7

23 12 0
                                    

Sabtu, 19 Oktober 2013

Aku sangat ingat hari ini. Sewaktu bel pulang, yang menandakan pelajaran IPS telah usai, tiba-tiba guru terkejam menurut para lelaki datang. Pak Erwin beserta anak-anak OSIS menenteng plastik, sisir, dan gunting rambut. Siap memotong dengan ganas rambut cowok yang panjangnya sudah kelewatan. Pak Erwin keliling memegangi rambut lelaki dari yang duduk paling depan. Sampai akhirnya tiba di Devan, aku memandang Devan sambil tersenyum. Raut Devan sangat takut. Rambut Devan cukup panjang, hingga Pak Erwin dengan sadis memangkas rambut Devan tanpa ampun. Hingga rambut yang tadinya tertata rapi menjadi berantakan. Rambut Devan sekarang lebih mirip anak tangga. Aku tertawa. Setelah puas membuka salon di kelasku, Pak Erwin beserta pasukannya izin keluar di ikuti Bu Siska (guru IPS) dibelakangnya yang ikut keluar.

Setelah guru-guru itu keluar, kelas menjadi riuh ramai. Para lelaki yang rambutnya terkena razia marah-marah sedangkan yang lain cekikikan meledek. Devan memandangku dengan tatapan rengek, aku mengerti maksudnya. Melalui rengeknya Devan berucap; gimana ini, sayang, aku jadi nggak ganteng lagi. Aku hanya tersenyum memberikan jempol kananku untuk dia.

Tiba-tiba, Holifa datang menghampiri Devan. Membersihkan bekas-bekas rambut yang mengenai wajah Devan. Devan mencoba menghindar dan melirik kearahku. Tapi Holifa tetap membersihkan wajah Devan dengan tangannya. Benar-benar mesra mereka berdua. Aku panas melihat itu, dengan buru-buru aku memasukan buku ke dalam tas dan segera bangkit meninggalkan kelas dan pulang. Selin sampai heran melihat tingkahku.

Ketika tiba di rumah, aku langsung bertukar pakaian dengan pakaian rumah. Hatiku masih tersungut api emosi. Ibuku sedang tidak ada dirumah, mungkin ke warung. Ayahku juga sedang bekerja. Rumah kosong. Aku rasanya sangat kesal, ingin menangis, tapi kutahan. Aku tidak mau alasan menangisku sangat receh, karena melihat Holifa bermesraan dengan Devan. Tiba-tiba ada sebuah getaran muncul dari handphone-ku menandakan panggilan masuk. Kulihat siapa yang menelpon. Nama Devan tertera di layar teleponku. Kenapa dia menelpon? Tidak tau apa aku sedang kesal kepadanya.

"Hm?" kuangkat panggilan telepon itu dengan dehaman.

"Lagi ngapain, sayang?"

"Lagi kesel."

"Kenapa?"

"Nggakpapa."

"Kenapa?" aku mendengar suara Devan melembut.

"Nggakpapa!" jawabku tegas.

"Kenapa sayang?"

"Nggak tau."

"Hmmm," terdengar helaan nafas Devan dan ia diam sejenak. "Marah ya gara-gara Holifa tadi?" tanyanya. Aku senang Devan mulai peka, tapi aku tetap jual mahal.

"Nggak tau."

"Maaf sayang, itukan karena aku ganteng." Kepedean banget dia.

"Ya."

"Hm, kamu udah makan?"

"Udah."

"Makan apa?"

"Makan ati."

"Yang bener sayang."

"Belum."

"Kenapa? Kepikiran aku ya sampe nggak mau makan?"

Aku tersenyum.

"Udah makan aja, mikirin aku nggak akan buat kamu kenyang." Aku semakin tersenyum dan sedikit terkekeh mendengarnya, bisa-bisanya dia dengan penuh kepercayadirian bilang seperti itu.

"Hahaha."

"Makan dulu sayang."

"Kamu juga."

"Iya."

Lalu aku menyudahisambungan telepon itu berbarengan dengan suara pintu yang terbuka. Ibuku sudahpulang dari warung. Ia membawa dua bungkus ketoprak. Aku segera makannya, akulapar, dan seperti yang dikatakan Devan tadi, juga tidak lagi memikirkan Holifa.Selamat makan, Dev.

bersambung ...

DEVANARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang