Bunyi denting gelas kaca yang berbenturan dengan sendok terdengar kala Supri mengaduk kopi pertamanya untuk Nasrudin. Aroma kopi yang semerbak membuat Nasrudin melayang, hangat, dan fresh. Diputar-putar sendok mengaduk kopi sembari melihat ekspresi Nasrudin yang seakan sedang membayangkan berada di padang sabana yang luas dengan angin sejuk. Diangkatnya sendok oleh Supri, lantas dicipratkannya tetes-tetes air yang tersisa ke muka Nasrudin. Terkejut bukan main Nasrudin.
"Panas, Bang," ujar Nasrudin.
"Aku benci melihat muka kau, Din."
Melengos Nasrudin. Diambilnya kopi buatan Supri lantas diseruputnya. Panas dan pahit bukan main. Nasrudin melotot. Beberapa detik kemudian menyembur kopi dari mulut Nasrudin macam dukun memberi jampi-jampi. Supri makin benci karena semprotannya mengenai wajahnya.
"Impas, Bang," kata Nasrudin tanpa merasa berdosa.
Sore itu, Nasrudin menjadi pelanggan pertama Supri sejak dibukanya lapak jualan miliknya untuk hari ini. Bahkan ia telah menunggu sejak sebelum kedatangan Supri kemudian menyaksikannya mempersiapkan macam-macam tanpa membantu.
"Aku tak dibayar untuk itu, Bang."
Begitu alasan Nasrudin kala ditanyai mengapa kau tak membantuku, Din?
Suatu usaha yang mantap sebagai seorang sarjana perdagangan, Supri membuka lapak berjualan dengan alasan tak kunjung mendapat pekerjaan. Banyak hal baik yang sebenarnya ada pada dirinya. Cakap berkomunikasi, santun, goodlooking, pandai, namun tak ada yang mau merekrutnya karena alasan umur yang melampaui batas maksimum. Ia masih bujang, namun umurnya sudah menuju kepala empat. Ia menganggap masa bujangnya telah menginjak status quo. Oleh karenanya Supri memberikan nama Lapak Bujang Kasip sebagai identitas.
Belakangan ini, Supri menjadi orang yang tidak seperti sebelumnya. Orang yang biasa santun dan ramah tiba-tiba menjadi galak, mudah emosi, dan gampang tersinggung. Lantas diceritakannya pada Nasrudin ia habis dicampakkan wanita.
"Maaf, aku tak suka pria miskin," ujar wanita itu pada Supri tempo hari.
Berbagai upaya yang dilakukan Supri untuk menarik hati Lena pun raib. Dibantingnya bunga dan dibuangnya coklat yang ia bawa ke tanah. Berbahagialah kawanan semut karena mereka makan besar kali ini.
Tak berselang lama, datanglah Sulin bergabung dengan Nasrudin dan Supri.
"Bang, kopi pahit satu," pinta Sulin pada pemilik Lapak Bujang Kasip tersebut.
"Kau sedang merasakan kepahitan dunia juga, Lin?" tanya Nasrudin pada Sulin yang baru datang.
"Aku tengah naik daun sekarang, Bang, tak mau melupakan bagaimana pahitnya hidup kemarin."
Sulin menyombongkan reputasinya yang meningkat sebagai organ tunggal kawakan. Bukan main bencinya Nasrudin, berbeda dengan dirinya yang luntang-lantung bertahun-tahun karena tak kunjung punya pendapatan sendiri. Jadilah ia beban hidup keluarga.
Brak!
Dihentakannya segelas kopi di atas meja tepat di depan Sulin oleh Supri. Mereka terdiam seketika, hening, hingga salah satu berani bersuara.
"Kau kenapa, Bang? Garang betul sama aku," ujar Sulin terheran-heran.
"Dia habis dicampakkan, Bang Sul, jangan kau membuatnya makin emosi," ujar Nasrudin menjawab segalanya.
"Amboii, pahitnya hidup kau, Bang," ujar Sulin yang kemudian menyeruput kopinya. Pahitnya bukan main.
"Macam kopi ini," lanjut Sulin membuat Supri makin murka.
"Pantas saja kopinya sepahit ini, Boi, rupanya begitu ceritanya," bisik Sulin pada Nasrudin yang membuat Supri penasaran.
Dicubitnya paha Sulin oleh Nasrudin agar tak melanjutkan pembicaraan pahitnya kehidupan Supri. Ia hanya tak mau Supri mengamuk dan membunuh kemudian menjual organ dalam mereka karena ilmu perdagangan yang dimilikinya begitu mantap. Macam kasus penculikan dengan diambil organ dalam lantas dijual. Mengerikan.
Seiring dengan semburat senja di ufuk barat, datanglah seorang wanita cantik dengan pakaian bercorak sunset lengkap dengan suasana indah. Tapi kenapa mataharinya ada dua? Begitu batin Sulin kala melihat wanita itu datang.
Takjub bukan main Supri dengan wanita itu. Dari ujung kepala sampai ujung kaki dilihatnya tanpa absen. Rambut pirang, mata lentik, hidung mancung, bibir merah merona, perpaduan di wajahnya sungguh sempurna. Bahu tegap, dada besar, pinggang ramping, pinggul lebar, kaki jenjang, kulit putih, mantap betul. Supri tak bisa mengalihkan pandangan pada wanita seperti Susan, nama wanita itu.
"Permisi, bolehkah aku menanyakan sesuatu pada kau?" ujar wanita itu pada Supri.
Hatinya bergetar, jantungnya berdisko, pankreasnya split, Supri seakan mati rasa. Begitu lembut suara Susan membuatnya tergila-gila. Tak ada jawaban dari Supri melainkan pandangannya tak bisa teralihkan dari pesona Susan.
"Bang?" sapa Susan melihat Supri yang tak berkedip dan seperti melamun ke arahnya. Digoyangkannya tangan Supri oleh Sulin hingga membuatnya sadar.
"Eh, iya ada yang bisa dibantu? Sila duduk." Supri mempersilakan. Tergagap-gagap Supri merespons Susan.
"Saya mencari yang namanya Salim, katanya dia organ tunggal yang bagus," tanya Susan pada Supri.
"Kau menemukan orang yang tepat, saya Salim, ada yang bisa dibantu?" Sulin berdiri seketika, memperkenalkan diri pada Susan sambil berjabat tangan.
"Kau Sulin, Bang. Bukan Salim," ujar Nasrudin membantah.
"Diamlah!" bentak Sulin pada Nasrudin.
Bagaimana keadaan Supri?
Termenung Supri dalam diam tanpa kata-kata. Ia masih menikmati betapa cantiknya paras seorang Susan bahkan dalam pertemuan pertama yang tanpa disengaja. Bahkan ia belum mengenal siapa namanya, di mana rumahnya, galak tidak bapaknya, karena biasanya wanita cantik itu bapaknya galak.
"Oh, Kau? Bolehlah aku mengundang untuk manggung dalam waktu dekat ini, Bang."
Senang bukan main Sulin mendapat tawaran manggung lagi, dengan wanita cantik pula. Maka, langsung diterima tawaran tersebut lantas menanyakan kapan acaranya dan di mana tempatnya.
"Akan kuberi tahu besok, kalau kau sanggup aku akan bicara pada yang punya acara," ujar Susan menjawab.
"Tentu aku sanggup," ujar Sulin dengan mantap.
"Baiklah kalau begitu aku pergi dulu, terima kasih, Bang."
Susan pergi meninggalkan Lapak Bujang Kasip. Lenggak-lenggok tubuhnya saat berjalan begitu menggoda, tak bisa berkedip Supri melihatnya.
"Kalian tahu namanya?" tanya Supri seketika setelah tersadar dari halusinasi joroknya.
Nasrudin dan Sulin serentak menggeleng, lupa tidak menanyakan nama.
"Memang tak becus kalian ni," ujar Supri kecewa.
"Tampaknya ada yang lagi kasmaran, Din," bisik Sulin pada Nasrudin.
"Siapa yang tidak suka dengan wanita seperti itu, Bang Sul, bahenol betul," ujar Nasrudin membuat Supri makin panas.
"Diamlah kalian!" bentak Supri yang membuat dua pelanggan pertamanya hari ini terdiam seketika.
Note :
Haloo, balik lagi sama author huhu, di part 3 ini masih menyelipkan perkenalan tokoh yaa dan di sini ada tokoh baru nih wkwk. Di bab selanjutnya pun sama, jadi jangan bosen yaaa
Ikuti terus ceritanya dan tunggu kisahnya sampai selesai, jangan lupa read, vote, comment, and share yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMATA
General FictionKita diciptakan oleh Tuhan sebagai manusia yang menjadi makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lainnya. Primata adalah salah satu makhluk yang bertipikal hampir sama dengan kita. Keluarga, asmara, politik, kejahatan, pertengkaran, bahkan per...