12

47 1 0
                                    

Jarak di dalam jarak yang dibuat,

sempurna sudah.

Rindu di dalam rindu yang berjarak,

sempurna sudah.

Temu di dalam mimpi,

yang nyatanya masih rindu

saat jarak ada dan nyata.

Sempurna sudah.

2 Juni 2018


Aku bertanya dalam hati, mengapa malam selalu menjadi saksi. Kala kesedihan meradang begitu hebatnya atau bahagia yang sedang ranum-ranumnya. Ia terdiam, hanya diam. Saat semuanya datang. Begitu cepat, hingga tak ada jeda untuk napas. Sepucuk harapan selalu kutanam, meski kecewa selalu menyambutku lebih awal. Memaksakan hati tak akan lebih baik, maka biar aku memahaminya sedikit demi sedikit.

Ada banyak hal yang aku pikirkan tentang kamu, aku, dan kita yang ditakdirkan bertemu. Seolah menyalahi aturan Tuhan yang telah dibuat. Mengapa kita harus mengenal dan menjadi dekat. Aku membohongi perasaanku, saat pertama kali melihatmu, lalu aku tak jatuh. Segala cara kubuat sebagai bentuk penolakan atas sebuah pengakuan. Kesalahan yang semakin fatal, ketika banyak hal yang kita bicarakan dan menjadi nyaman.

Diri bertanya-tanya, dapatkah aku mencintaimu tanpa bersembunyi? Ungkapkan segala rasa yang tak kamu ketahui? Meski segalanya akan berubah, meski mencintai sesulit ini, meski bahagia harus diredam sedemikian rupa agar tak terlihat berlebih. Lalu harap hanya jadi harap. Kamu terlanjur memberi kita jarak. Memandangmu kini buatku keliru. Tentang segala rasa yang buatku tak menentu.

Membencimu adalah kemustahilan yang nyata. Padahal tak ada yang perlu dibanggakan juga, dari semua rasa yang salah. Aku mengutuk diriku berkali-kali, perihal hati yang ingin kamu isi disini. Setiap rindu mencabik diri, aku membunuhnya dengan mencaci. Begitu besarnya usahaku agar kamu tak pergi menjauh. Meski jarak terasa nyata di depan mata. Aku ingin kita tetap ada dengan rasa yang biasa.

Batasan baru telah kamu beri. Melihatmu besama yang lain, kini selalu iri. Kenapa hanya aku yang harus menderita begini? Apa cinta begitu hinanya saat aku yang rasa? Sesaat air mata turun membasahi pipi, mengering dan membuat kaku seluruh mimpi. Sesaknya memang tak terlihat, bersembunyi di dasar hati yang begitu pekat. Kamu tenggelam di dalamnya hingga aku tak sadarkan diri dibuatnya.

Matahari menerpa wajah yang kelabu. Sinarnya kini tak lagi menghangatkan tubuhku. Rupanya, ia juga kehilangan separuh yang dulu. Enggan ditanyakan, namun terlihat jelas pada paras wajah yang kelam. Seolah kebahagiaan lenyap seketika dan digantikan paitnya cinta. Tak ada perlawanan yang bisa dilakukan. Baginya, cinta juga harus mengenyam kecewa. Kadarnya harus sama, agar menjadi pelajaran berharga.

Sejak saat itu. Ya, saat jarak menguasai penuh jalanan kita yang terpisah begitu jauh. Kamu terlihat tak lagi sendiri, ada seseorang yang menemani. Tentu isak lebih dulu menghadirkan tangis. Sedu sedan sepanjang gelap malam. Sedikit pun tak menerima keadaan, segala yang terlihat beradu dengan kesedihan. Saat itu, aku ingin mati bersamaan dengan rasa sakit yang luar biasa.

Sialnya aku. Ketika rindu dibalas dengan 'peluru'. Tepat sasaran. Ia menebus hingga ke belakang tulang. Malam itu aku sudah kehilangan akal. Memeras air mata hingga kering kerontang. Sedang rindu tak pulih dan kini ditambah luka sedih. Aku tahu kamu tak akan peduli. Namun tak bisakah sebentar saja tak buatku merana? Bahkan merindukanmu penuh dengan sengsara. Jangan tambah dengan berita duka yang bisa lukai hati tanpa berperasa.


--

Menangkap cahaya menemani senja.

Menunggu kepulangan rindu yang kian mengadu.

Kau tahu,

semestinya tahu.

--

AkarasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang