Renjana

168 23 4
                                    


Ify lagi-lagi mencuri pandang ke arah lelaki yang ia tolong di bawah guyuran hujan beberapa saat yang lalu. Wajahnya mulai terlihat cerah. Ify sadar lelaki itu sudah mulai menata lagi hatinya yang tengah rapuh.

"Malem ini gw nggak mau ngasih koordinasi tentang gerakan kita. Untuk beberapa hari kedepan kita semua bakal ke kurung di sini."

"Lah bisa gitu?" Septian memandang Alvin heran.

"Jangan bilang lo belom izin oma?" Alvin menepuk jidatnya cukup kencang.

"GW BELOM IZIN OMAAAAA, MAMPUS GW GIMANA DONG?" Melihat Alvin panik, Ify melemparinya bantal kursi yang ada di dekatnya.

"Lo bisa keluar kapan aja bego. Kecuali Septian sama Gabriel."

"BAHASA LO SALAH BANG." Cakka menengok dari arah dapur. Keributan di ruang tamu bisa sampai ketempatnya berarti ada sesuatu yang dahsyat tengah terjadi.

"Bro.." Gabriel memotong obrolan tersebut, ia menyerahkan ponselnya agar Septian dapat melihat dengan benar.

Raut muka Septian mendadak berubah. Sebuah tindakan ilegal telah dilakukan seseorang sesuai dan tepat dengan tak-tiknya.

"Fy, minta papa lo jaga-jaga. Kondisinya lebih cepet dari yang kita perkirain."

"Io, gw butuh informasi seputar kematian orang tua dan adik lo. Malam hari ini kita gak jadi bisa santai-santai." Tutur lelaki itu tegas.

"Cakka, Gabriel. Lo bikin tak-tik dari web itu tadi. Pancing IP Address mereka."

"Alvin, gw butuh bantuan lo buat cari tau keberadaan seseorang. Gw udah kirim datanya ke lo. Lo bisa ninggalin tempat ini atau kerja remote dari sini." Alvin paham, ia langsung mencari informasi yang telah Septian kirim.

"Ify hubungin bokap lo sekarang."

"Agni gw minta tolong cari tahu ranting dari masalah ini, dan gw minta tolong lo cari tau siapa aja nama-nama besar yang jadi backingan kasus ini."

"Lo gak mau jelasin ada apa gitu ian?" Tanya Agni heran sendiri.

"Ah sorry, ada seseorang yang cari informasi seputar pemindahan Rio ke rumah sakit di SG, IP-nya kelacak masih di negara ini. Mungkin kedepannya kita butuh bantuan anak-anak di SG buat jaga kamar atas nama Rio." Agni mengangguk paham.

"Gw langsung hubungin anak-anak."

"Gw boleh nanya sesuatu atau mungkin ada yang bisa kasih tau jawabannya ke gw?"

Mereka semua diam, sedikit heran dengan cara bicara Rio yang sama sekali tidak terbaca emosinya.

"Kenapa?"

"Harga gw sekarang berapa."

Semua orang di sana mendadak diam. Mereka semua paham berapa harga nyawa rio saat ini, nyawanya setinggi langit. Karena informasi yang ia miliki mampu membuat negara ini mengalami kehancuran.

"Setara Gol D. Roger. Bedanya lo Rupiah aja bukan belly." Pungkas Cakka sekenanya.

"One peace." Bisik Agni yang paham bahwa Ify tidak mengenal nama tersebut.

"Masih di Milyar kok, tenang aja."

"VIN!!!" Ify memukul keras lengan Alvin, kadang temannya itu memang tidak bisa menjaga ucapannya dengan benar.

"Udah diem, sekarang. Kerjain semua yang gw perintah. Io, serahin semuanya ke kita. Lo istirahat dulu aja. Setelah luka lo bener-bener sembuh, baru lo boleh gabung."

"Gw mau cerita sekarang. Tapi nggak di sini dan gw gak bisa cerita sama lo." Septian melongo, ia baru sadar Rio terlalu banyak meminta di situasi seperti ini.

"Yaudah, cerita sama Ify aja lo." Tutur Septian kemudian.

"Biar gw yang ke bokap lo. Gw cabut." Tutur Septian sembari meraih jaket miliknya.

- - -

Rio dan Ify masih saja diam, ify ragu untuk membuka pembicaraan, mengingat Rio harus mengumpulkan seluruh kenangan buruknya.

