Under cover

160 22 4
                                    

Ify menikmati sore hari ini  di balkon kamar Rio, lelaki yang tengah tertidur di kursi televisi itu dibiarkan begitu saja oleh Ify.

Ia mengingat kembali masa lalunya dengan keluarga utuhnya, sebelum ibunya meninggal dan sebelum ayahnya menikah lagi. Bagaimana kebahagiaan-kebahagiaan itu tercipta, bagaimana ayahnya harus memulai rumah sakitnya dari 0 setelah ibunya meninggal karena ayahnya terbukti tidak bersalah dalam korupsi pajak.

Bagaimana ibunya meninggal karena kecelakaan tunggal, bagaimana ayahnya merangkak untuk kembali melanjutkan hidup. Ify kembali menangis, luka masa lalunya kembali menyakiti dirinya. Ia benar-benar membiarkan emosinya meluap, mencurahkan rasa rindu kepada ibunya yang kini tengah ada di surga.

Sebuah tangan menyodorkan secangkir coklat hangat yang masih mengepulkan uapnya, Rio sudah bangun beberapa saat sejak isakan Ify mulai terdengar.

"Kenapa?" Tanyanya.

"Gw ikut." Rio heran, dia sedang tidak ingin pergi ke mana-mana.

"Gw mau lanjut ikut ngurus kasus lo. Biar gw tau, apa alasan nyokap gw kecelakaan." Rio terdiam. Ia memikirkan lagi ucapan Ify.

"Kita semua bakal gerak sama lo io." Gabriel muncul bersama Cakka dan Agni.

"Alvin juga. Tapi dia lagi jaga minimarket." Imbuh Cakka kemudian.

Agni mengangkat paper bag berisikan beberapa baju untuk mereka semua. Hasil karya Cakka yang merampok distronya sendiri.

"Gw gak bayar kalian."

"Kita juga gak minta dibayar, gw gak ngelakuin ini demi lo. Demi kejujuran aja sebenernya." Celetuk Agni dengan nada menyebalkan.

"Gw sama Septian mulai besok udah gak berurusan sama kepolisian. Gerakan kita bakal bahaya kalau gw sama Septian masih pake seragam polisi."

"Fy ini udah semua?" Ify bangkit, menghampiri Agni yang sedang merapikan beberapa barang milik mereka.

Cakka mendekati Rio, ia berdiri tepat di hadapan Rio. Memandang Rio dengan wajah ramahnya.

"Gw juga korban, tapi nggak separah lo." Tutur Cakka diakhiri senyum manisnya.

- - -

Alvin menyumpahi dirinya sendiri, ia sudah menghabiskan uang gajinya selama satu bulan sebagai penjaga toko untuk membeli semua keperluan perut mereka selama beberapa waktu kedepan.

Ia menghentikan mobilnya kesebuah panti asuhan dekat tempatnya kerja. Mereka selalu meminta pesan antar beberapa bahan makan, namun baru kali ini Alvin mengantar menggunakan mobil mewah miliknya.

Seorang gadis cantik seusianya menyambut dengan senyum lebarnya. Alvin mengumpat dalam hati ketika jantungnya berdebar lebih keras dari biasanya.

"Makasih ya Vin udah mau direpotin."

"Hehe.. santai aja, sekalian nganter mobil." Gadis itu tersenyum.

"Mau masuk dulu?" Alvin menggeleng, misinya kali ini harus segera ia selesaikan.

"Kapan-kapan aja gw mampir, ahh untuk beberapa hari kedepan gw sama Ify cuti kerja, peringatan nenek buyut." Sivia tertawa mendengar alasan Alvin yang tidak masuk akal.

Gadis itu adalah Sivia, seorang penjaga panti yang Alvin kenal, baru beberapa waktu Sivia mengabdi ditempat ini, namun karena usia mereka sepantaran Ify dan Alvin mudah akrab dengan gadis ramah ini.

"Gw duluan ya." Sivia tersenyum, melambaikan tangan tanda berpisah.

- - -

Reyhan menyempatkan mampir sejenak ke kamar Rio, memastikan Rio sudah bisa iya lepas. Semua orang di ruangan itu tentu saja merasa aneh dengan perhatian lelaki itu kepada Rio.

"Kita ngobrol di luar bentar." Ucap lelaki itu. Rio membuntutinya.

"Saya kira om gak bakal ngelepas saya." Tutur Rio sinis.

"Buat apa saya nahan kamu?" Rio berdecih menyepelekan.

"Om, saya tahu om siapa."

"Di saat seperti ini saya bangga kamu tetap berdiri dengan keangkuhan mu." Reyhand bersikap dingin. lebih dingin dan sinis dari saat pertama kali ia menanyakan kesadaran Rio.

"Jangan terlalu angkuh. Bisa-bisa kalian yang kalah. Saya tahu apa yang kamu cari dan saya tahu kamu tidak percaya saya." Imbuh lelaki itu.

"Tolong bersihkan semua nama yang sudah buruk. Pulihkan nama-nama mereka yang sudah mati. Dan, tolong jaga Ify." Ucap lelaki itu kemudian pergi meninggalkan Rio.

Rio benar-benar tidak paham bagaimana cara bereaksi saat ini, seseorang yang sudah mengacuhkannya sejak kematian ibunya itu meminta tolong kepadanya.

Rio memang mengenal Reyhand, namun mereka tidak memiliki hubungan lebih jauh dari itu. Rio tahu ada nama Reyhand di dalam kasus ini dan bagaimana lelaki itu bisa terbebas dari kasus ini. Ah tidak lelaki itu tidak sebebas seperti kehidupan awalnya. Sebelum kematian istri pertamanya.

"Kalian boleh meninggalkan kamar ini, pastikan semua aman dan tidak ada jejak. Saling jaga, saya paham kasus apa yang sedang kalian pegang, jika nanti ada suatu hal yang tidak diinginkan dan membutuhkan medis, silahkan hubungi saya. Saya permisi."

- - -

Rio mengeryik ketika lukanya terbentur tas besar yang dibawa Ify, gadis itu mati-matian mengangkat beberapa barang bawaan yang lebih berat dari pada dirinya, malam hari ini mereka akan menuju apartmen milik Cakka untuk pembagian sudah cukup jelas di tuturkan.

"Kalian yakin mau nyelidikin kasus ini?" Tanya Rio sembari mengekor rombongan di depannya.

"Jangan bawel, nanya mulu kek anak TK." Alvin benar-benar tidak dalam mood yang baik.

Mendengar jawaban seperti itu Rio memilih diam, ia tidak ingin membuang tenaganya hanya untuk berdebat.

"Gw tidur di kamar lo." Alvin mendahului langkah Cakka.

Septian mengembuskan nafasnya berat, melihat berapa banyak orang yang nyawanya harus ia jaga. Ia tidak memusingkan para lelaki yang ada di sana, namun Ify dan Agni cukup menjadi beban saat ini.

"Itu kamar lo." Ify menunjuk sebuah kamar untuk Rio, berharap lelaki itu nyaman menempatinnya.

"Thanks"

"Taruh barang kalian semua di kamar masing-masing ya, setelah itu kita kumpul buat sekedar sharing." Semua menyahut menyanggupi.

"Bang, gw mandi dulu ye. Mood gw biar mendingan." Septian mengangguk menyetujui permintaan Alvin.

- - -

"Royal suite, mount elizabeth, kritis." lelaki itu melempar sembarangan hasil pencariannya.

"Saya suruh kalian bunuh dia!! Bukan malah dibikin kritis dan jadi dirawat di rumah sakit super ketat kaya gini." Lelaki di hadapannya menciut.

Misi mereka beberapa saat yang lalu gagal, membunuh saksi kunci dari kasus yang mereka lakukan.

"Kalau kaya gini siapa yang mau nyusul ke singapore? Waktu kita nggak banyak, sebelum bukti-bukti makin terkumpul, anak itu harus mati."

"Lakukan segera, bagaimana pun caranya kalian harus kasih kabar baik buat saya."

- - -

Rio memandang langit-langit kamar ini, pikirannya terbang kemana-mana, mengingat tawa dan pelukan yang selalu adiknya berikan membuat ia kembali masuk ke rasa sedih teramat dalam.

Arraya velysa, gadis berumur 5 tahun yang bercita-cita menjadi pendamping hidupnya hingga ia menemukan wanita idamannya. Harus pergi di usia yang bahkan belum benar-benar genap 5 tahun.

"Io.." panggilan dari luar itu mengitrupsi kesedihannya, ada suara Septian yang memanggilnya.

"Masuk."

Septian segera membuka pintu, ia mengangsurkan sebuah ponsel yang sangat Rio kenal.

"Atasan gw minta lo simpen baik-baik ponsel lo."

"Bukannya ini harus jadi barang bukti?"

"Kasus lo nggak dilanjutin."

"Karena pemindahan gw ke singapur?" Septian menggeleng.

"Terus?"

-Bersambung-

#NEWSTORY : MARIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang