Mentari jingga masih bersahabat dengan waktu. Bahkan burung camar masih saling bersahutan di ujung senja mengepakkan sayap-sayap mereka. Dan menikmati senja bersama secangkir teh adalah kenikmatan tertinggi memanjakan mata lalu ucapan rasa syukur atas kenikmatan yang masih bisa dinikmati atas kemurahan Tuhan kepada umat semesta alam.
Harfiah sebagai manusia yang tumbuh menjadi makhluk sosial. Saling membutuhkan orang lain dan tentunya hidup akan selalu sepi saat sendiri menjadi menu utama kesehariannya. Dawai masih mengosongkan hatinya untuk menikmati senja bersama seluruh mimpi yang telah diukirnya bersama angan dan senja.
Malam ini untuk pertama kalinya Dawai mengiyakan ajakan seseorang untuk mengajaknya keluar bersama. Entah ingin membicarakan persoalan bisnis yang jelas saja Dawai tidak akan mengerti atau akan membicarakan tentang sebuah simfoni hingga nada tercipta bukan hanya melalui tuts atau petikan dawai yang indah tetapi karena detak jantung yang mencoba berbicara untuk menawarkan sebuah harmonisasi jiwa bak ansambel yang berkolaborasi untuk mencampur banyak rasa menjadi satu dan tersebutlah sebagai cinta.
Pelangi itu juga semakin nyata meski senja mulai merebah dan gelap mulai menyapa. Pelangi senyuman dari bibir kedua orang tua Dawai tentunya. Siap kembali menyambut kembali mentari yang dengan gagahnya menyapa dunia keesokan hari. Dunia memang berputar seperti hati yang sepertinya mulai menyukai sebuah frasa menuju dewasanya diri.
"Jam berapa Arvind akan datang?" tanya Sandrio yang kini juga mulai bersikap sangat ramah kepada Dawai. Entahlah angin yang dibawa oleh Arvind sepertinya telah merubah puisi cinta keluarga Sandrio semakin puitis.
"Jam tujuh malam, Pa."
"Sudah siap kamu? Jangan membuat Papa dan Mama malu di hadapannya." Sandrio tidak ingin melewatkan sedikit pun cerita yang kini mulai bergulir diantara Dawai juga putra rekan kerjanya.
"Kami hanya makan malam biasa, Pa. Sudahlah jangan terlalu khawatir, lagian Arvind tidak sekaku Papa." Dawai menjawab dengan keyakinan penuh bahwa keramahan Arvind kepadanya bukan hanya perasaannya saja tetapi kenyataan yang membawa senyum Dawai bisa selebar ini sekarang.
Detak jam dinding yang bergulir seolah sama seperti detak jantung yang kini Dawai rasakan. Mencoba beberapa pakaian yang rasanya pas untuk dia kenakan saat pertama kalinya makan malam dengan orang lain selain keluarganya. Arumi mendatangi dan seolah mengerti apa yang menjadi PR besar untuk putrinya.
"Anak Mama sedang bingung memilih pakaian mana yang sekiranya pantas untuk dikenakan dalam kencan pertama. Benar seperti itu?" tanya Arumi yang kemudian dijawab rona merah yang menguar dari wajah Dawai namun berusaha dia sembunyikan.
"Bukan kencan Mama, ini hanya makan malam biasa."
"Tidak ada yang tahu jika makan malam hari ini akan berlanjut pada makan malam berikut-berikutnya." Arumi benar-benar menggoda sang putri hingga dia hanya bisa menunduk dan kembali melihat mamanya saat tangan Arumi memberikan sebuah dress yang siap untuk dikenakan putrinya.
"Ini adalah dress pertama ketika mama bertemu dengan papamu. Kenakanlah, pasti masih muat di tubuhmu." Dress yang bahkan usianya lebih tua dari usia Dawai namun masih bagus dan tidak ketinggalan jaman atau sekarang mode kembali ke masa dimana Arumi masih belia. Dress selutut berwarna hijau tosca lembut yang tidak menyilaukan mata.
Tangan terampil Arumi berhasil menyulap penampilan Dawai malam ini. Make up flawless, dan juga tatanan rambut yang sesuai dengan usia Dawai sekarang.
"Wow, Mama bawa artis darimana?" suara Sandrio menggema saat Dawai keluar dari kamar bersama Arumi.
"Papa jangan digodain deh, sudah seperti meledak hatinya sedari tadi menunggu Arvind datang." Ternyata bahagia bisa sereceh ini. Andai sedari awal Dawai bisa berdamai dengan keinginan papanya mungkin kehangatan seperti ini sudah akan dirasakan sedari awal seperti yang diinginkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAWAI
RomanceBukan cerita Islami, namun masih dalam koridor kata-kata yang sopan Hidup tentang seorang Dawai Zynnda Ghazala. Start : September 2020 Finish :