Negeri yang Kotor

200 35 37
                                    

Pukul 3 sore menjadi waktu untuk Dinah pulang sekolah. Diengkolnya motor bebek warisan ayahnya yang kemudian menimbulkan polusi suara sekaligus udara karena asapnya yang mengepul. Komat-kamit mulutnya membaca doa kemudian keluar dari tempat parkir, menelusuri gang-gang kompleks rumah depan sekolah hingga akhirnya sampai di jalan raya. Dilihatnya vespa klasik menyalip motor bebeknya yang membuat tercengang. Suatu harapan pun muncul dalam dirinya: aku ingin membeli vespa.

Tiba di persimpangan jalan, lampu lalu lintas menyala kuning, kemudian merah. Dinah berhenti tepat di belakang garis marka, takut bukan main dengan polisi berkacamata hitam bertampang sangar dan terlihat mematung menunggui siapa saja yang berani melanggar.

Belum puas kepalanya pusing dihadapkan dengan persoalan matematika yang harus mencari si 'x' dan si 'y' yang seakan tak pernah ditakdirkan untuk berjodoh, kini Dinah harus berhadapan dengan 180 detik penantian lampu merah menuju hijau yang terasa sangat lama. Ditambah matahari yang seakan terasa membakar punggung telapak tangan dan suara kendaraan yang menderu-deru menimbulkan polusi. Membuat pikirannya makin kalut seakan ia tak sadar kalau motor bebeknya turut menjadi penderma polusi.

Dilihatnya sekeliling. Dinah bagai dikepung baliho-baliho raksasa. Tertulis di sana besar-besar: Pilih Nomor Urut...; Jangan Salah Pilih!; Coblos Wajahnya! Oi, kejam bukan main kalimat yang terakhir. Hanya ada dua baliho yang membuat perhatiannya teralihkan: tawaran tukang pijat dan ucapan terima kasih telah menemani selama bertahun-tahun, di bawahnya dituliskan dengan gamblang: Sumarni, Kita Putus. Berlebihan.

Penantian panjangnya akhirnya usai, tulisan bergerak Tunggu Sampai Hijau disambutnya dengan sukacita. Lampu menyala hijau. Belum sempat ia tancap gas, kendaraan lain di belakangnya sudah bersorak-sorai membunyikan klakson bersahut-sahutan. Bahkan tukang penjual balon ikut meramaikan dengan memencet peluit balonnya sehingga menimbulkan bunyi nget, nget, nget yang menggelikan. Sabar! Begitu ucap dalam batinnya. Ingin rasanya Dinah berteriak, namun takut menjadi pusat perhatian dan ditertawakan.

Dinah menancap gas dengan santainya, melaju konstan cenderung lambat. Motor bebeknya tak secepat Nmax atau apalah itu penyebutannya. Ia menikmati perjalanan dengan melihat pemandangan jalan, namun yang terlihat tak lain dari berderet-deret poster, baliho, spanduk, dan bendera di sepanjang tepian jalan. Semuanya tentang partai. Semangat betul mereka berkampanye, mengelu-elukan jagoan dari kubunya yang dianggap siap dan pantas untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Saking semangatnya, hingga Dinah menemukan umbul-umbul dengan karung goni putih bersih yang ditancapkan pada tanah dengan bambu yang telah disisir. Tertulis dengan cat hitam: Mohon Dukungannya, Coblos Nomor Urut, Rakyat Makmur, Terima Kasih. Singkat, padat, jelas, dan tidak menarik. Hemat cenderung tidak modal.

Lupakan soal partai dan semacamnya itu, sejauh dua puluh enam kilometer telah dilaluinya dan sebentar lagi ia akan segera sampai rumah. Jauh memang. Rumahnya berada di lereng gunung sedangkan sekolahnya nun jauh di kota. Karena di lereng gunung, jalan yang dilalui pun seperti apa yang dibayangkan. Berkelok-kelok, menanjak, menurun, suasananya sejuk dan syahdu, berbanding terbalik dengan keadaan Dinah yang mencemaskan. Motor bebeknya meraung-raung minta ampun tepat di tanjakan yang tinggi, tak kuat menahan beban Dinah yang beratnya bagaikan melebihi beban hidup. Ia membungkuk, menancap gas sekuat tenaga. Orang berkata itu akan mempercepat lajunya walaupun hanya bualan semata. Justru realitas yang ada, motor Dinah makin meraung-raung seakan tak tahan menahan sakit, batuknya kronis, gigi rantainya seperti akan ompong, jantung mesinnya bergejolak, persis seperti orang sekarat. Namun, hasil tak mengkhianati usaha, usaha pun tak mau dikhianati karibnya itu. Akhirnya Dinah sampai di puncak, napasnya lega, ditegakkan badannya dan diisapnya kuat-kuat udara segar walaupun bau emisi mendominasi. Ia menganggap itu aroma keberhasilan.

Sesampainya di halaman rumah, Dinah menstandarkan motornya. Kepul asap dan polusi suaranya berhenti. Dinah masuk rumah, terlihat mamaknya tengah mengupas jengkol, berniat untuk menyemurnya.

"Dinah pulang, Mak," ucapnya sembari melepas helmnya. Tak ada jawaban selain suara kayu yang terkantuk di tengah takzimnya mamak mengupas jengkol.

Dinah hendak duduk, menyokong punggungnya pada sandaran kursi, hingga ia teralihkan pada tumpukan lembaran kertas bergambar orang-orang berdasi dan pakaian jas yang terlihat begitu rapi dan berwibawa. Dilihatnya baris-baris kosong berada di bawah gambar masing-masing orang. Baris paling atas terisi nama sekaligus terdapat gambar lubang dan paku yang seakan-akan menusuknya dengan maksud persuasif untuk memilihnya ketika hari pemilihan umum nanti.

Pandangannya seketika teralihkan pada amplop yang tergeletak di atas meja, persis di bawah tumpukan kertas bergambar orang-orang berdasi sejak kertas itu diangkat. Diambilnya dan dibukanya amplop hingga terlihat dua lembar pecahan uang lima puluh ribu rupiah. Dinah paham apa maksudnya, persuasi yang cenderung penyuapan.

"Semua dapat, Mak?" ujarnya sembari menunjukkan amplop itu pada mamaknya. Mamaknya menoleh.

"Iya, lumayan kan untuk keperluan beras dan gula yang hampir habis."

Masyarakat kampung yang masih awam dengan perihal uang dan politik tentu menjadi sasaran manis bagi partai untuk mengajak mereka ikut menjadi bagian dari kubu mereka dengan iming-iming uang. Dinah meraba-raba uang itu, memastikan yang dipegangnya adalah benar-benar uang. Terdengar lamat-lamat tikus menceracau. Negeri yang Kotor, batinnya.


Note :

Haloo, part pertama sudah hadir nih, bagaimana menurut kalian?

Jangan lupa vote ya, kritik saran dan masukannya ditunggu.

Tunggu part selanjutnya dan simak kisahnya sampai tamat, bakal update tiap Rabu dan Sabtu nih.

PRIMATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang