Gadis didalam mimpi #8

12 2 0
                                    

Untuk mencapai pusat kota tidak terlalu memakan waktu yang lama, karena dengan sekali menaiki angkutan kota maka akan sampai kurang lebih setengah jam. Aku bersama si Badud berjalan cukup lama untuk mencapai halte, karena dihari minggu angkutan umum disini sangat jarang yang beroperasi hingga lumayan cukup lama aku menunggu mobil datang. Dengan suara kendaraan yang cukup bising dan polusinya membuat udara disini tidak lagi segar, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan hutan yang biasa ku jelajahi. Kota ini merupakan kota pemekaran dari Ibukota Provinsi, sehingga pembangunan infrastruktur sangat gencar terjadi disini. Karena aku sangat ingat sewaktu kecil selalu mengunjungi pusat kota ini yang kala itu masih banyak tanah lapang yang masih kosong, tidak seperti sekarang yang sudah banyak didirikan bangunan, seperti gedung perkantoran, pemerintahan, toko-toko, hingga mall. Begitu juga dengan kendaraan yang lalu lalang di jalan raya jumlahnya sangat melonjak dibanding dulu, hingga kemacetan juga sering terjadi diberbagai tempat dikota ini, yang dulu asri nan sejuk kini berubah menjadi panas dan gersang.

Akhirnya datang juga mobil angkot yang akan kunaiki setelah setengah jam ku menunggu, itupun sudah hampir penuh dan hanya tersisa satu tempat duduk didekat pintu. Aku pun langsung saja naik mobil itu dengan santainya, karena setiap berangkat sekolahpun aku selalu mendapatkan tempat duduk ini. Meskipun sedikit berbahaya namun disana merupakan tempat yang paling sejuk didalam angkutan umum, karena bisa diterpa angin saat mobil melaju. Malah aku tidak terlalu suka jika dapat tempat duduk dibagian tengah, duduk dibelakang cukup lumayan karena bisa bersandar pada kaca belakang dan tak jarang aku tertidur didalam angkot. Saat didalam mobil semua aroma bercampur menjadi satu, misalkan saja dalam satu mobil itu ada orang tua yang biasanya memakai minyak wangi dengan aroma khas kolotnya, ada juga perempuan yang memakai parfumnya yang menyengat, ada juga murid sekolah yang parfumnya sudah aneh-aneh, ditambah dengan bau dari knalpot mobil yang menambah pesta aroma yang membuat mual bagiku yang sering mabuk perjalanan kalau sudah mencium kesemuanya itu. Maka dari itu posisi dekat pintu adalah posisi yang sangat favorit bagiku, bahkan tak jarang pula aku berdiri diambang pintu angkot saat ada penumpang yang dipaksa masuk oleh si supir, namun sekali lagi kondisi itu malah yang paling kunanti saat naik angkot. Karena jika hingga diakhir trayek aku masih saja berdiri diambang pintu angkot, si supir angkot biasanya akan membebaskan biaya dan menggratiskan ongkos jalanku.

Tak terasa aku sudah sampai di pusat kota, begitu mobil berhenti aku langsung menuju alun-alun kota karena sudah janjian dengan teman sekolahku untuk bertemu disana. Si Badud tak banyak bersuara dan tampak menikmati perjalanan ini, semoga saja ini menjadi perjalanan yang menyenangkan baginya walau dia tak bisa melihat keramaian kota ini yang begitu hidup di siang hari. Alun-alun kota sangat ramai bila dihari libur apalagi disaat libur panjang sekolah seperti sekarang, begitu banyak tawa dan canda yang lahir disini meskipun tak memiliki banyak wahana seperti halnya tempat wisata lainnya. Namun seperti taman pada umumnya yang ditanami banyak pohon yang cukup rindang nan sejuk dan juga banyaknya yang berjualan aneka makanan dan cindera mata cukup membuat tempat ini memiliki daya tarik tersendiri, dengan beberapa ikon kota yang baru saja dibangun menambah eksotisme tersendiri dari alun-alun ini. Dibeberapa sudut kota terdapat patung-patung yang bertemakan prajurit dan alutsista saat zaman peperangan dulu, dan banyak juga relief-relief yang menggambarkan perjuangan para pahlawan zaman dulu dalam mengusir penjajah di negri ini. Dan masih banyak bangunan yang dibangun saat zaman dulu dan dipertahankan bentuk bangunannya sebagimana bangunan itu pertama berdiri, dan beberapa bangunan digunakan sebagai kantor pemerintahan dan hanya diperbaharui dari warna cat nya yang seolah masih terlihat seperti baru. Namun ada juga bangunan yang dibiarkan tidak terawat dan terkesan seperti rumah angker, lengkap dengan tanaman liar berupa paku-pakuan yang menjalar dipagar-pagar besi yang sudah berkarat.

Karena kota dijadikan sebagai basis militer sejak zaman perang hingga sekarang, disini juga banyak berdiri pusat pelatihan bagi prajurit, maka dari itu tidak heran kalau kota ini memiliki salah satu julukan kota tentara. Dan hari ini aku berencana menemui teman sekolahku, Awan. Seperti halnya para pedagang disini, akupun berencana untuk menjajakan aksesoris buatanku yang sudah kubuat dirumah. Temanku ini akan membantuku menjual aksesoris ini, dia beralasan kalau bosan diam dirumah saat sedang libur. Makannya dia ingin ikut merasakan berdagang seperti yang biasa kulakukan saat hari libur, akupun tidak punya alsan untuk menolak bantuannya itu. Mungkin dengan adanya dia akan membuat daganganku cepat laku dan tambah semangat saat berjualan nanti, meskipun yang kujual hanyalah aksesoris tradisional berupa ukiran kayu dan alat musik tradisional. Dengan membuat cindera mata ini aku bisa menambah penghasilan dan membuatku bisa bertahan hidup dalam kesendirian, karena bagaimanapun aku harus bisa bertahan dan menjadi sesuatu hingga meraih mimpiku suatu saat nanti. Hingga apapun yang bisa menghasilkan uang akan kulakukan selama hal itu halal dan berupa kebaikan, yang pasti tidak menimbulkan kerugian bagi pihak manapun.

"Oy... Yan, sebelah sini...!" terdengar teriakan si Awan namun belum kutemukan dari mana suaranya berasal, hingga akhirnya aku menemukan dia sedang memakan suatu cemilan.
"Lama sekali kau, jadi laper kan, yaudah jajan duluan. Mau?" si Awan mengeluh dengan kedatanganku yang sedikit telat, padahal baru saja lima menit aku telat dari jam yang dijanjikan, tapi dari caranya bicara seolah aku sudah telat berjam-jam.
"Kalem, baru juga bentar." aku mengeluarkan isi ranselku yang akan dijual, ada aksesoris berupa gantungan kunci, patung ukiran kayu, dan juga alat musik tradisional, aku memberikan sebagian padanya dan menjelaskan harganya.
"Ini yang kecil gocéng, yang sedang ceban, yang gedé gocap, nah kalo suling tiga puluh, karinding nya lima belas aja." jelasku pada si Awan.
"Oke.. Oke... gitu aja kan. Langsung keliling aja yah." jawabnya yang seperti mengerti. Semoga saja memang tidak akan menimbulkan masalah nantinya.
"Oke kalau gitu mangat.." ucapku pada si Awan.

Semoga saja daganganku bisa laku hari ini, karena aku membutuhkan uang itu untuk bisa membeli beberapa perlengkapan lainnya. Meskipun minat orang terhadap kerajinan tradisional sudah menurun, tetapi ada saja yang memang masih menghargai kerajinan tradisional ini dan membelinya untuk dikoleksi ataupun diberikan kepada keluarganya. Selain untuk melestarikan kebudayaan dan mendapatkan penghasilan, ini juga kulakukan karena hobiku disaat waktu lenggang. Dan hari ini aku sangat semangat menjajakan daganganku karena ditemani sahabatku dan teman baruku, si Awan dan si Badud. Sambil berkeliling aku memainkan suling tradisional dari bambu ini untuk mempromosikan dan menarik perhatian para pengunjung yang berkumpul dialun-alun, tak sedikit yang menganggapku sedang mengamen dan melemparkan uang koin padaku. Saat mendapat perlakuan itu spontan membuatku menaruh topi agar koin-koin itu semakin banyak bersarang ditopiku, lumayan untuk menambah-nambah pikirku. Seperti menggelar konser mini aku memainkan suling dan diselingi dengan lantunan dari karinding yang bisa membuat bulu kuduk merinding, dan saat itulah pemeran utama dari panggung jalanan menghampiriku, Kang Budi yang ahli memainkan ukulele ikut bergabung kedalam konser miniku dan tanpa ragu kami berduet memainkan instrumen lagu yang penuh harmoni. Dan hal itu sontak membuat semakin banyak yang tertarik dengan pertunjukan kami, para pengunjung pun kini tak ragu melempar lembaran uang kertas, dan jumlahnya pun cukup besar. Melihat uang yang sudah terkumpul lumayan banyak itu membuat kami ingin memainkan satu lagu lagi, meskipun hanya instrumen tanpa vokal tapi pengunjung terlihat sangat menikmati.

Begitu lagu selesai topiku sudah terisi penuh, dan para pengunjung satu persatu membubarkan diri dan ada juga yang menghampiriku untuk membeli dagangan ku, sepertinya cara promosi ku berhasil. Mungkin mereka juga tertarik untuk memainkan alat musik ini dirumah mereka masing-masing. Dan itu juga adalah salah satu misi ku untuk melestarikan tradisi yang ada dikota ini sejak dulu, setidaknya mereka masih menghargai tradisi sendiri ditengah maraknya budaya-budaya luar masuk yang terlihat lebih atraktif, padahal budaya sendiri tak kalah eksotis dan bahkan lebih bervariasi. "Kang Budi, apa kabar?" aku menanyakan kabar Kang Budi karena kami memang jarang bertemu, mungkin hanya dua kali dalam sebulan. "Kabar baik yan, gimana kabarmu sendiri?" dia menanyakan balik keadaanku. " Kabarku juga baik kang, oh iya ini kita bagi yang barusan."Aku ingin membagi hasil dari konser miniku dengannya, "Gak usah yan, ambil aja, aku mah kalem aja. Buat jajan sama temenmu yang disana." Kang Budi bersikeras menolak uang yang kami hasilkan tadi, meskipun aku memaksa tapi dia tetap tidak ingin menerimanya. "Yaudah atuh kang, makasih banyak yah." Kang Budi tidak berkata apa-apa lagi dan pergi dengan senyuman, kemudian kembali memainkan ukulelenya tapi kini sambil bernyanyi. Kang Budi merupakan musisi jalanan yang sudah ramai dikenal disini, suara nyanyiannya pun tak kalah merdu dengan petikan ukulelenya.

Matahari sudah berada dititik tertingginya, aku memutuskan untuk istirahat makan siang dan langsung mencari si Awan yang kini teriakannya sudah tak terdengar, padahal dari tadi aku masih bisa mendengar teriakannya yang cukup lantang dalam menjajakan daganganku. Mungkin dia sudah kelelahan karena baru pertama kali dia melakukan hal yang seperti ini, hingga akhirnya aku menemukannya ditengah kerumunan yang ternyata dia sedang melakukan tawar menawar dengan banyak pembeli. Tak kusangka ternyata dia memiliki kemampuan dalam berbisnis karena yang kulihat dia bisa meyakinkan para pembeli hingga akhirnya banyak yang membeli kerajinan itu, dan dari yang kulihat dagangan yang kuberikan padanya sudah hampir habis terjual. Sampai pembeli terakhir memberikan uang pada si Awan dia tampak kelelahan namun tersirat kepuasan diwajahnya, diapun melihat padaku dan tertawa begitu saja, dasar aneh. Aku mengajaknya untuk makan siang, dan dengan semangat diapun bangkit dari duduknya dan berjalan didepanku seolah berkata dia yang menentukan menu makan siang hari ini. melihat hasil kerjanya akupun tak bisa menolak keinginanya itu, karena terlihat dialah yang paling berusaha keras hari ini. Melihat daganganku sudah hampir habis saja sudah membuatku bahagia, karena itulah aku juga ingin membalas bantuannya hari ini dengan pantas.

Gadis didalam mimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang