Sorenya, Enun benar-benar membawa radio tuanya ke tukang servis. Dengan menenteng radio ia keluar rumah. Dinah yang melihatnya pun bertanya pada sang mamak.
"Mau ke mana, Mak?"
"Servis radio, Din. Kan, pekan depan kau mau siaran."
"Sudah malam, Mak. Besok saja," ujar Dinah mencegah mamaknya.
Enun tak menggubris. Ia tetap menenteng radio tua itu keluar rumah tanpa tahu tujuannya ke mana. Yang penting ia bisa menemukan tempat servis radio agar bisa mendengarkan siaran anaknya pekan depan.
Di sisi lain, di Lapak Bujang Kasip, canda tawa sedang terjadi di antara ketiga lajang yang tak kawin-kawin. Membicarakan tentang janda sampai si cantik, Susan. Hal itu membuat Supri teringat akan sosok si cantik yang membuatnya berdebar-debar. Ke manakah ia gerangan?
Dilihatnya dari kejauhan, para lajang itu tertawa keras sekali membuat Enun sungkan untuk lewat. Namun, spanduk lapak yang lumayan menutupi memungkinkan Enun untuk lewat tanpa sepengetahuan mereka. Dengan menutupi wajahnya menggunakan radio, ia mencoba memberanikan diri untuk melewati lapak milik Supri tersebut.
"Oi, Nun. Mau ke mana malam-malam begini? Sini mampir!"
Supri yang menyadari Enun lewat pun menegurnya. Mengajaknya untuk mampir. Entah apa yang terjadi padanya, kaki Enun yang harusnya berjalan terus tiba-tiba berbelok begitu saja mampir ke lapak Supri macam ada yang menggiringnya. Menghampiri lapak dengan masih menutupi wajahnya menggunakan radio miliknya lalu menghentakkan radionya ke meja lapak, makin rusaklah sang radio.
"Duduklah, Nun," suruh Supri.
"Kenapa aku bisa mampir ke sini?" tanya Enun terheran-heran.
"Mana kutahu," jawab Nasrudin ikut terheran-heran.
Sedang di ujung bangku, Sulin terlihat semringah dengan adanya Enun di lapak. Sulin macam memendam perasaan cinta pada mamak Dinah tersebut. Ingin sekali memilikinya tapi tak mungkin.
"Apa kau senyum-senyum! Benci nian aku lihat muka kau," bentak Enun pada Sulin.
"Amboii, galak betul kau ni, Nun," ledek Supri pada Enun.
"Kopi satu!"
Kini giliran Supri yang kena bentak. Tinggal Nasrudin yang belum. Diambilnya bubuk kopi dan gula oleh Supri kemudian dituangkan pada gelas kecil. Air panas mulai dituangkan pula sehingga asapnya yang mengepul terasa hangat mengenai wajah Supri. Aroma inilah yang dirasakannya seperti merasakan uang karena dari sinilah Supri mendapatkan penghasilan.
"Mau ke mana malam-malam begini, Mak?"
"Aku bukan mamak kau!" bentak Enun pada Nasrudin, lengkap sudah semua kena bentak.
"Baiklah kalau begitu Bibi?"
"Main-main kau ya! Aku bukan pembantu kau!" ujar Enun galak sambil mengangkat radionya hendak memukulkan pada Nasrudin.
"Sudah, sudah, Nun. Ini kopinya kau minum," ujar Supri mencoba menenangkan Enun. Nasrudin pun bingung dibuatnya. Sebutan apa yang harus dipakainya untuk memanggil mamaknya Dinah tersebut.
"Mau bicara apa lagi kau?!"
Belum sempat Nasrudin mengucap bahkan baru sedikit membuka mulut ia sudah kena bentak. Nasrudin pun lantas terdiam, memilih untuk tidak berbicara apapun sampai Enun pergi.
"Kau tahu di mana tukang servis radio?" tanya Enun pada Supri.
Supri terdiam sejenak. Mengingat-ingat di mana tempat ia pernah melakukan servis radionya tempo waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMATA
General FictionKita diciptakan oleh Tuhan sebagai manusia yang menjadi makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lainnya. Primata adalah salah satu makhluk yang bertipikal hampir sama dengan kita. Keluarga, asmara, politik, kejahatan, pertengkaran, bahkan per...