Pulang

89 16 8
                                    

Rio membuka pintu kamarnya, langkahnya terhenti ketika mendapati Alvin dan Gabriel tertidur di ruang tengah. Lelaki itu mencoba mendekati mereka berdua, tatapan sedih dari kedua bola matanya kembali terlihat dengan nyata.

Tanpa ragu ia menyelimuti dua teman barunya, sedikit resah melihat Alvin yang duduk tertidur di lantai, sedikir beruntung ada karpet tebal yang menghalau dinginnya lantai malam ini.

Lelaki itu tersentak ketika ia mendapati Ify yang baru saja masuk ke dalam apartmen ini, mereka sama-sama terdiam, tidak tahu apa lagi yang harus mereka lakukan.

"Baru pulang?" Tanya Rio singkat, Ify mengangguk. Ia tersenyum canggung.

"Dari mana?" Imbuh Rio kemudian.

"Dari tempat Cakka, eh io. Gw mau ngobrol, lo keburu tidur nggak?" Ify pasrah ketika ia menengok jam di dinding yang sudah menunjukan pukul setengah tiga pagi.

"Gw ambil air anget dulu ya, mau ngobrol di mana?"

"Lantai 2 aja ya." Rio mengangguk, ia bergegas mengambil minum dan menyusul Ify kemudian.

- - -

Septian masih sibuk dengan berkas-berkas laporan tentang kasus yang tengah ia tangani, banyak sekali kasus baru yang harus masuk ke divisinya. Sedikit merutuki kesanggupannya membantu kasus Rio dengan cuma-cuma.

Mata lelah lelaki itu sudah tidak bisa disamarkan, ia belum mendapatkan waktu tidur dalam kurun waktu dua hari ini. Melihat jam ditangannya membuat lelaki itu memutuskan menghentikan semua aktifitasnya, ia merindukan seseorang yang selalu menghantui diamnya. Ia harus bertemu dengan orang itu secepatnya.

Septia meninggalkan tempat kerjanya, jam kerjanya sudah berakhir beberapa jam yang lalu. Ia bergegas menuju mobilnya, ia ingin beristirahat malam ini.

- - -

Cakka mengelus puncak kepala Agni yang tertidur di pelukannya. Ray sudah sadar namun ia sudah kembali tertidur, kepanikan yang dialami Agni beberapa saat yang lalu menyadarkan Cakka betapa gadisnya itu tidak hanya mencintai dirinya, namun juga keluarganya.

"Cakka, Fyyy, RAY... RAYYY...." Jerit gadis itu, bayangan Agni yang menjerit seperti itu masih teringat dengan baik di benak Cakka saat ini.

Beberapa saat yang lalu, Ray membuka matanya. Sejenak sebelum lelaki itu kesusahan bernafas, Cakka hanya pasrah melihat adiknya itu ditangani oleh Ify, ia tidak bisa meninggalkan Agni yang menangis ketakutan.

"Ray dengerin gw, gw di sini. Lo gak sendiri, Ray." Cakka melihat Ify yang lain, Ify dari masa lalu yang benar-benar telaten mengurus pasiennya.

"Dengerin gw, lo nggak papa, lo nggak sendiri. Ada gw, ada Cakka, ada Agni." Ray tidak merespon, ia benar-benar kebingungan untuk menarik nafas dengan benar.

Sesegera mungkin Ify merengkuh lelaki itu, ia bersyukur Ray tidak memakai kerah yang mencekik lehernya, Ify perlahan memandu dengan suara lembutnya. Mengontrol semua kepanikan yang ada di ruangan ini.

Melihat kondisi yang tidak kondusif seperti itu Cakka menarik Agni kembali ke kamarnya, ia merengkuh Agni dan menenangkan gadis itu dengan caranya sendiri.

Ray perlahan membaik, Ify menyadari hal itu ketika keadaan perlahan menjadi tenang. Ray begitu lemah di dalam pelukannya.

"Makasih kak." Ucap lelaki itu lemah.

"Nggak usah mikir yang aneh-aneh, lo kena serangan panik." Tutur Ify sembari melepaskan pelukannya.

"Lu kenapa?" Tanya gadis itu dengan lembut.

Ray menggeleng, Ify tahu. Batasnya hanya sampai sini, ia mengangguk meyakinkan Ray bahwa dirinya mengerti.

Semua kejadian itu terekam dengan jelas dibayangan Cakka, betapa ia beruntung mendapatkan orang-orang yang tulus mencintainya bahkan adik kesayangannya itu.

#NEWSTORY : MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang