Nyawa

226 23 6
                                    

"Makasih vin." Ify menatap Alvin yang berjalan di sampingnya. Tapi pagi Alvin menjemputnya untuk kembali ke kampus, menjalankan tugas sebagai anak seumuran mereka.

"Gw denger dari Abang, lo terpaksa jadi walinya Rio?" Tanya Alvin tanpa basa-basi.

Ify mengangguk, ia memperhatikan langkah kakinya, koridor rumah sakit cukup ramai hari ini dan entah mengapa Alvin bersedia masuk ke dalam tempat yang tidak pernah ingin ia kunjungi.

"Jangan-jangan dia jodoh lo lagi?" Ify mendadak berhenti, bisa-bisanya pertanyaan seperti itu muncul dari mulut lelaki itu.

"Rumah sakit nih jangan teriak." Imbuh Alvin ketika menyadari keadaan. Ify tidak bersuara, ia segera menjambak rambut Alvin tanpa ampun.

"Alvin, Ify." Panggilan itu serentak membuat Alvin dan Ify menjaga sikapnya.

"Om.." sapa Alvin balik.

"Gw ke ruangan." Tutur Ify tanpa mempedulikan lelaki yang menyapa mereka.

"Heh bocah, bokap lo ini." Titah Alvin tak dihiraukan, melihat kondisi yang mendadak mencekam Alvin menciut. Teman wanitanya itu memang tidak waras.

"Biarin, belom waktunya Ify mau maafin om." Tutur lelaki itu dengan suara yang penuh dengan wibawa.

"Udah makan belum? Temenin om yok." Alvin mengangguk setuju, ia tidak peduli apa yang terjadi dengan Ify dan Ayahnya. Yang ia tau, selama ia masih hidup. Menjaga Ify adalah tugasnya.

- - -

Sorot mata lelaki itu lebih dari teduh, redup seolah lelah untuk hidup. Baju rumah sakit dan rambut yang berantakan, wajah sembab dan segala kekacauan di kamar ini benar-benar berantakan. Pandangannya lurus menembus jendela entah di mana pikiran lelaki itu saat ini.

Melihat keadaan itu Ify mendengus, ia menemukan manusia hidup yang sekarat, bukan karena luka tusukan. Namun mentalnya yang tengah terguncang. Gadis itu membiarkan saja, memilih membenahi kekacauan yang ada. Menanyakan kabar hanya akan membuang-buang waktunya.

Butuh waktu 15 menit untuk menyelesaikan semua kekacauan yang ada, jika saja ini rumah sakit bukan milik orang tuanya. Mungkin Ify tidak akan bisa pasrah melihat serpihan vas dan gelas yang berserakan dengan darah yang berceceran di lantai kamar ini.

Ify mendekati Rio, lelaki itu sama sekali tidak merespon, aura sedih yang menyayat kembali menyapa Ify, seperti tadi malam. Gadis itu meraih tangan Rio, membersihkan sisa kaca dan luka yang ada di sana, bersyukur luka-luka itu tidak dalam.

"Belum makan?" Tanya Ify mencoba memecah keheningan. Namun apa yang ia harapkan, tentu saja tidak dikabulkan.

Lelaki itu sama sekali tidak merespon entah apa yang ada dipikirannya. Yang ify heran, apakah lelaki itu tidak canggung dengan keadaan mereka saat ini.

Gadis itu berdiri, memilih keluar sesaat, doanya kali ini bukan supaya lelaki itu meresponnya, tapi semoga lelaki itu tidak membuat kamar inapnya berantakan lagi.

Gadis itu mendatangi kafetaria rumah sakit, memesan makanan hangat yang kiranya bisa ia dan Rio makan bersama. Tidak mengenal Rio secara dalam tidak membuat Ify menutup rasa pedulinya pada Rio, semalam Septian sempat mengabarinya, bahwa Rio memang sebatang kara di dunia ini.

Sorot mata gadis itu menangkap kedekatan Alvin dengan Ayahnya, namun hatinya tidak tergerak sama sekali untuk mendekati mereka. Lukanya masih belum kering, gadis itu siap memaafkan ayahnya, namun tidak sekarang.

Selama perjalanan kembali menuju kamar, wajah Rio benar-benar terngiang dibenak Ify. Sorot mata pilu dan ke kosongan yang tergambar jelas. Beban apa yang sebenarnya membuat lelaki itu pilu.

"Kak, makan dulu yuk." Tutur Ify dengan nada yang sangat halus.

Lelaki itu merespon, ia menoleh dan Ify ingin bersorak melihat kejadian itu. Ia mempercepat langkahnya. Momen berharga pikirnya, sebelum lelaki itu masuk ke dalam zonanya lagi.

"Pelan-pelan aja, biar gw suapin." Perlahan Ify mulai merawat Rio dengan tulus, awalnya lelaki itu menolak untuk makan namun Ify benar-benar memperlihatkan kepeduliannya.

Sekelebat ingatan semalam menghampiri Rio, menyadarkan siapa gadis di hadapannya ini. Gilanya lagi ingatan itu tidak berhenti sampai di sana, luka-luka yang sudah dibubuhi obat itu mendadak nyeri, Rio menangis untuk kesekian kalinya.

Ify takjup, lelaki tampan itu benar-benar menangis di hadapannya, tidak mempedulikan gengsi dan segala bentuk rasa jumawa seorang manusia. Ify perlahan memeluk lelaki itu, membiarkan ia menangis di pelukannya. Sampai lelaki itu lelah dan kembali tertidur pulas.

- - -

"Adiknya baru meninggal beberapa hari yang lalu, Dari info yang ada Mamanya meninggal pas adek nya baru lahir, papanya meninggal 3 hari setelah mamanya meninggal, beliau kecelakaan." Alvin dan Ify seolah lupa cara bernafas. Kehidupan lelaki itu terlalu menyedihkan.

"rumah dan hartanya?" Alvin dengan ragu menanyakan hal itu, ia tidak berani menanyakan kehidupan Rio terlalu jauh.

"Nggak ada harta yang tersisa kecuali apartment kecil atas nama adik kandung Rio dan itu satu-satunya yang tersisa dari keluarga mereka." Ify memijat kepalanya, rasa ngilu disebelah kepalanya mendadak membuat ia ingin muntah.

"Rio sempet ikut bisnis yang cukup menjanjikan, dia menang tender di hari kematian adiknya." Alvin ternganga, ia tahu cerita apa selanjutnya yang akan dituturkan oleh Septian.

"Seminggu setelah adiknya meninggal, Rio yang baru pulang dari rumah duka diserang."

"Ancaman pembunuhan?" Tanya Ify memotong penjelasan.

"Bukan sekadar ancaman, tapi luka tusukan itu bukti nyata kalau dia emang diincer buat dibunuh."

"Cukup." Cecar Ify dalam waktu singkat. Ia tidak ingin memandang Rio dengan rasa iba, lelaki itu tidak membutuhkan rasa kasian dari mereka.

"Kasusnya mau diusut bang?" Septian mengangguk.

"Under cover"

"HAH?" mereka serempak menoleh sekeliling, takut-takut ada yang mendengar pembicaraan mereka.

"Kalian mau ikut sama gw? Gw mau ke apartmentnya Rio buat cari bukti lain."

"Mau." Tutur Alvin dan Ify bersamaan.

"Gw bakal nyuruh Gabriel buat jagain Rio. Kita ga boleh ninggal Rio gitu aja." Ify dan Alvin mengangguk kompak.

Mereka bertiga berdiri dari tempat duduk masing-masing untuk menjalankan peran mereka saat ini. Ify mendatangi dan mengecek keadaan Rio, Alvin melobby pegawai resepsionis dan Septian menemui Ayah Ify. Misi mereka bukan misi main-main.

- - -

Ify terkesiap melihat Gabriel yang sudah tegak berdiri di pintu luar rawat inap Rio. Ia mendengus sebal dengan sifat kaku lelaki itu.

"Lo, jaga Rio mending dari dalem deh, kunci pintunya dari pada bediri di luar kayak ngelindungin orang penting." Tutur Ify sekenanya. Ia memang sudah akrab dengan teman-teman Septian. Mereka sering menghabiskan waktu dengan minum bersama.

"Ide bagus."

"Jagain dia baik-baik. Ajak ngobrol, kalau lo beruntung. Dia bakal mau ngomong. Kalau lo apes ya udah diem bae lu selama gw ga ada."

Gabriel mendengus, wajah cantik gadis itu tidak secantik sifatnya, pemarah dan menyebalkan.

"Dia siapa sih?" Tanya Ify yang masih belum menangkap jelas siapa Rio sesungguhnya.

"Kenapa gw?" Imbuhnya lagi.

"Jaga diri baik-baik selama lo ikut Septian, lo gak bisa sembarangan dalam urusan kasus ini, makanya orang-orang yang nanganin kasus ini dari kemarin orang-orang yang beneran lo kenalkan?" Ify baru menyadari ucapan Gabriel, lelaki di hadapannya itu benar-benar di kelilingi oleh penjagaan kelas A.

Awalnya Ify berpikir karena ia memiliki andil dalam menelfon nomor darurat, namun harusnya tidak sekaku ini jika itu hanya karena ulahnya. Ini benar-benar penjagaan ketat. Yang biasanya di dapatkan oleh orang-orang elit global, tapi siapa Rio sebenarnya?

-Bersambung-

#NEWSTORY : MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang