05. Cinta dalam Senandung Hujan

456 81 6
                                    

Dunia telah berubah. Hanya saja mentari tetap menyapa di pagi hari bersama cicit burung gereja dari ufuk timur. Malu-malu menggeliat di sela rimbunnya dedaunan untuk bertemu kembali dengan kekasihnya, semesta jagad raya. Lalu ucapkanlah salam sejahtera selalu, selamat pagi dunia.

Siluet jingga yang berganti menjadi terang. Putih kebiruan menandakan bahwa aktivitas yang ada di bumi akan berlakon kembali diantara roda-roda penghidupan yang mulai semalaman telah mengistirahatkan diri.

Walau musim sudah kembali berganti dan tetesan air mata dari langit selalu saja menjadi dambaan kala panas tak lagi bersahabat. Hujan yang kali ini sepertinya menjadi penghalang atas sebuah rindu, hujan yang kali ini menjadi penghalang untuk dua hati yang ingin sekali bertemu.

Tetes-tetes basahnya masih juga meninggalkan bekas di sebuah kaca yang memburamkan pandangan. Hawa dingin yang menyeruak diantaranya membuat bekunya hati semakin menggigil karena rasa yang tersebut sebagai rindu.

Karena rindu selalu bersahabat dengan cinta. Ada saat rasa itu menyapa hati semua manusia.

Dawai masih memasang muka kecut saat dengan tiba-tiba Arvind memutuskan untuk menggeser jadwal pertemuan mereka. Apalagi, akhir pekan turun hujan itu adalah penghalang atas romansa cinta yang baru saja terjalin. Padahal Dawai telah memimpikan pertemuan ini akan berjalan mulus tanpa adanya sebuah pembatalan terlebih disebabkan oleh hadirnya hujan.

Bukan hujan yang harus dipersalahkan, namun sepertinya secuil asa yang tiba-tiba hadir untuk memonopoli bagaimana rindu telah merongrong cinta itu tetap pada singgasananya.

'Kau hanyalah milikku.' Kalimat egois yang berhasil merubah tiada menjadi gairah hingga tak ada lagi tenggang rasa atas waktu dan keadaan mengapa sebuah perjanjian itu dibatalkan.

"Tidak mungkin aku mengajakmu dengan menggunakan sepeda motor sementara hujan turun begitu deras, Sayang." Arvind mencoba untuk menyadarkan Dawai.

"Kenapa tidak pakai mobil saja Vind? Kita bisa bersepeda lain waktu tapi aku ingin bertemu." Dawai masih saja dengan kekehannya bisa mendulang waktu bersama Arvind hari ini.

Apa kata dunia, berada di kota yang sama, saling mencinta namun akhir pekan tidak bersama?

"Aku hanya tidak enak dengan orang tuamu, bertamu ke rumah orang saat alam seolah memuntahkan isi perutnya ke bumi." Kembali Arvind mengemukakan alasan logisnya.

"Papa sedang keluar kota bersama mama dari semalam."

"Ah mengapa kamu tidak memberitahukannya sedari awal Dawai?" Arvind tersenyum dalam bayangannya. "Tunggu aku di rumah. Aku akan sampai satu jam mendatang."

Lengkung bahagia membuat wajah Dawai kembali bersinar. Rasa suka cita yang bersarang di dalam hati telah membuatnya begitu memuja cinta. Cinta yang akan menuntun sebuah pasangan untuk saling memberikan dalam suatu ketidakmampuan.

Berdiri di walk in closet, mencoba untuk mencari dan memilih. Pakaian yang mana sekiranya pas untuk membalut tubuh semampainya. Hingga pandangan matanya terarah pada satu pakaian yang sangat nyaman untuk dikenakan kala melakukan pertemuan di rumah saja.

Pas, tentu juga sangat serasi. Mini dress tanpa lengan begitu pas Dawai kenakan. Dengan tatanan rambut yang dicepol bun berantakan di atas membuat wajah segar begitu menggoda untuk dilewatkan dalam sebuah tatapan.

Leher jenjang miliknya membuat siapa saja akan tertarik untuk memandangnya lama-lama. Menikmati ciptaan Tuhan yang luar biasa, sempurna. Meski tidak pernah ada kesempurnaan di dunia ini tapi biarlah semesta memuja untuk saat ini bahwa Dawai adalah keindahan yang mendekati kata sempurna.

Menunggu dengan memainkan musik, biarlah dentang waktu menjadi lirik yang tentu saja akan mengajarkannya atas sebuah kesabaran mensejajarkan gelombang transversal dan longitudinal secara bersama. Hingga pintu terbuka dan senyum dari laki-laki yang kini menjadi pemilik hatinya menguar. Menularkan kehangatan yang dibawanya bersama satu buket mawar di tangan.

DAWAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang