Bunda membuka pintu kamar Sarah dengan pelan karena tak ingin membangunkannya. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Semua lampu di rumah itu sudah dimatikan, tersisa beberapa lampu tidur yang menyala redup di beberapa ruangan. Malam begitu mencekam. Hujan deras mengguyur di luar sana.
Sarah tertidur dengan nyenyak. Selimutnya membalut tubuhnya hingga sedagu. Sepertinya ia benar-benar kedinginan. Hujan di luar sana memang menambah dinginnya malam. Tapi Bunda tetap melangkah masuk. Ia hendak memeriksa keadaan Sarah karena khawatir dengannya.
Punggung tangan Bunda segera ditempelkan ke kening Sarah. Bunda langsung menarik tangannya begitu panas tubuh Sarah menyengatnya. Sarah mulai meracau dalam tidurnya, entah mengatakan apa. Bunda tak bisa mendengarnya. Ia semakin risau begitu tahu fakta Sarah akan sembuh berbanding terbalik dengan keadaannya sekarang.
Bunda tak tahu harus melakukan apa. Tak mungkin membawanya ke klinik terdekat karena dapat dipastikan klinik itu sudah tutup sejak pukul sembilan malam. Bunda juga tak mungkin membangunkan Ayah, apalagi membangunkan anak-anaknya yang lain. Ia masih menatap iba ke arah yang masih meracau dengan suara pelan.
Tiba-tiba senyum tipis terbit di wajah Bunda. Ia baru saja mengingat sesuatu. Ada cara sederhana yang bisa dilakukan untuk menurunkan suhu tubuh Sarah. Dengan tergopoh-gopoh, Bunda segera turun ke lantai satu dan mengambil payung yang digantung di dapur. Ia akan memetik beberapa batang dari tanaman lidah buaya di halaman depan.
Hujan masih mengguyur bumi dengan derasnya. Tapi hal itu tidak bisa menyusutkan niat Bunda untuk memetiknya. Ia harus melakukannya. Tadi Bunda teringat dengan nasehat ibunya yang juga nenek Sarah. Jika seseorang menderita demam, kompres saja dengan batang lidah buaya. Perlahan panasnya akan membaik.
***
Bunda segera kembali ke kamar Sarah setelah mengambil benda yang dibutuhkannya. Wajah dan pakaiannya sedikit basah, terciprat air hujan. Meski Bunda sudah memakai paying, tetap saja airnya bisa mengenainya karena hujannya begitu deras. Teras rumah Sarah bahkan sempurna basah. Tapi kursi dan mejanya tidak terkena cipratan airnya sehingga tidak ikut basah.
Racauan Sarah terhenti, beberapa saat setelah Bunda meletakkan batang lidah buaya yang sudah dibelah menjadi dua ke atas kening Sarah. Bunda menggantinya lima belas menit sekali dengan sabar. Ia hanya menggumamkan doa dan membisikkan harapan-harapan baik di hatinya yang ditujukan kepada Sang Kuasa, Tuhan Pemilik Semesta.
Dua jam berlalu, suhu tubuh Sarah sudah lumayan turun. Bunda menghela nafas lega. Batang tanaman lidah buaya yang dipetiknya juga sudah habis karena digunakan untuk mengganti kompresan Sarah. Bunda beranjak untuk membuat potongan-potongan batang lidah buaya yang sudah habis terpakai.
Segelas air putih menyegarkan tenggorokan Bunda yang mengering. Peluhnya menetes dari pori-pori kulitnya. Ia sekarang sedang duduk sendirian di ruang makan yang gelap. Lampunya memang sengaja tidak dinyalakan. Bunda tidak ingin mengganggu tidur anggota keluarganya yang lain.
"Bun, ngapain?"
Bunda reflek menoleh demi mendengar suara itu. Rupanya Reyhan datang dengan wajah masih mengantuk. Ia menguap lebar, namun segera ditutupnya dengan telapak tangan. Reyhan mengikuti Bunda duduk di salah satu kursi ruang makan. Ia haus, oleh karena itu ia turun ke lantai satu.
"Gapapa, bang. Haus aja. Abang sendiri ngapain?" tanya Bunda balik.
"Haus juga, bun. Tadi lupa bawa minum ke kamar," jawab Reyhan. Ia lalu menengguk segelas air putih.
Bunda tertawa mendengarnya. Ia hafal sekali kebiasaan Reyhan yang harus minum segelas air jika bangun tidur. Biasanya Reyhan akan membawanya ke kamarnya, kalau-kalau ia terbangun di tengah malam. Dulu ia tidak pernah melakukannya. Tapi ia juga lelah jika harus selalu turun ke lantai satu hanya untuk minum di tengah malam.
"Bunda belum tidur ya?" tanya Reyhan. Ia menatap wajah Bunda lamat-lamat. Bunda menggeleng.
"Engga kok," jawab Bunda. Ia tak mau menambah beban Reyhan yang sedang pusing memikirkan tugas kuliahnya.
"Jangan bohong, bun. Rey liat Bunda di kamar Sarah," ucap Reyhan. Bunda tersentak. Lalu mengangguk pelan.
"Panas lagi ya?" tanya Reyhan lagi. Bunda hanya mengangguk.
"Bunda pengen meriksain. Kasian teteh sampai ngeracau," ucap Bunda lirih.
"Klinik tutup semua lah, bun. Ke rumah sakit aja yuk?" saran Reyhan. Bunda menatap Reyhan.
"Tenang, abang yang nyetir. Ayah di rumah aja ngurusin si duo," tambahnya. Ia tersenyum menatap seseorang yang telah melahirkannya dua puluh tahun yang lalu.
"Makasih ya, bang. Bunda sayang abang," ucap Bunda sembari memeluk Reyhan dengan erat. Reyhan balas memeluk Bundanya. Ia rindu pelukan itu.
***
Bunda segera menuntun Sarah ke UGD sesampainya mereka di rumah sakit tersebut. Reyhan harus menyetir mobilnya lagi untuk memakirkan mobilnya dengan benar. Bunda segera meminta dokter jaga untuk memeriksa kondisi Sarah setelah mengurus pendaftaran. Sarah tidak punya kartu periksa rumah sakit tersebut karena Sarah adalah anak yang jarang sakit. Ia tidak pernah sampai harus dilarikan ke rumah sakit seperti ini. Klinik dokter umum yang berada di komplek perumahannya lebih dari cukup.
Berbeda dengan anak Bunda yang lainnya. Semuanya pernah menderita sakit parah. Dimulai dari Reyhan yang menderita jantung bocor saat lahir, namun Bunda dan Ayah hanya membawanya ke rumah sakit kota. Saat itu kondisi keuangan keluarga belum semapan sekarang. Dulu segalanya serba kekurangan.
Bahkan mereka tidak mampu membawa Reyhan ke rumah sakit rujukan yang berada di ibu kota Negara, Jakarta. Waktu itu Ayah dan Bunda pasrah saja dengan prediksi dokter yang menyatakan jika Reyhan tak akan bertahan lebih dari dua tahun. Namun, buktinya ia sehat-sehat saja setelah umurnya dua puluh tahun kini. Bunda dan Ayah sangat bersyukur untuk fakta satu ini.
Savna juga sempat membuat Bunda dan Ayah kembali merasakan ke khawatiran yang hebat di awal kelahirannya. Ia lahir dengan normal, namun kondisi tubuhnya sangat memprihatinkan. Ia hanya memiliki berat tubuh kurang dari dua setengah kilo saat dilahirkan. Benar-benar tidak sesuai dengan batas normal berat badan bayi ketika lahir. Hal itu membuatnya harus dimasukkan ke dalam inkubator selama tiga minggu, dan dilanjutkan dengan perawatan intensif hingga dua tahun kemudian.
Masa kecil Revan juga tak jauh dari itu. Ia pernah terserang demam berdarah saat usianya baru satu minggu. Saat itu ia segera dilarikan ke rumah sakit dan dirawat dengan pengawasan ketat. Suhu tubuhnya mencapai empat puluh derajat celsius. Tentu saja itu sangat berbahaya bagi bayi yang memiliki usia semuda itu. Bunda samoai menangis berhari-hari dan menolak untuk makan apapun sebelum kondisi Revan membaik. Benar-benar ujian yang berat untuk orang tua seperti Ayah dan Bunda. Terlebih lagi Revan lahir dengan cara yang berbeda. Ia lahir dengan cara Bunda harus dioperasi cesar dulu.
***
"Ini gak papa, bu. Suhunya tiga puluh delapan derajat. Sudah berapa hari, bu?" Dokter yang memeriksa Sarah bertanya kepada Bunda.
"Tadi malam saya sempat ngecek sampai empat puluh satu dok, saya khawatir sekali. Baru satu hari," jawab Bunda.
"Satu hari, bu? Sebaiknya tidak langsung rawat inap. Rawat jalan dulu saja," jelas dokter itu.
"Ini saya beri resep obat. Kalau tidak membaik dalam waktu tiga hari, ibu kembali ke sini. Kami akan memberi penanganan lanjut," tambahnya sembari memberikan secarik kertas kepada Bunda.
Bunda mengucapkan terima kasih, lalu beranjak pergi dengan menuntun Sarah yang masih lemas. Reyhan segera mengambil alih peran Bunda untuk menuntun Sarah masuk ke mobil karena Bunda harus menukar resep obat yang diberikan dokter ke bagian farmasi rumah sakit tersebut.
***
Hola !! Akhirnya I am comeback
Ada yang kangen gak nih sama cerita Sarah dkk ??
Jangan lupa VOTE dan COMMENT yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of 10 Days
FanfictionKorona oh korona, bikin gak bisa jalan kemana-mana. Sarah sampai uring-uringan di rumah. Anak rantau yang pulang kampung, malah gak bisa jalan-jalan sesuai keinginan. Ditambah sama temen2nya gak jelas semua. RECEH !! Fanfiction? Bisa iya bisa bukan.