Masalah datang tidak hanya karena orang lain, melainkan kita sendiri yang membuatnya.
— ● —Sore ini awan meredup menandakan ia akan menangis, seperti hal nya Sheva, ia kini sedang jongkok menelungkupkan tangan menutupi wajah riang nya tanpa topeng yang sekarang luntur karena air mata.
Sheva terkejut akan pernyataan dokter langganan keluarga Sheva yang merawat mamanya. Pasalnya mama nya di diagnosis stroke.
Sheva merasa bersalah terhadap mama nya yang sekarang terkulai lemas di atas kasur berwarna putih karena tidak bisa menjaga ibu yang telah melahirkan nya ke dunia.
Padahal ia sudah merasa benar-benar menjaga mamanya dengan baik.—◎—
Pukul 12.20 WIB
“Astagfirullah, mama!” teriak Sheva saat Sheva membuka pintu kamar Mira dan mengetahui Mira kejang-kejang. Sheva terkejut dan langsung menghubungi Pak Udin untuk membawa mamanya ke rumah sakit.
“Iya mbak, saya ini sudah dijalan,” ucap Pak Udin dan langsung memutuskan sambungan agar fokus menyetir.
Selagi menunggu Pak Udin, Sheva terus melafadzkan doa untuk mamanya yang tak kunjung sadar setelah kejang-kejang tadi. Ia terus mengecek nadi Mira dengan seksama. Keringat dingin sedari tadi terus mengalir di pelipis Sheva.
Sheva mengambil handphonenya untuk menghubungi siapa saja karena Pak Udin tak kunjung datang. Terlintas nama Kak Rey di ujung pemikiran buntu Sheva. Lantas ia langsung menghubungi Kak Rey dan tidak sampai 5 menit Kak Rey sudah berada di samping Sheva.
Kak Rey tak sempat basa-basi mengetuk pintu rumah Sheva dan langsung menuju kamar Mira karena ia sudah hafal luar kepala isi rumah Sheva.
“Sejak kapan? Pak Udin belum sampai juga? Gue anter aja Va, nggak tenang ini jika nunggu Pak Udin,” ucap Kak Rey langsung mengendong Mira dengan hati-hati.
“Eh-iya,” jawab Sheva gemetar.
Saat tiba didepan pintu rumah Sheva, Pak Udin kebetulan berhenti di depan mereka. Pak Udin langsung membantu Kak Rey yang mulai kelelahan.««« ○○ »»»
Tangan besar nan hangat masih saja mengelus-elus bahu perempuan yang ia anggap adiknya sendiri, berusaha menenangkan hati rapuh Sheva. Tetapi Sheva masih saja menangis, semakin menjadi-jadi dan tanpa suara.
Serak, itu yang dirasakan seseorang saat menangis tanpa suara. Ia tak ingin orang disekitarnya tahu bahwa saat ini ia sangat rapuh, termasuk Kak Rey.
Ibu adalah segalanya bagi seorang anak, ia guru sekaligus teman. Selalu ada meski kita hiraukan, selalu menyemagati disaat kita terpuruk, selalu mendengarkan tanpa suara dan selalu menasehati tanpa jeda.
Pikiran Sheva berlabuh kemana-mana, tanpa dapat Sheva hentikan.Tapi, Sheva merasa tenang semenjak tangan besar Kak Rey mengelus-elus bahunya tanpa putus asa untuk berusaha menenangkannya.
“Sudah dong Va, jangan nangis terus nanti tambah jelek,” ucap Kak Rey dengan nada bercanda dan menarik tubuh Sheva untuk duduk di sampingnya.
Sheva hanya mengangguk, saat Sheva sudah duduk, Kak Rey langsung mendekap tubuh mungil Sheva. Hangat, itu yang dirasakan Sheva sekarang.
“Tenang aja, Om Farez sudah gue hubungin dan sekarang lagi diperjalanan kesini, bunda juga lagi otw kesini,” jelas Kak Rey masih mendekap Sheva.
“Makasi-h, Kak Rey,” jawab Sheva bergetar karena habis menangis.
“Iya, seharusnya gue yang makasih karena adik gue yang satu ini sudah berhenti nangis,” tenang Kak Rey. Sheva tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maya
Teen FictionBagaimana jika melawan takdir?Apakah takdir akan mengelak?Atau malah sebaliknya, ia akan nunduk? Entah. Bagaimana pun langkah yang harus ditempuh gadis blasteran jogja-jawa timur ini tetap bersikukuh melawan apa yang dinamakan dengan "takdir". Beraw...