"Ah.. gw bakal tulis, jadi lo boleh cerita sebebas mungkin. Gak gw rekam kok." Ucap Ify dengan nada canggungnya.

Rio mengangkat pandangannya, ify mendadak diam. Mata lelaki itu sudah merah, ify yakin tangis lelaki itu sudah hampir pecah.

"Desya luna" Ucap Rio kemudian diam

"Itu nama nyokap gw." Rio berhenti, cukup lama kali ini, ia belum sanggup untuk menceritakan masa sulitnya.

"Kalau belom sanggup bilang ya." Ify menarik tangan Rio, menggenggam tangan yang masih dibalut dengan luka yang mulai mengering.

"Adek lo siapa namanya? Gw kemarin pas ke apartmen lo sempet liat video yang keputer di sana."

"Rara." Jawab lelaki itu, perlahan isakan itu mulai terdengar. Rasa sakit di dalam hatinya mendadak menyeruak, luka diperutnya semakin perih saat ini.

Ify membiarkan Rio menangis, perlahan ia menggeser posisinya duduknya agar lebih dekat dengan Rio. Ify mengelus rambut lelaki itu perlahan, mencoba memberikan rasa aman dan nyaman jika ia menangis bersama Ify.

"It's oke io, nangis dulu sampe puas ya." di otak Rio tergambar jelas bagaimana masa lalunya yang bahagia saat ibunya mengandung Rara, bagaimana ayahnya selalu memberitahu agar ia menjaga adiknya kelak hingga tumbuh dewasa bersama.

Rasa berdosa dan segala bentuk lainnya membuat lelaki itu semakin kalut, ia tidak becus menjaga titipan orang tuanya.

"Nyokap gw meninggal setelah dia udah dipindahin ke ruang rawat. gw sama papa waktu itu nengok Rara, kita percaya karena nyokap ngelahirin di RS temennya papa." Rio diam, nafasnya berat. Rasa sakit itu benar-benar belum hilang.

"Nyokap gw bener-bener dinyatakan sehat pas selesai ngelahirin Rara, nggak ada pendarahan. Nggak ada kesalahan operasi dan lain-lain. Tapi tiba-tiba code blue di rumah sakit itu nyala. Code blue asthma." Ify tidak ingin menanggapi, ia hanya ingin mendengar semua yang Rio pendam.

"Nyokap gw nggak punya riwayat asthma, background keluarga kita nggak ada yang perokok dan nyokap gw meninggal setelah itu." Rio menyeka air matanya, perlahan ia mulai memukul dadanya yang benar-benar tidak tertahan.

"Keluarga kita cuman minta tes darah nyokap sesegera mungkin. Kita nggak mau ada autopsi dan hasilnya bersih. Entah gimana ceritanya. Nyokap divonis meninggal karena astma." Rio memandang Ify, gadis itu menunduk, tangan kirinya sibuk mengelus pundak Rio, tangan kanannya sibuk menulis kalimat-kalimat yang ia dengar.

Rio menghembuskan nafasnya berat, ia kembali menyadarkan dirinya di mana saat ini ia berada, bagaimana harusnya ia tidak mempercayai siapapun di sini. Cukup lama mereka berdua diam, membiasakan suasana di sana yang sedikit terasa kelam.

"Lo siapa sih?" Tanya Rio mendadak.

Ify menoleh, ia bingung dengan pertanyaan yang Rio lontarkan.

"Ify lah." Jawabnya bingung.

"Lo siapa?" Tanya Rio mengulang dengan nada yang berbeda.

"Ohhh maksud lo gw kerja apa kan? Gw penjaga mini market." Rio melengos

"Menurut lo gw mau cerita hal kaya gini ke penjaga toko?" Tanya Rio dengan nada sewotnya.

"Lah terus ini apaan kalau bukan cerita lo?" Ify mengayunkan bukunya dihadapan Rio.

"Lu kira ini buku kasbon tetangga toko? Ya iya sih. Cuman kan gak gitu." Ify bingung sendiri, kadang ia merasa bingung dengan dirinya sendiri yang lebih cepat berpikir dari pada berbicara.

"Lanjut gak nih?" Tanya Rio dengan nada ancaman

"Lanjut lah."

"Gw tanya dulu sebenernya lo siapa?"

"Gw..."

-BERSAMBUNG-

#NEWSTORY : MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang