Pelita

175 22 7
                                    

Ify tidak menjawab, ia meraih ID Card yang selalu ia bawa. Rio membaca sejenak sebelum kemudian menarik nafasnya perlahan.

"Udah buru cerita." Paksa Ify kemudian.

"Beberapa hari setelah nyokap gw meninggal! Bokap gw kecelakaan, tunggal dan ya, jelas pasti tersangkanya .."

"Bokap lo, dia dianggap lalai dalam mengemudi." Rio mengangguk. Memang cerita itu sudah cukup terkenal di lingkungan ini.

"Padahal kondisi mobil bokap gw baru kelar servis. Nggak mungkin banget kalau rem blong mendadak. Kondisi mobil 100% aman. Untuk sementara gw masih menerima kenyataan kalau bokap kurang tidur." Ify mengangguk paham, itu jawaban teraman saat ini.

"Setelah kematian bokap, hidup gw tentram beberapa saat. Lumayan lah 5 tahun terakhir gw bisa besarin Rara dengan damai, sampai suatu waktu ada berita korupsi dari masa itu muncul lagi ke permukaan, disinyalir bokap masih ninggalin info di rumah. Atau bahkan dititipin ke gw."

"Nyatanya?" Potong Ify.

Mereka berdua diam, Ify mencoba bersabar saat ini, paham bahwa Rio tidak akan dengan mudah memberikan ia jawaban.

"Gw sama sekali nggak tau soal kasus ini." Ify berhenti menulis, ia memandang Rio dengan heran.

"Terus Rara?" Pertanyaan itu yang berkecambuk di otak Ify saat ini, nyawa gadis kecil itu melayang karena uang para petinggi negara.

Rio tersenyum, ia hanya menarik nafas berat dan menghembuskannya perlahan.

- - -

"Semua data-data soal Rio bakal ke ungkap dalam beberapa waktu, saya tidak bisa bantu kalian lebih jauh lagi." Septian menegakkan posisi duduknya.

"Kasusnya terlalu rumit, bahkan banyak hal yang tertutup dengan rapat." Ucapnya.

"Setidaknya kalian harus benar-benar berlari jika ingin menyelesaikan tanpa sepengetahuan siapapun. Bukan masalah sepele, tapi kalian harus mengumpulkan semua bukti kasus korupsi itu sendiri."

"Saya udah minta bantuan anak-anak sih om, deretan nama koruptor dan segala macamnya kemungkinan akan terkumpul nanti malam." Lelaki tua itu mengangguk paham.

"Saya titip kepercayaan saya ke kamu, tolong jangan kecewakan saya. Sudah waktunya kita benar-benar keluar dari dunia politik kotor seperti ini." Septian mengangguk paham, ia paham lelaki tua itu sudah benar-benar muak dengan keadaan.

- - -

Sivia memandang Alvin dengan seksama, lelaki itu tertidur dengan pulas di meja kasir, ia heran mengapa Alvin sudah ada di toko ini.

"Kak, mau bayar nggak?" Tanya gadis kecil yang ada di samping Sivia.

"Permisi..." ucap Sivia sembari menyentuh pundak Alvin.

"Oh ehh vi, sorry." Alvin melihat jam dinding, pukul 11 malam dan lelaki itu terheran-heran mengapa Sivia ada di sini.

"Kok udah masuk kerja?" Tanya Sivia heran.

"Ini aja?" Tanya Alvin, gadis itu rupanya membeli beberapa makanan ringan beserta es krim yang sepertinya gadis kecil itu harapkan.

Sivia mengangguk, ia menyerahkan beberapa lembar uang yang ia butuhkan.

"Siapa?" Tanya Alvin singkat.

"Naya." Gadis kecil itu menoleh.

"Halo koh, aku naya.." ucap gadis itu dengan cerita.

"Udah boleh dimakan kan kak?" Sivia mengangguk, ia memberikan ice cream yang sudah ia bayar.

"Duduk disitu bentar ya, kakak masih ada perlu. Gadis kecil itu mengangguk, kemudian meninggalkan Sivia dengan Alvin di depan meja kasir.

"Lagi sibuk banget ya kak?" Sivia mengeluarkan sebuah buku catatan kemudian memberikannya kepada Alvin. Sebuah daftar yang harus Alvin kirimkan esok hari.

"Malem banget belanja?" Sivia mengangguk, ia memandang Naya dengan senyum lembutnya.

"Dia anak baru di panti, belum banyak hal yang bisa dia terima gitu aja, masih suka rewel, gak bisa ditinggal juga."

"Anak mana?" Sivia hanya mengangkat bahunya.

"Dia dateng tanpa identitas, nama, alamat. Semua hal itu dia gak tau."

"Amnesia?" Sivia menggeleng.

"Kita nggak tau." Imbuhnya, mereka berdua diam sejenak melihat gadis kecil itu menikmati ice cream yang sepertinya adalah kesukaannya.

"Boleh gw minta tolong?" Tanya sivia sembari menatap Alvin dengan lekat.

"Banyak hal janggal dari datangnya anak ini, dia penuh sama rasa takut, sebelum dia dipindah ke panti khusus anak, gw pengen tau siapa sebenernya anak ini."

- - -

"Kak." Agni menyerahkan kumpulan nama-nama yang ia temukan dibeberapa dokumen rahasia milik mereka.

Runtutan nama-nama, yang jelas dikenal oleh para politisi dan mafia kelas atas, tersusun rapi dengan laporan pajak penggelapan yang dicurigai milik mereka.

Akar utamanya adalah nama yang sangat lekat dengan pemimpin negara tersebut, salah satu mentri yang terkenal dengan kasusnya di masa lalu.

"Dan ini, daftar kasus yang dicurigai dengan nama mereka juga. Bedanya ini konflik internasional." Gabriel yang mendengar itu langsung memijat kepalanya yang mendadak terasa berat.

"Udahlah gw mundur, gw masih mau nikah udah." Ucap lelaki itu tapi masih tetap duduk di tempatnya.

"Konflik negara sendiri aja sampe kita berhasil udah luar biasa banget. Siapa coba yang bisa ngalahin mentri yang satu ini."

"Kita" jawab Cakka singkat.

"IP addressnya nyambung ke daerah pemerintahan, kayanya orang-orang yang cari keberadaan Rio emang orang penting semua."

"Kita gak bisa langsung melangkah kesana kemari, sampe ada yang tau pergerakan kita, bisa-bisa kita ilang. Bahkan gak pake ninggalin nama, lenyap aja." Imbuh Gabriel menanggapi Cakka.

"Penjualan pulau di ujung negara itu kasusnya dipegang sama bokapnya Rio, kayanya mereka nyari dokumen yang kemungkinan besar ada di rumah ataupun kantornya."

"Nggak mungkin kantor.''

"Apalagi rumah." Tutur mereka bersahutan.

"Semua keluarga Rio di kremasi, nggak mungkin kalau dokumennya ada di Kolumbarium, bahkan makan adiknya dia pun palsu." Mendengar ucapan Agni mereka diam, banyak hal janggal yang menyelimuti kasus ini.

"Lu ngerasa ada yang janggal gak sih iel?" Gabriel menggangguk, ia berpikir sejenak sebelum mengutarakan isi pikirannya. Kasus yang mereka hadapi bukan kasus pencurian antar desa.

"Bahkan dari posisi Rio, banyak banget kejanggalannya." Ucap Ify yang mendadak masuk ke dalam ruangan itu.

"Udah selesai?" Tanya agni sembari memperhatikan Ify yang memasang wajah lelah.

"Dia nggak terbuka banyak, dia masih nyembunyiin hal-hal yang menurut gw penting dan parahnya, dia gak tau soal berkas yang ditinggalin sama bokapnya."

"Gak mungkin." Ucap Cakka, Agni dan Gabriel bersamaan.

"Terlalu konyol sampe dia nggak tau semua hal itu, nyawa dia dipertaruhin, gak mungkin aja dia gak tau." Ify mengangguk setuju.

Belum ada seperempat jalan mereka menangani kasus ini, namun hal-hal janggal sudah banyak bermunculan, mereka tidak pernah tau apa yang akan terjadi kedepannya, tidak adalagi keyakinan yang tersisa, keraguanlah yang akahirnya memimpin mereka kali ini.

"Gw gak percaya sama Rio." Cakka mengucapkan hal itu dengan suara rendahnya, Ify dan Agni yang mengenal Cakka sudah cukup lama terheran mendapatkan reaksi yang seperti itu.

"Bisa aja malah Rio yang ngerencanain semua ini. Tanpa kita tahu apa tujuannya."

-Bersambung-

#NEWSTORY : MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang