Part 1 : Metawin, Violin and That Guy

5.8K 269 28
                                    

"Jadi bagaimana Win, sudah ambil keputusan?"

Suara P'Aed yang agak cempreng tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Pagiku kali ini terasa lebih suram karena ada beberapa hal yang menggangguku sejak semalam. Selain karena managerku itu memaksa menginap setelah mendapati karburator mobilnya rusak parah, sebuah tawaran mengejutkan yang dibicarakan P'Aed saat makan malam juga cukup membuatku bertanya-tanya tentang dosa apa yang ku lakukan di kehidupanku sebelumnya. Belum lagi pertanyaan rutinku sebelum tidur, sebenarnya apakah aku ini reinkarnasi dari seorang alien?

Kalau bukan karena tepukan ringan di bahuku, aku mungkin sudah kembali masuk ke dalam dunia lamunanku yang indah. P'Aed memang tidak membiarkanku menikmati pagi dengan santai.

Aku menghirup susu panasku sekali lagi dan berakhir dengan menghela napas berkali-kali. Jari telunjukku berputar di atas bibir cangkir. "Memangnya akan ada yang minat ya? Phi, ini seri BL dan sialnya ini tawaran pertama yang ku dapatkan. Tidak ada yang lebih buruk dari ini apa?"

P'Aed seperti bisa menebak apa saja yang ada dalam pikiranku. "Memangnya kau mau peran seperti apa, Win? Ini tawaran bagus, kau bahkan tidak harus melalui casting dan hanya perlu terlihat kurus setiap saat."

"Apa segini masih dihitung gemuk?" aku menunjukkan pipi tirusku.

"Karakter yang kau mainkan nanti lebih mirip Slender-man."

"Kau menyebut nama Slenderman seperti superhero saja, Phi. Ironman? Wonder woman?"

P'Aed tertawa kecil sebelum akhirnya menepuk kepalaku ringan. "Coba dulu, seri BL bukan tayang di primetime, jadi kalau tidak berhasil, kau tidak perlu terlalu khawatir."

Aku memutar bola mataku. Jawaban P'Aed terlalu aneh dan kontradiktif. Jadi aku harus berdoa agar seri pertamaku gagal, begitu? Lagipula kenapa aku menyebut ini seri pertamaku? Seolah aku akan melakukannya saja.

"You make things even worse, Phi."

"Win, meskipun kau tidak melakukan apapun seumur hidupmu dan hanya main Harvest Moon, kau tidak akan jatuh miskin. Kau punya cukup uang untuk membeli sebuah pulau seisinya plus sebuah supermarket jika ada serangan zombie dan tinggal di sana sampai mati di usia seratus tahun. Lalu kenapa kau memilih masuk ke dunia modeling seperti sekarang?"

"Karena..." kalimatku menggantung. Aku memilah jawaban yang sekiranya tepat dan tidak memungkinkan P'Aed untuk membalik keadaan. "...aku ingin?"

Lihat, siapa yang baru saja membuka jalan P'Aed untuk semakin menjadi-jadi.

P'Aed mengambil gelas susuku yang sudah kosong dan meletakkannya di wastafel. Ia tak langsung menjawab tetapi justru malah menyodorkan sepotong roti dengan selai stroberi di atasnya.

"Lalu kenapa tidak mencoba untuk "ingin" mengambil kesempatan ini?" P'Aed memberi penekanan pada kata ingin. "Mereka tidak akan mendatangimu dua kali." P'Aed tersenyum lagi. Aku kesal setiap kali melihatnya tersenyum seperti itu karena terlihat seperti mantra yang akan membuatku setuju dengan segala usulannya.

Aku menghela napasku. Sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain. Mungkin mengambil peran aneh ini tidak akan membunuhku, kan? Lagipula dengan serius menjadi aktor akan membuatku semakin jauh dari meja CEO menggantikan Papa nanti. Sejujurnya itulah yang ku cari.

Aku menggigit roti yang sejak tadi ku biarkan. "Oke aku ambil pekerjaan ini."

P'Aed tersenyum puas. Aku tahu, manager sialan itu memang merencanakan serangan mental ini sejak awal. Membuatku mau tidak mau memilih untuk menerima tawaran sebagai Lead di sebuah seri BL yang belakangan menjamur di Thailand. Orang-orang di sini kenapa, sih?

Buddha, maafkan aku yang harus berpura-pura menyukai laki-laki meskipun aku tidak masalah dengan percintaan semacam ini. Entah laki-laki seperti apa nanti yang akan berpasangan denganku, aku tidak peduli. Aku harap dia orang yang baik. Itu saja sudah cukup, kok.

"Aku mau mandi, mobilku akan ku urus nanti. Kita ke kantor GMM siang ini ya, Win. Oh iya, pasanganmu akan datang juga nanti. Siapa namanya ya aku lupa..."

Apa tadi? Pasangan? Jangan gunakan kata itu, seperti betulan saja. Aku ingin protes, tapi karena sudah sangat malas beradu argumen, ku biarkan saja P'Aed berbuat sesukanya.

"Siapa?"

"Oh ya! Bright. Kalau tidak salah namanya Bright."

Hooooo~

Mendengar namanya saja aku bisa membayangkan dia adalah orang yang baik, penyayang dan penuh energi positif.

Setelah P'Aed pergi dengan kepuasannya, aku kembali berkutat dengan lamunanku. Pagi ini apa lagi yang menarik selain melamun dan meratapi nasib. Aku meratapi nasib karena untuk menghindari kerja kantoran harus jadi artis dulu. Apa bedanya dua pekerjaan itu? Keduanya sama-sama penuh tekanan. Tapi mungkin jadi artis tidak akan terlalu buruk. Aku akan mulai dari BL bodoh ini.

"Ho~, dia lagi."

Aku yang duduk menghadap jendela ini kembali menangkap orang itu. Dia aneh, pikirku. Setiap pagi, hampir bersamaan dengan sesi minum susu hangatku, dia akan duduk di balkon apartemennya. Apartemenku berada di seberangnya, omong-omong. Jadi aku bisa dengan mudah menemukannya di sana bersama sebuah gitar yang sama hampir setiap hari. Dia hampir selalu memakai singlet berwarna putih dan celana boxer.

Aku tidak bisa mendengar petikan gitarnya, tapi dari yang ku lihat sepertinya dia cukup jago.

Saat melihatnya mulai memetik gitar-lalu entah apa yang mendorongku melakukan ini. Seluruh syaraf di tubuhku memaksaku untuk beranjak dan bergegas mengambil biola yang ku simpan di atas meja kecil dekat dapurku. Ini lebih aneh lagi, pikirku.

Pagi ini aku mendapati diriku melakukan konser solo dengan biola kesayanganku yang sudah entah berapa bulan tidak ku sentuh. Kulihat orang itu masih memainkan gitarnya setiap sesekali aku meliriknya. Ya, aku tahu orang itu juga tidak akan mendengar alunan biolaku sama seperti aku tidak bisa mendengar petikan gitarnya. Jadi asumsikan bahwa aku sedang melakukan konser gratis untuk menaikkan moodku dan menghibur P'Aed yang baru saja kehilangan karburator mahal yang ia beli bulan lalu.

Hei, hei..
Aku tidak perlu sampai memainkan Dichterliebe juga, kan.

Aku punya kebiasaan yang bisa dibilang aneh. Ketika aku mulai menikmati permainan biolaku, aku akan memejamkan mata sampai lagu yang ku mainkan selesai-aku sejago itu jadi aku tidak butuh partitur lagi. Seandainya aku sedang ditonton ribuan orang, aku tidak akan menyadari jika mereka melarikan diri di tengah-tengah permainanku. Lagipula siapa yang peduli? Aku bermain untuk diriku sendiri.

Aku sudah sampai pada setengah dari Dichterliebe-ku, dan sekali lagi syaraf-syaraf di tubuhku seperti memaksaku untuk membuka mataku. Hal yang sangat jarang ku lakukan selama ini. Mungkin tak apa jika kali ini aku membuat pengecualian. Dunia ini butuh pengecualian.

Sepersekian detik setelah aku membuka mata, dalam samar-samar teralis jendela dapurku, aku menemukan sesuatu yang membuat darahku seolah membeku.

Mata kami bertemu. Biola yang tadi ku gamit di atara dagu dan pundak ku biarkan tergantung begitu saja di tangan kananku. Dawai yang ku pegang dengan tangan kiriku pun bernasib sama. Aku terdiam. Mata kami benar-benar bertemu. Beberapa detik ini aku merasa dunia berhenti. Bahkan kicau burung yang biasa bertengger di pohon beringin dekat apartemenpun tak terdengar lagi.

Dia masih dengan singlet warna putih dan gitar yang biasa. Memandangiku seolah aku ini alien atau apa. Aku yang tertangkap basah numpang konserpun kini mulai mempertanyakan sesuatu. Tentang tatapan matanya itu, aku merasa seperti sedang...

...ditelanjangi.

LOST AND FOUND [BRIGHTxWIN] [NSFW part 9]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang