Bandung, 2010.
Seorang anak perempuan memegang kuat tali ayunan. Teriakan ketakutan dan kesal ia kerahkan pada anak lelaki yang sedang tertawa senang mendorong ayunan.
"Askar! Jangan kuat-kuat! Askar!"
"Hahaha, apa sih Sya? Ini tuh pelan tau!"
"Pelan buat Askar doang! Udah ih!" Arsya rasanya ingin menangis. Sedangkan Askar terus tertawa senang. Sampai ketika pengait ayunan terlepas dan jatuh. Arsya jatuh dan tertimpa tiang ayunan. Tangisan Arsya menggema di taman sore itu. Tawa Askar berhenti detik itu juga. Panik dan cemas.
"Arsya!"
"Askar! Tolongin Arsya. Punggung Arsya sakit hua!" panggil Arsya kesakitan. Kursi dan tiang ayunan itu tepat menimpa punggung Arsya yang terjatuh telungkup. Askar berlari dan berusaha mengangkat ayunan itu. Tapi, nihil. Kekuatan seorang anak kecil yang masih menduduki tingkat dasar kalah dengan bobot ayunan besi itu. Tangisan Arsya bertambah keras kala tangannya tergores sesuatu dan berdarah. Askar bertambah bingung dan cemas. Taman sore itu sepi, tak ada seorang pun yang lewat. Jarak taman dan komplek perumahan mereka pun terbilang jauh.
"Arsya, tahan bentar dulu ya? Askar cari bantuan dulu," ucap Askar diselingi dengan nada cemas.
Arsya menggeleng dan berteriak. "Gak mau! Punggung Arsya sakit! Huaaaa!!!"
"Tapi Askar gak kuat ngangkat ayunannya."
"Askar jahat! Tolongin hua! Bundaaa!!!"
"Ma—"
"Aku bisa tolong."
Askar menoleh. Seorang anak perempuan dengan rambut ikal panjang yang indah berdiri di sampingnya. Askar terpukau pada mata anak perempuan itu. Hitam pekat. Sebuah jepit kupu-kupu juga tersemat di rambut ikal alaminya. Anak perempuan itu benar-benar cantik.
"Halo?" anak perempuan itu melambaikan tangan ke arah Askar. Ia mengernyit sedari tadi melihat Askar yang diam saja sambil menatap dirinya. Askar mengerjap. Tersadar kembali. Tiba-tiba, ia merasa ada yang janggal. Suara tangisan Arsya tak terdengar lagi. Askar menoleh dan membelalak mendapati Arsya pingsan. Buru-buru ia mengangkat ayunan itu agar dapat membebaskan Arsya yang pingsan.
"Kamu angkat dari sebelah sana, aku dari sini. Ayo, temen kamu nanti badannya tambah sakit," perintah anak perempuan itu. Askar mengangguk, yang ia hanya pikirkan adalah Arsya yang pingsan dengan tangan yang berdarah. Untung saja, ayunan besi itu tidak terlalu berat dan besar. Masih bisa diangkat oleh dua anak kecil. Setelah beberapa menit, akhirnya ayunan itu terangkat juga dan berpindah tempat. Askar menghampiri Arsya dan berusaha membangunkannya.
"Arsya bangun Sya! Maafin Askar. Askar nakal. Ayo, bangun. Nanti Arsya bisa pukul Askar semaunya. Askar juga bakalan beliin boneka panda yang banyak," celoteh Askar. Rasa bersalah semakin dirasakan Askar.
"Kamu hapal nomor ponsel orang tua kamu gak?"
Askar menoleh kembali, lalu mengangguk. "Iya, kata Mom harus hapal nomor ponsel Mom. Kenapa?"
Anak itu mengangguk dan merogoh sesuatu di tas kecilnya. Askar baru menyadari jika anak perempuan itu memakai baju sekolah. Sebuah ponsel terarahkan pada Askar. "Ini. Telpon mama kamu. Temen kamu harus dibawa ke rumah sakit. Lukanya parah tuh."
Tangan Laskar terjulur mengambil ponsel itu. "Makasih. Kamu sekolah? Ini kan minggu."
"E-enggak kok. Udah telpon mama kamu dulu," jawab anak perempuan itu. Askar mengernyit melihat kegugupan di wajah anak itu. Tapi ia tak ambil pusing. Askar menekan tombol ponsel dan segera menelpon mamanya, mengabari keadaan Arsya dan lokasi mereka sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laskarsya
Teen Fiction"Dia itu ibarat jantung gue. Sumber detak kehidupan gue. Dia paru-paru gue. Sumber napas gue. Kalo dia kalah, sama aja gue mati."-Laskar "Selagi kosong dan gak menyakitkan, kenapa gak?"-Arsya