah siang ini.

Kenapa jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya?!

Can We Talk About Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang