8

19 12 1
                                    

16 Juni 2019

Dua orang remaja yang kucurigai adalah sepasang kekasih tadi masih berdiri menatap kemacetan jalan. Jika sudah jatuh cinta, semuanya berubah menjadi indah. Jalanan macet bertebaran debu saja sudah berasa di atas bukit memandangi indahnya alam, asal mempunyai pasangan.

Selasa, 22 Oktober 2013

Pagi ini pelajaran Matematika. Ruang Matematika jauh dari kantor guru dan jalannya jelek, membuat guru enggan datang mengajar. Apalagi semalam hujan, membuat jalan berlumpur. Aku datang pagi itu, ternyata sudah banyak yang datang di kelas. Aku menghampiri Selin dan duduk disebelahnya. Dia menyapaku, Holifa, Fitri dan Thesa mendekati meja kami. Tidak ada apa-apa, hanya mendengarkan Holifa dan Selin bercerita tentang sinetron manusia berubah jadi vampire dan serigala.

Devan datang bersama Nias teman dekat rumahnya. Walaupun rumah mereka berdekatan, aku hampir tidak pernah melihat Devan bersama Nias. Aneh saja aku melihat mereka bersama, apalagi aku tau Nias anak yang badung atau nakal. Mungkin mereka komplotan. Aku lebih suka melihat Devan pergi bersama Feri. Devan dan Nias masuk kelas, Devan menuju ke tempat duduk sebelah kananku bersama Feri, sedangkan Nias ke arah pojok kelas, ia duduk bersama Icco. Sebelum duduk Devan menyapaku, "Pagi, Nara." Aku hanya balas tersenyum.

Benar. Ada yang aneh. Ketika Devan lewat tadi, aku mencium aroma yang sangat tidak enak. Aroma yang begitu menusuk hidung. Seperti bau asap rokok. Detik itu aku beranggapan Devan datang bersama Nias tadi karena mereka merokok bersama sebelum pergi sekolah. Sekolahku melarang siswanya merokok, banyak yang diam-diam merokok sebelum sampai di sekolah agar tidak ketahuan guru. Aku segera menghampiri Devan untuk menanyakan kebenarannya, meninggalkan Holifa yang sibuk bercerita tentang ketampanan Aliando.

Ketika berada di depan Devan, aku bingung akan berbicara apa, kan selama sembilan hari kami pacaran, kami tidak ngomong. Devan juga bingung kenapa aku menghampirinya.

"Kanara? Kenapa Ra?" tanya Devan.

Aku tak menjawab pertanyaan Devan. Aku mengendus bau badan Devan. Devan sedikit menghindar. Devan bertanya lagi aku kenapa. Aku hanya menatap matanya tajam ingin diberi kejelasan tentang semua ini.

"Kamu merokok ya?!" tanyaku dengan nada yang bukan seperti bertanya.

Devan melepaskan tasnya dan menaruhnya di atas meja lalu memandangku dengan pandangan meminta pengertian.

"Ra."

"Kamu merokok kan!"

"Nggak, tadi anak-anak nyembur asepnya ke aku,"

"Kamu merokok kan!!" aku bertanya lagi dengan suara meninggi.

Devan diam dan terus memandang wajahku.

"Emang kenapa kalo Devan merokok?!" ucap Holifa, terdengar seperti membentakku. Dia berjalan kearah aku dan Devan. "Terserah Devan dong," lanjutnya.

"Holifa!!" pangil Thesa dan beranjak dari duduknya menghampiri Holifa dan menarik tangannya agar segera pergi. "Udah biar mereka ngomong dulu, kita tidak usah ikut campur."

"Emang mereka ada hubungan apa?"

Kulihat Feri menahan tangan Thesa agar ia tidak bicara lebih. Aku tau, Thesa juga pasti sangat geregetan dengan Holifa karena mencampuri hubunganku dan Devan. Lagi-lagi Holifa membuatku jengkel. Kenapa dia masih tidak peka, sih, dengan omongan Thesa?!

"Gue pacarnya Devan!" ucapku setengah menjerit, memandang Holifa sinis, tidak suka dengan yang dia bicarakan tadi. Aku benar-benar tidak sanggup lagi menahannya. Setiap hari Holifa selalu menyelipkan nama Devan disetiap obrolan seolah dia adalah orang spesial bagi Devan karena Devan selalu mengganggunya. Padahal bukan! Kali ini waktu yang tepat buatku berbicara; mengumumkan kepada semua orang kalau Devan adalah pacarku. Holifa memandangku dan Devan bergantian. Sepertinya ia tidak percaya. Kulihat Devan mengangguk, membenarkan omonganku. Seluruh kelas menatap kami.

"Cie, kenapa nggak pernah bilang?" ucap Holifa. Aku mendengar suaranya sangat tidak enak. Aku merasa kasihan melihat raut Holifa yang terlihat kecewa. Apalagi disitu ada Takki. Aku berharap, setelah mendengar ini, mereka berhenti menganggu hubungan kami.

Setelah itu aku keluar kelas diikuti Devan. Sekolah seperti berpihak kepadaku agar segera menyelesaikan masalahku dengan Devan, guru matematika tidak datang. Jam kosong! Aku bingung harus sedih atau senang. Sedih sih, tapi aku lebih ke senang. Karena aku bisa dengan Devan, walaupun aku sedang marah dengannya.

Devan berdiri disebelahku. Berkali-kali dia memanggil namaku dari tadi, tapi aku tetap diam saja tak menghiraukan panggilannya. Lalu, kami saling diam memandang kearah kebun jagung depan kelas. Dia mendekatkan tubuhnya kearahku dan aku terus menghindar.

"Jangan deket-deket! Bau!" ucapku ketus dan buang muka.

"Maaf aku nggak bilang."

"Iya, kata Holifa tadi, emang aku siapa kamu?!"

"Kan kamu udah bilang, aku pacar kamu."

"Maaf ngaku-ngaku."

"Kanara, maafin aku ya."

Aku diam saja.

"Udah berapa kali nyebat?" nyebat adalah kata lain dari merokok.

"Baru sekali, Ra."

"Bohong."

"Hehe, iya dari sekalas sepuluh."

Devan memutar badanku dengan paksa agar menghadap kearahnya. Aku masih cemberut menunduk kebawah menghindar dari tatapan matanya. Dia mendongakkan wajahku agar bisa melihat wajahnya yang lebih tinggi dariku.

"Sayang, maafin aku."

Aku hanya diam, pura-pura ngambek. Tapi aku serius kesal dengan Devan. Tiba-tiba Devan mencium pipi kananku. Pipiku panas. Aku yakin wajahku pasti merah. Aku melihat ke kanan dan ke kiri. Memastikan tidak ada yang melihat.

"DEVAN!"

"Makanya maafin."

Aku hanya menunduk sambil tersenyum malu.

"Nggak akan nyebat lagi deh."

"Janji ya?"

Devan mengangguk. Aku tersenyum menanggapi anggukan Devan. Aku sadar, selain posesif aku juga pengekang. Tapi ini semua karena aku tidak suka Devan jadi anak yang nakal. Aku posesif karena aku tidak mau Holifa merasa dirinya disukai oleh Devan. Kasian Holifa jadi kegeeran. Aku juga mengekang bukan karena aku sok mengusai Devan. Aku sayang Devan. Pokoknya Devanku tidak boleh kenapa-napa.

bersambung ...

DEVANARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang