Ramalan cuaca yang Seokjin tonton tadi pagi adalah hari ini akan cerah tanpa awan dengan suhu lebih hangat dari biasanya, mereka menyarankan untuk berpakaian lebih santai dan tidak terlalu tebal dan sangat cocok bepergian dan duduk di dekat taman sembari meneguk segelas jus.
Nyatanya hujan.
Itulah yang Seokjin pelajari, kita tak pernah mengerti alam, dari apa yang awal diperkirakan akan begitu cerah, ternyata begitu gelap dan begitu dingin, sama sekali tak ada yang menyangka.
Seperti kisahnya, ia pikir, hidupnya bersama Namjoon akan seindah langit sore dan sesejuk embun pagi dan sehangat terpaan matahari kala pagi menjelang siang. Dan berfikir bahwa hujan dan angin adalah bumbu dari perjalanannya, bumbu yang akan membawa semuanya lebih hangat, karena saat hujan turun dan suasana menjadi begitu mendung, setelah mereka melunturkan seluruh sikap egoisnya, mereka akan berkumpul di ruang tengah dengan dua cangkir kopi panas dan sepiring brownies dan menjadikan bunyi hujan sebagai nada penenang mereka saat saling menyandarkan kepala, lalu setelah angin kencang menghempaskan rumah mereka, tangan mereka akan saling tertaut, tersenyum dan merapikan kembali semua yang berteberangan menempatkannya kembali ditempat yang seharusnya.
Dan kembali merasakan indah, sejuk dan hangatnya dunia.
Tapi alam berkata lain, seolah kiamat menyapanya. Semuanya hancur, ia tak dapat kembali mengembalikan semua yang retak yang remuk dan yang hilang. Seokjin kehilangan semuanya.
"Kita memang harus berpisah."
"Kau akan masuk angin setelah ini." Seokjin menoleh sesaat setelah mendengar suara Ibunya. Ia tersenyum dan mengulurkan tangan menerima segelas teh yang Ny. Kim bawa. "Kenapa saat bertemu Jungkook, justru rinduku semakin bertambah. Ibu bahkan tidak bisa meninggalkannya saat ia tidur. Astaga, anak itu sama saja menggemeskannya seperti dulu." Senyuman lebar dan tatapan penuh kagum tercetak jelas pada wanita yang memliki kerutan di sekitar sudut mata.
"Anakku tertidur?"
"Tidur. Sangat pulas sekali setelah ia lelah bercerita panjang lebar." Seokjin tersenyum mengangguk. Mengangkat cangkir teh nya,, menyesapnya dan mendesah lega saat air hangat menyapa kerongkongannya.
"Bagaimana kabarmu? Ibu bahkan belum menanyakannya secara benar."
"Hm?" Seokjin menoleh tidak mengerti.
"Bagaimana kabarmu yang sesungguhnya? Bukan soal kesehatanmu, tapi bagaimana kabar hidupmu Seokjin-ah? Ibu adalah seseorang yang melahirkanmu, Ibu tahu bahkan dari melihat tatapan polosmu Seokjin."
Seokjin terdiam, menatap Ibunya dengan pandangan yang ia sendiri bahkan tak tahu ia tengah memikirkan apa. Tanpa sadar ia menggenggam lebih kuat cangkir tehnya, sedikit menahan nafas lalu membuang pandangan dari Ny. Kim.
"Aku pikir, setelah berpisah dengan Namjoon, semuanya akan sama saja. Ternyata semua berubah, rasanya aku terjungkil balik bahkan tak tahu bagaimana caranya berdiri lagi."
Ny.Kim pun sama, menatap lurus ke depan meneguk tehnya secara halus "Jungkook sangat lucu. Menggambarkan sebuah pernikahan lewat pemikirannya begitu polos. Pernikahan layaknya sebuah pekerjaan, jika kau sibuk dan lupa akan rumah itu hanya soal waktu, kau pasti akan pulang lalu menonton tv bersama lagi, tanpa tahu bahwa pekerjaan itu bisa membuatmu meninggalkan rumah, membuatmu pergi menjauh untuk kehidupan yang lebih baik." Ny. Kim terkekeh mengingat suara polos Jungkook.
"Dia sangat polos, mengatakan bahwa Papa dan Daddynya pasti akan berkumpul lagi dalam satu atap yang sama lalu memeluknya, mengatakan bahwa kursi makan Daddy nya akan terus diam menunggu hingga sang pemiliknya datang dan duduk kembali di singgasananya. Si kecil bilang, ia tak sabar menanti kedua orang tuanya mengambil libur agar mereka kembali menikah." Ny.Kim kembali terkekeh namun dengan suara sedikit sendu."Lalu mengatakan padaku bahwa ia akan menikah dengan Jiminie, karena temannya itu satu-satunya yang mengerti Jungkook dan selalu membelikan Jungkook sekotak susu pisang, mengatakan bahwa ia ingin tinggal serumah dengan Jimin dan bermain bersama. Cucuku sangat lugu bukan?"