02. Decision

1.1K 165 15
                                    

Melepaskan, bukan berarti meninggalkan semua yang telah menjadi mimpi kita. Hidup memang sebuah pilihan dan jalan membawa kita selalu ada dalam persimpangan dilema. Terkadang hidup tidak terlalu memusingkan arah jika tidak ada banyak pilihan. Namun kenyataannya tidak ada hidup tanpa pilihan.

Mau tidak mau, suka tidak suka, dalam hidup pilihan adalah hal yang paling utama untuk terus berjalan atau berhenti dan meninggalkan.

Bersama senja, Dawai melangkahkan kakinya. Keputusannya telah bulat, mencapai cita-cita tidak harus di jalur kesamaan dengan orang tua. Cepat atau lambat semuanya harus sesuai dengan ingin, asa dan kemampuannya.

"Kamu yakin Dawai?" suara Wisnu menjadi penengah keputusan Dawai untuk masa depannya. Ayah sahabatnya itu sepertinya telah berubah fungsi menjadi ayahnya juga.

"Dawai ingin menjadi guru musik, Om. Memainkan nada, membuat ciptaan dengan menyatukan semua kalimat musik menjadi harmonisasi hingga dilihat dunia," jawab Dawai dengan penuh antusias.

"Apa pun kita dan bagaimanapun kita nantinya, banyak orang yang tidak melihat usaha yang telah kita lakukan. Mereka hanya akan melihat hasilnya." Kata Wisnu yang membuat Dawai tercengang.

"Om Wisnu, maksudnya?"

"Siapa pun nanti kamu, jadi pengusaha sukses ataupun jadi seorang pianis yang hebat. Mereka tidak akan pernah tahu berapa banyak air mata yang telah kau keluarkan untuk menebus semuanya." Wisnu kemudian memeluk Dawai dengan penuh sayang.

"Jika rumah tidak lagi membawa kedamaian dan rasa penuh cinta, mungkin sebaiknya kita pergi dan mencari cinta yang lain." Dawai seolah sudah lupa kapan terakhir dia diperlakukan seperti ini oleh papanya.

"Tidak anakku, cinta tulus itu hanya ada di mata orang tua kepada anak-anaknya." Jawab Wisnu membenarkan.

"Bahkan aku telah lupa Om, kapan terakhir kalinya papa menciumku." Sekeras hati seorang Dawai, air mata adalah kekuatan terakhirnya untuk tetap berdiri tegak. Menunjukkan pada dunia bahwa dia bisa dan mampu meskipun dengan jalan terseok untuk menuju apa yang telah diimpikannya.

Mungkin harus pulang, namun Dawai ingin menjadi seorang amnesia dimana dia tidak perlu takut lagi untuk mengingat bagaimana inginnya memeluk Papa dan mengatakan, 'aku bisa dan aku mampu, aku hanya membutuhkan tangan kokoh yang selalu bisa kugenggam erat, aku hanya butuh bahu yang yang menopang tubuhku kala getar angin membuatnya terhuyung, aku hanya ingin melihat superheroku berkata bahwa akulah segala-galanya.'

Pendaftaran, ujian masuk universitas, daftar ulang dan akhirnya perkuliahan dimulai.

Dawai tidak pernah bingung dengan uang, andai dia mau sekolah di universitas termahal pun bisa dilakukannya. Hanya saja, itu tidak akan memberikan pengaruh untuk mengambil hati kedua orang tuanya. Mereka hanya menggelontorkan uang tanpa perlu repot bertanya, bagaimana, kapan, berapa, seolah pekerjaan adalah dewa yang melebihi Tuhan untuk disembah mereka.

Bukan sekedar menghadirkan namun setiap insan harus bertanggung jawab untuk semua keputusan yang telah membawanya melangkah.

"Apa-apaan ini Dawai. Papa telah mengingatkanmu, jika perlu pindah ke universitas di luar negeri. Papa masih mampu membiayaimu." Sandrio murka ketika Dawai berada di rumah dan sedang memanjakan jarinya dengan menekan tuts hitam putih hingga menghasilkan nada yang cukup indah untuk diperdengarkan.

Tidak ada titik balik respon, Dawai masih asyik dengan permainannya. Cinta itu berawal dari hati hingga seluruh tubuh berkonspirasi untuk mendukung atau menolaknya. Rasanya dendrit Dawai tidak bekerja dengan baik hingga perikarion tidak bisa menghantarkannya kepada akson hingga rangsang suara itu tidak berarti apa pun juga. Atau memang nodus ranvier sudah sangat lelah untuk sekedar berperang melawan yang seharusnya tidak lagi perlu dipermasalahkan.

DAWAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang