Gadis didalam mimpi #9

17 2 0
                                    

“Yan, makan disana yuk, ada mie ayam legendaris yang katanya enak banget, penasaran euy. Mumpung kesini.” benar saja dia ingin menentukan makan siang kami hari ini, dan dia ingin makan mie ayam yang memang sudah lama ingin dia makan. Lokasinya tidak terlalu jauh dari alun-alun, tempat mie ayam yang dia maksud merupakan dagangan kaki lima yang biasa mangkal didepan pasar tradisional. Dan setahuku memang sudah sejak lama pedagangnya berjualan disana, dan memang saat masih kecil aku juga suka makan disana bersama mendiang ibuku saat menemani beliau belanja untuk kebutuhan bulanan dipasar. Setelah lelah berkeliling pasar untuk belanja pasti kami selalu menyempatkan untuk makan disana, saat itu penjual mie ayam masih bisa dihitung dengan jari, tentunya dengan rasa yang khas nya membuat mie ayam tersebut cukup populer pada masanya dan mendapat cukup banyak pelanggan setiap harinya. Sesampainya kami didepan pasar si Awan berhenti dan kini membiarkanku jalan didepan untuk memandunya menuju tempat makan yang akan kami tuju, cukup banyak pedagang kaki lima yang sedang berjualan hari ini. Dan tempat mie ayam legendaris itu berada diujung dan terlihat cukup sepi diantara yang lain, tulisan kaca di grobaknya membuatku langsung teringat dengan masa lalu, tak ada yang berubah sama sekali. Dari segi warna gerobak dan banner yang terlihat simpel sudah membuat rasa mie ayam itu terbayang dilidah, aromanya yang khas sudah tercium terbawa angin. Perutku yang sebenarnya belum merasa lapar tiba-tiba seperti siap untuk diisi lagi, si Awan setengah berlari menyusulku dan langsung memesan makanan, setelah memesan mie ayam dia langsung memesan jus yang berada tepat disamping gerobak mie ayam. “Yan, kamu mau minum jus apa?”, “Gak ah, cukup teh hangat yang disini aja.“ meskipun aku sangat haus dan memang menginginkan kesejukan, tetapi makan mie ayam disini akan terasa sangat nikmat jika minum teh seduhan yang memang disediakan oleh si mang nya. Teh disini entah kenapa berbeda dari tempat lainnya, air panas yang bertahan lama serta suhu yang pas ikut serta menjaga aroma dari teh dan lebih mengeluarkan rasa dari teh itu sendiri. “Oh… gitu, yaudah atuh,” dia nampak kecewa, wajahnya seolah berbicara menyesal karena sudah memesan minuman lain, namun juga tak tega jika harus membatalkan pesanan karena pesanan minumnya sudah hampir jadi.

Saat makanan sudah tiba, si Awan langsung menuangkan saos, kecap dan juga sambal yang cukup banyak. Dan seperti belum makan dari pagi dia langsung memakan mie ayam itu dengan lahap, meskipun ku yakin kalau mie ayam itu masih sangat panas karena aku pun harus menunggu beberapa saat terlebih dahulu hingga lumayan dingin dan nyaman di mulut. “Kalem wan, pelan-pelan, padahal dari tadi jajan terus, belum kenyang?” aku menyuruhnya makan pelan, namun dia tak menghiraukan perkataanku dan terus saja menyeruput mie nya. Seusai menghabiskan mie ayamnya dia berkeringat dan terlihat sangat kenyang dan puas dengan apa yang sudah masuk ke perutnya, mungkin karena sudah kelelahan saat berdagang tadi dia telihat sedikit mengantuk dan bersandar begitu saja sambil memejamkan matanya. “Mang, ini dua yah, sama ini nitip buat jusnya, nanti kalau teman saya bangun bilangin tunggu sebentar.” Aku membiarkan dia yang kini tertidur, dan selesai menghabiskan makanan aku pergi duluan mencari makanan untuk si Badud, “Siap A, hatur nuhun.” mang mie ayam yang sudah paruh baya itu mengerti akan maksudku, saat dulu aku pertama kemari rambut nya hanya sedikit ditumbuhi uban, tapi kini hampir semua rambutnya berwarna putih. Namun tubuhnya terlihat sangat sehat dan tanpa halangan berarti pergerakannya tetap gesit saat menyajikan makanan, dengan topi khasnya yang selalu ia pakai membuatku sekilas membayangkan masa lalu saat makan disini bersama mendiang ibuku.

Kini aku menyusuri jalanan pusat kota yang disepanjang jalan ini terdapat berbagai toko, hampir semua barang yang dibutuhkan sehari-hari ada disini. Bahkan dizaman keemasannya dulu tempat ini sangat ramai dukunjungi, namun karena berdirinya mall beberapa tahun yang lalu tepat disamping jalanan ini toko-toko disini mulai kehilangan peminatnya. Tapi hebatnya tempat ini masih bisa eksis sampai sekarang, banyak plang dan banner yang sudah ada sejak zaman dulu masih dipertahankan beberapa toko. Menambah kesan klasik yang sudah menjadi ciri khas tempat ini, dan toko hewan peliharaan yang akan aku datangi sudah berdiri sejak lama dan masih buka hingga sekarang. Tampilan luarnya sudah banyak berbeda dengan warna merah muda yang dominan, akupun langsung masuk dan didalam nya terlihat sangat berbeda dengan dulu. Seperti halnya diluar, didalamnya pun didominasi oleh merah muda dan putih, memberikan kesan yang sangat ramah. Didalamnya banyak sekali perlengkapan untuk hewan peliharaan, mulai dari kandang, aksesoris, hingga makanan untuk peliharaan seperti ada semua disini. “Permisi Teh, ada makanan buat kucing yang masih kecil?” aku bertanya karena kurang tahu tentang makanan kucing dan takut aku salah memberikan makanan buat si Badud. “Buat usia berapa yah A?” dia menanyakan usia si Badud. “Duh berapa yah, kayanya belum setahun.” Akupun kebingungan dan memperlihatkan saja si Badud. “Ohh, masih baru sebulanan ini mah, itu matanya kenapa A?” dia penasaran dengan kondisi si Badud. “Gatau Teh, udah gini sejak pertama, kasian gak bisa liat, aku bawa pulang aja buat dirawat.” Jelasku. “Oh gitu, kasian yah, yaudah A karena masih sangat kecil kasih yang ini aja.” Dia merekomendasikan makanan untuk si Badud, tanpa banyak bertanya lagi akupun mengikuti sarannya. Setelah membayar makanan untuk si Badud aku berniat langsung pergi, tetapi si Tetehnya memanggil dan menghampiriku, “A tunggu sebentar, zaman sekarang jarang ada yang merawat hewan dengan baik, apalagi kalau kucingnya cacat, bisa dibuang gitu aja dijalan.” Dia berbicara sambil tergesa-gesa. “Ini ada kalung buat kucingnya Aa, anggap aja hadiah. Semoga kucing Aa bisa tumbuh sehat.” lanjutnya. “Beneran ini teh? makasih banyak yah Teh kalau gitu.” Teteh penjaga toko itu hanya tersenyum, dan aku melanjutkan perjalananku untuk kembali ke tempat mie ayam.

Mungkin saja si Awan sudah bangun, akupun mempercepat langkahku. Namun saat aku kembali dia masih tertidur dengan posisi yang sama, karena sudah cukup lama akupun membangunkannya. Namun dia nampak pucat dan terlihat sangat kelelahan, akhirnya akupun memutuskan untuk menyudahi berjualan hari ini dan mengajak si Awan pulang. Namun dia menolak dan bilang masih ingin berjualan, dia beranjak bangkit dan langsung berjalan kembali menuju alun-alun. “Yaudah, tapi dagangnya diam aja, jangan keliling.” aku menyuruhnya jangan terlalu  banyak bergerak karena wajahnya yang sudah terlihat pucat membuatku khawatir, dan dia juga mengiyakan saranku kali ini. Semakin sore alun-alun malah semakin ramai, kota ini seperti lebih hidup jika dimalam hari, mungkin karena akhir pekan dan juga masa liburan. Daganganku sudah hampir habis laku terjual, sepertinya jualan hari ini cukup sukses. Tak terasa gelap pun jatuh dan aku memutuskan menyudahi dagangku hari ini, lampu-lampu mulai menyala satu persatu, lampu ditaman alun-alun sangat indah terlihat dimana disetiap sudut terpasang lampu dengan nuansa klasik. Meskipun ingin berlama-lama tapi aku harus bergegas pulang karena jam operasional angkot menuju rumahku sangat singkat, lepas dari jam tujuh malam sudah tidak akan ada angkot lagi yang menarik penumpang. Maka dari itu aku buru-buru menghampiri Awan ditempatnya terakhir kutinggalkan, dan ternyata dia sudah terlihat segar kembali dan sedang memakan makanan ringan. “Eh yan, udah beres. Sini ngopi dulu.” akupun ikut duduk dan ikut memesan kopi, dia memberikan uang hasil jualannya padaku, dan tak diduga daganganku habis terjual olehnya, dan bakhan katanya ada beberapa pembeli yang tak ingin kembaliannya diberikan. Meski terlihat cukup pendiam, tapi kalau urusan pemasaran dia cukup handal. “Mantul wan…” aku pun memuji kerja kerasnya. “Ini bagianmu wan, makasih udah bantuin hari ini.” aku memberikan upah untuk bantuannya, namun dia menolak. “Udah kamu simpen aja yan, ini aja bayarin ngopi sama jajan aku tadi hehe.”, “Gak bisa gitu wan, kamu udah cape-capean hari ini, ambil aja, lumayan buat jajan. ”Akupun memaksa memberikan upah padanya, kerena bagaimanapun dia sudah berkeringat dan membantuku seharian ini. “Yaudah atuh, aku terima yah, makasih yan. Tapi ngopi yang sekarang aku yang teraktir oke.”, “Oke deh, aku yang terima kasih, karena kamu dagangan aku hari ini laku banyak.” Akhirnya dia mau menerima upahnya. “Jangan bosen bantuin lagi hehe.” Lanjutku. “Siap boss.”

Setelah ngopi kamipun bergegas menujun jalan raya, akupun naik angkot menuju arah rumahku, tapi si Awan menaiki angkot lain karena arah rumah kami berbeda. Kami berpamitan dan si Badud juga bersuara seolah ikut berpamitan pada si Awan, langit sudah terlihat sangat gelap. Angin yang berhembus lewat celah jendela mobil terasa sangat dingin, dan terdengar suara gemuruh sesekali, tampaknya sebentar lagi akan turun hujan. Semoga saja hujan tidak turun sebelum aku sampai rumah, hingga akhirnya aku tiba di gang kampungku dan turun dari mobil. Kini kulanjutkan dengan berjalan kaki menuju rumah, sambaran kilat dilangit terlihat sangat jelas jika dimalam hari. Dan kilatan itu diikuti suara gemuruh tak lama kemudian, angin malam terasa lebih dingin saat berhembus dengan kencang. Meskipun aku memakai jaket tetap saja dinginnya bisa kurasakan dan membuat kakiku spontan bergerak semakin cepat, kini aku melintasi sawah yang tampak menyeramkan jika dimalam hari, karena diujung persawahan ini terdapat pemakaman umum yang juga ditumbuhi banyak pohon jati yang randu dan juga lebat. Dan jam segini sudah tak ada orang yang lalu lalang dijalan utama kampung ini, kampung ini seperti sudah tertidur dari semua aktivitasnya. Lampu-lampu dari rumah yang kulewati kadang menampilkan siluet dari penghuni rumahnya, hal itu cukup untuk meyakinkanku kalau ini belum terlalu larut malam. Jalanan kampungku tidak terlalu gelap karena beberapa tahun belakang sudah dipasangi lampu jalan bertenaga surya yang otomatis menyala dikala gelap, hingga akhirnya aku tiba dirumahku kemudian hujanpun mulai mengguyur dan menyajikan rasa dingin yang luar biasa.

Gadis didalam mimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang