Awal Pertama

87 7 4
                                    

Sepulang sekolah, Bintang seperti biasa bergegas kembali ke rumah. Menenteng sepasang sepatu usangnya melewati jalanan aspal yang sudah terkoyak oleh zaman. Ia ingat setahun yang lalu, jalan ini tak semenganga dan bergelombang yang sampai batu-batu di bawahnya menyembul ke permukaan. Berpayungkan rintik air hujan yang turun sejak dari pagi sampai bel pulang berbunyi. Hawa dingin menusuk kulitnya tanpa ampun seolah tak tahu bahwa yang ia hujani adalah kakak Jingga yang dirindukan adik kesayangannya itu.

" Yah, mengapa aku tadi tak membawa jas hujan yang ditaruh Jingga di meja."

"Jadi basah deh kayak gini, mana besuk hari Selasa dan masih harus kupakai lagi."

Langkah kakinya mulai cepat dengan guyuran yang menghujam daun pisang yang sempat ia patahkan di pinggir sawah. Ingin ia berhenti sejenak untuk merawat buku-buku sekolah agar tidak basah pikirnya. Tengok kanan kiri mencoba mencari gubug tempat berteduh. Seketika mata tertuju di gubug tengah sawah yang selalu menjadi tempat Bintang beristirahat ketika mencari ikan bersama teman-temannya. Larinya tak terbendung lagi menuju gubug gelap nan reyot yang menyembunyikan siluet hitam. Siluet itu semakin jelas dan besar menggusarkan hati Bintang untuk berteduh di sana. Tapi apa daya dirinya tetap memberanikan diri sambil berharap itu hanyalah karung yang berisi rumput untuk pakan sapi. Kilatan petir dan gelegar suara mengagetkan semua.

"Duuuuaaaarrrrrrr", suara gemuruh di atas langit yang gelap itu.

" Astagfirullah, siapa itu?" teriak Bintang.

Kilatan petir kedua menyilaukan seluruh persawahan bak listrik 1000 Mega, menambah kegaduhan pada siang itu. Benar saja jantung Bintang berdegup semakin kencang ketika melihat sosok bayangan tadi terlihat jelas di pelupuk matanya. Tersentak, terkejut hingga membuatnya terpeleset. Celana merah pudar itu kotor oleh bubur lumpur yang sedari tadi ia injak dengan kakinya. Tiba-tiba suara menyambar sambil meraih kedua tangan Bintang.

" Waduh, Thole Bintang. Kaget sama simbah kamu? Maafkan simbah! Sampai-sampai kamu terpeleset seperti ini." ujar lelaki tua.

" Mbah Reja nggih ternyata. Saya kira siapa, habisnya tadi dari jauh Simbah hanya terlihat seperti bayangan yang menakutkan." jawab Bintang sambil membersihkan celananya.

" Oh iya Lhe, kamu tadi ndak bawa payung atau jas hujan Ntang?

" Ndak bawa Mbah, tadi kelupaan, padahal Jingga udah nyiapin di atas meja. Huft."

" Ya wis ndak papa. Ditunggu saja ya insyaAllah hujannya sebentar lagi reda."

"Inggih Mbah, semoga segera reda. Kasihan Jingga pasti udah menunggu di rumah sendirian."

Selama 15 menit sudah mereka menghabiskan obrolan hangat di tengah terpaan angin dingin dari segala penjuru mata angin. Sambil sesekali menggetarkan seluruh badan karena menggigil tidak karuan. Menggosok-gosokan kedua telapak tangan dan meniup hangat dari mulut juga tak ketinggalan dilakukan. Hingga langit mulai menampakan cahaya lagi dengan tetap dihujani rintikan air yang menciptakan lembaran-lembaran tujuh warna di ufuk timur. Bintang memutuskan untuk segera pulang mengingat perjalanan ke rumah masih cukup jauh.

"Mbah Reja, saya pamit dulu nggih." pamit Bintang.

"Ati-ati ya Lhe. Ini tak beri pisang Raja Nangka buat adikmu."

" Matur nuwun Mbah."

Telapak kakinya tak berhenti menapaki permukaan tanah yang telah membubur. Tetap tegas melangkah menahan tas dipundaknya ditambah lagi dengan pisang yang telah diberi oleh Mbah Reja. Pisang yang memang merupakan buah kesukaannya sedari kecil. Tak pernah bosan sedikitpun dan semua jenis pisang, dirinya sangat suka. Apalagi pisang yang ia bawa adalah pisang paling tersohor di desa. Bukannya terlalu menghiperbolakan buah ini. Tapi memang Mbah Reja ini adalah empunya pohon pisang di desa. Latar belakang mbah yang penuh dengan kisah membuat Bintang terkagum-kagum dengan orang yang sudah banyak ubannya itu.

Jingga di Balik BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang