William menaiki tubuh Naomi yang terlentang di kasur. Sedang wanita di bawahnya hanya mengedip-ngedipkan mata seolah sedang mencerna apa yang akan terjadi selanjutnya. Dari posisi yang seperti itu Naomi dapat dengan jelas melihat garis wajah milik William.
Senyum tipis tercetak di bibir William sebelum ia merendahkan kepalanya ke wajah Naomi. Jantung Naomi mulai berdegup cepat saat William mulai merendahkan kepalanya. Refleks matanya menutup sebagai tanda gugup, lain halnya dengan William yang semakin menyunggingkan senyumnya.
"Harusnya aku memanfaatkan dirimu sejak lama." Bisik William tepat di telinganya.
Kening Naomi mencetak kerutan heran karena prediksinya ternyata meleset. William tidak menciumnya seperti apa yang dia tebak, dia hanya mendekatkan bibirnya untuk berbisik di telinga nyonya Kim itu.
Buru-buru Naomi membuka matanya dan mendorong William menjauh dari atas tubuhnya. "Apa maksudmu?" Entah kenapa rasanya Naomi kecewa dengan tingkah William, dia seolah mengharapkan William menciumnya.
"Seharusnya kau ikut denganku mencari Caroline, kau kan seorang anggota mafia sebelumnya. Jadi tidak sulit kan menemukan adikku?" Ucap William.
Kesal dengan ucapan William, Naomi mendorong William dari atas tubuhnya. Ia memalingkan wajah, padahal seharusnya Naomi tidak seperti ini. "Kau kan berkuasa, untuk apa meminta bantuanku juga?" Naomi sedang berusaha meredam emosi yang seharusnya tidak dia rasakan. Lagi pula untuk apa menaruh harapan pada William si kutub es, dia tidak mungkin mencair di musim dingin kan.
"Kenapa wajahmu seperti itu?" Sadar akan keadaan Naomi, William menarik dagunya agar sang istri melihat dirinya.
"Sejak kapan kau peduli, tuan Kim?" Tukas Naomi.
"Memangnya tidak boleh seorang suami peduli pada istrinya?"
"Memangnya sejak kapan kau peduli padaku, hah?" Timpal Naomi dengan kesalnya. Dia menghempas tangan William dari dagunya lalu mengusap kulit bekas sentuhan William seolah jijik disentuh oleh orang itu.
"Kenapa..?" Naomi melirik William yang kini menatapnya penasaran, tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran pria itu yang jelas Naomi tidak mau peduli.
"Kenapa kau membuatku bingung Naomi?" Lanjut William atas pertanyaan sebelumnya yang menggangtung. Naomi menghela napas berat, lalu pandangannya kembali menatap William yang semakin intens menatapnya juga. "Aku tidak pernah menyuruhmu bingung, kan?" Balas Naomi sebelum beranjak dari tempat tidur mereka.
Naomi ingin pergi, kemanapun asal tidak di kamar itu. Tempat itu entah kenapa membuatnya sesak, dia butuh udara untuk melegakan hatinya yang semakin berat merasa kecewa. Kecewa pada apa jelasnya pun Naomi tidak tahu.
.
.Kamar itu gelap ketika Richard memasukinya, namun sosok yang duduk dipinggir kasur masih bisa dia lihat. Caroline masih diam bergeming ditempatnya. sejak Richard membentaknya beberapa saat yang lalu, dia tidak mengeluarkan suara sedikitpun. "Masih marah?" Suara canggung Richard mulai terdengar di telinga Carol.
"Kau tahu, Richard?" Terdengar suara pelan dari Caroline membuat Richard memasang telinga lebar untuk bisa mendengar ucapan istrinya. "Aku semakin yakin kalau hidupku itu tidak diinginkan. Apa yang kau katakan tadi sama persis seperti apa yang kakak-kakak ku sering ucapkan." Suara Caroline berubah menjadi parau, gadis itu mulai terisak.
"Aku minta maaf atas kesalahanku. Aku hanya ingin merasakan bagaimana dicintai. Apa itu salah?" Lanjut Caroline, dia menatap Richard dengan mata yang sendu.
"Aku juga tidak mencintaimu saat ini, tapi... Ah, sudahlah. Itu tidak penting kan?"
"Kau tidak perlu khawatir setelah ini aku akan berusaha untuk pergi darimu. Bisakah kau memberiku waktu sebelum aku kembali pulang?" Richard tercekat mendengar penuturan parau dari Caroline. Dia memang jengkel pada gadis itu yang sejak tadi pagi selalu mencoba menarik perhatiannya untuk hal-hal yang tidak penting sekalipun. Padahal Richard sedang mengerjakan sesuatu yang penting untuk misi selanjutnya.