Wanodiya

190 22 5
                                    

Malam telah larut dan Cakka semakin mempercepat laju mobil yang ia kendarai, telfon masuk yang beberapa waktu lalu mengganggu tidurnya, kini membuat lelaki itu berpacu dengan waktu.

Seseorang yang sudah lama sengaja tidak ia temui tengah mencari keributan, seseorang yang sangat ingin ia lupakan, kembali muncul kepermukaan.

Malam ini ia tidak tahu, kehidupan seperti apa yang akan ia jalani setelah bertemu orang yang menelfonnya malam ini. Berkali-kali panggilan masuk dari Agni pun ia abaikan, tujuannya saat ini adalah distro miliknya.

Cakka memarkirkan mobilnya sembarangan, bahkan lelaki itu membiarkan begitu saja mobilnya menyala di pinggir jalan, langkahnya memburu, sapaan dari bawahannya pun tidak ia hiraukan.

"Len, minta tolong parkirin mobil." Utusnya pada sekertaris.

Keadaan tokonya saat ini masih ramai oleh beberapa kariawan yang sibuk menyelesaikan tugas mendadak milik mereka. Kerusuhan beberapa saat lalu membuat mereka cukup diam dan tidak berani bertanya.

Cakka membuka lebar pintu kantornya, sebelum ia menghilang di balik pintu besar tersebut. Ia berlari menuju kamar pribadinya, nafasnya semakin tersengal melihat adik sematawayangnya tergeletak dengan darah yang masih belum mengering.

"Ray.." Cakka membenarkan posisi lelaki itu, lelaki yang masih mengenakan seragam sekolah itu benar-benar lemah saat ini.

"Kka.." Agni menerobos masuk, ia membantu Cakka memindahkan Ray dari posisi awalnya.

Lelaki itu menarik kerah Ray, raut wajahnya penuh kekecewaan dan benar saja, satu hantaman mendarat ke kaca yang ada di sampingnya. Wajah rupawan adiknya penuh lebam, bahkan pelipisnya bukan sekedar tergores.

"Kka udah." Agni menarik tangan Cakka, ia membopong Ray ketempat tidur sekuat yang ia mampu.

"Tenangin dulu diri kamu ya, biar aku yang urus ray." Cakka mengangguk, di saat seperti ini. Patuh kepada Agni adalah pilihan terbaik.

Cakka bersyukur dengan Ide gilanya, membangun 2 kamar tidur di dalam kantornya ternyata bukan ide yang buruk. Lelaki itu membiarkan kekasihnya mengurus adik kecilnya. Iya, sekalipun Ray sudah menginjak bangku terakhir pendidikan wajibnya. Cakka masih menganggap adiknya itu bocah ingusan.

Lelaki itu perlahan membuka laci samping tempat tidurnya, Agni selalu meletakkan barang-barang penting di sana termasuk alat P3K. Sedikit merutuki kebodohannya, kenapa ia malah memukulkan tangannya sendiri ke kaca yang tak berdosa itu.

Cakka berhenti, tidak jadi membersihkan lukanya. Ia membiarkan saja luka itu menghabiskan darahnya. Kurang lebih begitu isi otak cakka saat ini, lelaki itu berdiri menghampiri Agni yang telaten membubuhkan pertolongan pertama untuk Ray.

"Kamu udah telfon dokter?" Cakka menyadari hal itu. Ia langsung menyahut ponselnya, saat ini dokter yang bisa ia percayai hanya satu orang.

"Fy, lo bisa ke kantor gw gak?"

" Oke, gw tunggu." Imbuhnya.

Agni melihat tangan Cakka yang lelaki itu biarkan begitu saja, tanpa basa basi agni meraih tangan itu dan perlahan membersihkan lukanya.

"Kalau emosi kenapa harus nyakitin diri sendiri sih?" Tanya Agni menyindir.

Cakka tidak menjawab, ia tenggelam dalam diam. Agni memahami situasi yang ada, situasi yang sudah sangat lama Cakka waspadai. Sudah cukup lama Cakka menjauh dari keluarganya, ia tidak ingin berurusan dengan seluruh keluarganya. Bahkan namanya sudah tidak ada di daftar nama keluarga mereka.

"Tunggu ray bangun baru kamu mikir yang aneh-aneh." Ucap Agni kemudian.

Gadis itu menarik Cakka ke kamar pribadi lelaki itu, ritualnya saat ini adalah memberikan pelukan terbaik untuk Cakka, setidaknya hingga Ify datang.

#NEWSTORY : MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang