Mario

411 29 5
                                    

00:50

Sepuluh menit menuju tepat sejam pergantian hari, lelaki itu masih menyusuri trotowar jalan, terseok degan darah yang menetes tiap ia melangkah. Luka kali ini berasal dari lengannya. Sesekali lelaki itu meringis, dengan diam pun perlahan air matanya mengalir tanpa dapat ia bendung.

"Bajingan..." gumamnya lirih. Lelaki itu jatuh tersimpuh, kaki yang terkilir dan lengan yang masih mengeluarkan darah itu mengambil peran penting di dalam kelemahannya.

Tidak ada kalimat yang terucap, ia hanya meremas kaos yang ia kenakan, kaos berlumur darah itu ia cengkram kuat-kuat tepat di sudut yang ia anggap hati. Isakan pilu perlahan terdengar, lelaki itu kalah dengan gengsinya. Ini sudah sangat melelahkan untuknya.

Perlahan buliran air hujan ikut menyapanya, umpatan memilukan dapat terdengar hanya oleh dirinya. Bahkan di awal hari baru, ia masih harus berurusan dengan ketidak beruntungan.

Lelaki itu Mario, lelaki 25 Tahun yang hidup sebatang kara di tempat ini, hidupnya tengah hancur. Karena hal-hal dari masa lalu. Dua hari yang lalu, adiknya yang berumur 5 tahun harus meninggalkan dia untuk selamanya. Karena penyakit yang telat mereka ketahui.

Isak tangis lelaki itu semakin terdengar jelas, ia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi nanti, ia hanya lelah dan tak ingin mempedulikan gengsinya lagi, kehilangan harta terbesarnya, saudara kandung yang tinggal satu-satunya. Ingatan bahagia ketika ia bersama adiknya mengutuk lelaki itu semakin menderita. Masih ia ingat dengan jelas bagaimana gadis kecil itu tersenyum tulus dengan bibir pucatnya.

Perlahan Rio menyadari bulir hujan tidak lagi membasahi tubuhnya, bukan karena hujan telah usai, namun ada seseorang yang berdiri di hadapannya dengan payung yang melindungi mereka berdua. Seorang wanita, sepertinya lebih muda darinya.

Gadis itu tidak bersuara, ia mengangsurkan pagung miliknya ke tangan Rio, kemudian beranjak pergi. Kecipak suara air menyapa pendengaran mereka berdua, perpaduan derap langkah gadis itu yang menghantam genangan air di jalan. Sebuah keajaiban yang Rio terima di pagi buta ini.

- - -

"KLING-KLING" suara lonceng mini market itu mengejutkan sesosok lelaki bermata sipit yang berjuang bangun dari tidurnya. Ia lembur malam ini. Demi uang kuliah yang harus ia bayarkan dua minggu lagi.

"Tidur mulu." Lelaki yang setengah sadar itu kemudian tersenyum lucu. Alvin namanya.

"Nih makan. Ada-ada aja laper tapi mager."

"Ambilin sendok." Ucap lelaki itu manja.

"Iyaaaa..." gadis itu patuh dengan apa yang Alvin ucapkan.

"Fy, yang pedes yang mana?"

"NGGAK ADA, LU GA DOYAN PEDES JANGAN ANEH-ANEH." Teriak gadis itu dari dalam gudang.

"Mantap"

"Lu lagi pengen makan pedes?" Alvin menggeleng. Ia hanya memastikan saja sebenarnya. Tapi gadis itu berpikiran lagi.

"Lo bisa gak sih mikir positif bentar aja?" Ketus Alvin kepada gadis di depannya.

"Bawaannya begitu."

"Ck.. Ifyyyy, kalau makan ditiup dulu dodolll."

'BRUK' 'BRAK'

Alvin dan Ify sama-sama terkejut, sepeda yang mereka parkir dengan kokoh di depan toko itu ambruk beserta lelaki yang menabrak sepeda mereka.

"Mampus lu, apa lagi coba?" Tanya Alvin yang langsung tersadar, lelaki itu segera keluar memastikan keadaan. Ify? Gadis itu lebih memilih melanjutkan makannya. Terlalu lapar untuk mempedulikan orang lain.

Ify memandang ke luar jendela, Alvin yang perlahan basah kuyup karena hujan mengguyurnya. Lelaki itu kerepotan memisahkan sepeda mereka, tapi gadis itu tau, Alvin akan mementingkan seseorang yang pingsan di tengah hujan deras masam hari ini.

"AMBILIN BARANG GW, SEMUA."

Ify mendengus, jadwal makan larut malamnya terganggu. Menyebalkan. Alvin segera membopong lelaki yang pingsan itu ke dalam gudang, ia tidak peduli jika ia harus berurusan dengan bosnya nanti. Namun lelaki yang ia bopong itu sudah terlalu lemas untuk tidak di tolong.

"P3k" ucap Alvin singkat.

Ify memberikan P3K yang Alvin minta, setelah itu mengeringkan rambut lelaki yang sudah menemaninya sejak kecil itu. Ia tidak ingin sahabatnya sakit karena orang lain.

"Fy..." Alvin tidak melanjutkan kalimatnya, ia terkejut bukan main ketika melihat luka tusukan yang cukup dalam di pinggang lelaki itu.

"Telfon ambulance." Titah Ify, kini gilirannya memimpin. Alvin segera menjauh, gadis itu menekan luka yang masih mengeluarkan darah segar. Benar-benar dalam. Namun ini bukan bagian vital menurutnya.

"Vin, bersihin luka ringan." Alvin mengangguk, butuh waktu beberapa saat untuk ambulance sampai di tempat mereka saat ini.

Alvin dan Ify sama-sama khitmat dengan tugas mereka masing-masing, melupakan rasa lapar mereka dan mengurus seseorang yang tidak mereka kenal dengan tulus.

"Lo yang anter ke RS." Ify mendengus, namun ia tidak bisa membantah titah itu.

'KLING-KLING'

"Fy, vin. Kenapa?" Septian, wali mereka berdua benar-benar terkejut mendapatkan panggilan darurat dari tempat kedua adiknya bekerja.

"Bang.." Alvin berdiri, membuat Septian dapat melihat keadaan yang ada.

"Siapa dia?" Ify dan Alvin tidak menjawab. Karena mereka tidak tahu siapa lelaki itu sebenarnya.

"Langsung bawa kak." Ucap Ify kemudian.

Beberapa rekan Septian langsung bergerak dengan cekatan. Mereka bersyukur tidak perlu melakukan pertolongan pertama. Itu akan mempersingkat waktu mereka saat ini.

"Bang, Ify belum makan." Ucap Alvin begitu orang-orang tersebut meninggalkan gudang.

Septian mengangguk paham.

"Lanjutin makannya. Jemput ify besok pagi." Alvin mengangguk. Ia menghembuskan nafas lega. Pertolongan pertama tadi berhasil memangkas waktu. Namun ia tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.

Lelaki itu tidak lagi berselera makan, ia memilih kembali ke luar toko, memperhatikan dua sepeda milihnya dan ify, sampai sebuah benda yang ia kenali dengan baik mencuri perhatiannya.

"Darah." Ucap lelaki itu ketika mengambil payung milik Ify yang tidak pernah lepas dari gadis itu. Payung yang tadi gadis itu gunakan untuk membeli makan.

- - -

"Lukanya cukup dalam, untungnya badannya dipenuhi dengan otot. Jadi tidak sampai menyentuh organ vital." Ify mengangguk. Ia tidak butuh penjelasan, dengan menekan luka tadi Ify sudah sadar lelaki itu hanya terkejut dan kelelahan.

"Kamu mau nungguin?" Tanya dokter itu kemudian.

"Hmm.. sebentar." Ucap gadis itu tanpa menatap wajah dokter di hadapannya.

"Kamu kapan mau pulang?" Ify berdecih. Lelaki di hadapannya itu tidak menunjukkan emosi sama sekali.

"Nanti." Tutur ify dengan singkat.

Menyadari anaknya tidak ingin melanjutkan pembicaraan mereka, dokter yang menangani lelaki itu memilih untuk pergi. Ify membuka dompet lelaki yang terbaring tak berdaya tersebut.

"Mario." Gumamnya, membaca kartu identitas yang tertera disana.

"Semalem gw kira lo cuman patah hati. Bukan separah inI." Gumam ify dengan iba.

"Mario.." gumamnya lagi

-Bersambung-

#NEWSTORY : MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang