Pertemuan adalah awal dari sebuah perpisahan. Dan perpisahan itulah yang akan menuntun kita pada jalan menuju masa depan. Rasa, luka, dan cinta lah yang akan mengajarkan kita bahwa pertemuan dan perpisahan adalah nyata. Kita hanya butuh bersabar untuk menunggu waktu keduanya terlaksana.
___________________&&&___________________
Flashback On...
Air mata Adiva mengalir deras saat kereta eksekutif yang akan membawa Al pulang ke Jakarta sudah berada di stasiun, Al berdiri menghadap Adiva dengan kedua tangan memegang bahu gadis itu, kedua netra mereka saling beradu, mengungkapkan segala rasa yang berkecamuk di dalam dada, rasa yang baru bersambut namun harus dimulai dengan perpisahan yang telah menanti di ujung mata, tidak hanya Adiva yang menanggung lara, Al pun merasakan hal yang sama. Namun demi masa depan, mereka harus mengikhlaskan, jika berjodoh waktu yang akan menyatukan cinta mereka dalam ikatan ikrar suci pernikahan. Sekuat tenaga Al menahan laju air matanya agar tak terjatuh, bagi Al ini bukanlah perpisahan dan ia tidak akan mengucapkan kata perpisahan pada gadis yang ia cintai yang kini tengah berdiri di hadapannya sedang berjuang menguatkan hati atas kepergian dirinnya.
Ingatan Adiva mencoba merangkum semua kisah indahnya bersama Al yang telah terajut selama 1,5 tahun ini, ia pandangi wajah Al yang khas dengan lesung pipinya saat tersenyum. Senyuman yang akan tersimpan rapat dalam relung hati terdalamnya. Sungguh Adiva tak menyangka jika jatuh cinta akan semenyakitkan ini. Jika ia tahu akan seperti ini maka ia pasti sudah menjaga hatinya baik-baik agar tidak jatuh cinta pada laki-laki di hadapannya yang berhasil menyita seluruh perasaan dan pikirannya saat ini.
"Harusnya kamu bahagia Adiva, ini semua demi masa depan kita berdua, aku berjanji setiap liburan semester aku akan mengunjungimu, jaga dirimu baik-baik," ucap Al sambil menyeka air mata Adiva yang tak berhenti menetes.
Sekuat hati Al tidak menyentuh tubuh Adiva yang terlihat bergetar karena tangisnya. Namun baru saja ia berbalik satu langkah menjauh dari Adiva hatinya tak sanggup. Raga dan hatinya menyerah. Sungguh perpisahan ini sangat menyesakkan dadanya, dengan cepat Al menarik tubuh Adiva lalu memeluknya dengan erat tanpa berucap. Air mata Al pun menetes lalu dengan segera ia hapus dengan punggung tangannya, Al merasakan debaran jantungnya dan Adiva berirama kencang secara bersamaan dengan kedekatan mereka. Namun Al segera tersadar lalu melepaskan pelukannya.
"Bagaimana bisa aku melalui hari tanpamu Al?" Gumam Adiva dengan menatap netra Al yang memerah.
"Kita pasti bisa Adiva, percayalah padaku, jaga hati ini untukku," ucap Al lalu menunjuk dada Adiva dan dadanya bergantian. Adiva hanya mampu mengangguk dengan berlinang air mata.
"Aku mencintaimu Adiva Dania Khanza," ucap Al lalu segera berjalan menuju gerbong di mana tempat kursi duduknya berada.
"Aku juga mencintaimu Aldebaran Malik, sangat," teriak Adiva sambil melambaikan tangan melepaskan kepergian Aldebaran.
Bersamaan dengan teriakan Adiva peluit kereta berbunyi nyaring hingga memekakkan telinga tanda kereta akan segera berangkat, Al membalas lambaian tangan Adiva sambil mengulas senyuman khasnya.
Berlahan kereta berjalan menjauhi stasiun Jombang hingga yang tertinggal hanya ekor kereta yang membawa raga Al menjauh, tubuh Adiva tiba-tiba merosot jatuh terduduk di lantai stasiun sambil memegangi dadanya yang terasa sangat sesak. Seketika dunianya seakan senyap, sunyi, dan sendiri. Ia sudah tidak peduli dengan orang yang berlalu lalang di depannya, bahkan panggilan Safira dari kejauhan pun tak bisa Adiva dengar, dengan terengah Safira mendekati Adiva lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat, berlahan kedua tangan Adiva membalas pelukan Safira dengan tubuhnya yang masih terdiam membeku di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Hati Satu Cinta (End)
RomanceRate 18+ Blurb Perpisahan dengan seorang sahabat terbaik beserta dengan cinta pertamanya tentulah hal yang tak mudah bagi Adiva Dania Khanza, gadis berusia 18 tahun itu. la terisak tatkala harus melambaikan tangannya melepas Aldebaran Malik pergi me...