"Kemarin kamu berjanji, tapi hari ini kamu pergi."
***
Kepala Arsya mau pecah rasanya, menghadapi ribuan soal dihadapannya. Oke berlebihan. Setelah kembali dari Uks, usai mengurus Laskar, Arsya bermaksud mengerjakan tugas yang ia belum kumpulkan. Namun, apadaya, ketika sang ketua kelas mengumumkan akan ada ulangan Fisika setelah istirahat, yang mana tinggal 10 menit lagi. Langsunglah Arsya bergegas mencari buku fisikanya yang hilang entah kemana. Setelah menemukan catatan fisikanya yang ternyata berdiam diri di kolong meja Amy. Tidak usah tanyakan bagaimana bisa bukunya bersemayam disana. Bel berbunyi panjang, yang artinya neraka sekolah dimulai.
"Ini apa sih maksudnya?" ujar Arsya kebingungan. Kepalanya ia tolehkan ke belakang, tempat Ririn duduk. Kepala Ririn tertunduk dengan pena yang ia selipkan di telinga. Tangannya sibuk menggaruk pelipis. Arsya menendang meja Ririn dengan kakinya, berharap Ririn memandangnya. Beruntung! Ririn mendongak dan menatap Arsya bingung. Bergegas Arsya menanyakan soal yang tak bisa dijawabnya tanpa suara pada Ririn, takut ketahuan oleh guru fisika-Bu Amel, yang mana mempunyai telinga yang sangat tajam. Tenang, Arsya dan Ririn seperti mempunyai wangsit, jadi mereka akan tau maksud dari ucapan yang dilontarkan walau tanpa suara.
"Rin, udah belom soal no 3? Gue gak ngerti rumus air bocor dari ember. Lo tau gak? Kan lo pinter matematika, taulah ya!"-ujar Arsya. Setelah menangkap maksud Arsya, Ririn pun membaca soal yang dimaksud. Tampak kerutan mendominasi ekspresi Ririn saat ini. Lantas ia mendongak dan menggeleng.
"Gue emang bisa matematika tapi bukan berarti gue bisa fisika! Mana taulah gue rumus air bocor dari ember! Kalo rumus bangun segitiga dicampur bangun trapesium, gue bisa!"-jawab Ririn. Arsya menghela napas kecewa.
"Jadi gimana dong?"
"Tuh lo tanya aja sama Amy. Dia kan otaknya air bocor dari ember. Kali aja dia udah habis nanya dari si Apis!"-suruh Ririn sambil menunjuk Amy yang sedang-mungkin-menyalin-jawaban dari kertas Hafizh—yang biasa Ririn panggil—Apis. Arsya mengangguk mengerti. Ia merobek kertas dan meremuknya. Lalu dilemparkannya ke arah Amy yang duduk tepat disampingnya walau beda meja dan barisan. Pluk! Kertas yang dilempar Arsya mengenai lengan Amy. Namun, Amy tampak tak terganggu atau malah tidak sadar. Arsya mengeram kesal. Diambilnya tutup pena dan dilemparkan ke arah Amy. Kali ini mengenai kepala Amy. Amy mengaduh kesakitan dan berteriak.
"Ini siapa sih yang lempar tutup pena?! Sakit tau! Kalo mau nanya jawaban tinggal panggil gak usah pake acara lempar segala!" rutuk Amy sambil mengambil tutup pena yang ada di bawah kursinya. Arsya mengumpat dan menunduk.
Amy bodoh!!! Nyesel gue! Duh, pakek acara teriak segala lagi! Kalo didenger Bu Amel tamat hidup gue. Mana ada nama gue lagi di tutupnya! Amy sialan!!!!!!!-umpat Arsya.
"What is that? Is there something wrong? Ada apa Amy? Kenapa kamu teriak? Tell me what happen now!" tegas Bu Amel dengan bahasa inggrisnya. Maklum keturunan Belanda. Arsya gelagapan. Ia menoleh dan melihat Amy yang sepertinya belum sadar situasi.
"Ini Bu ada yang lempar tutup pena ke saya," adu Amy. Arsya merutuk dan mengumpati kebodohan Amy yang haqiqi. Bu Amel mendekat ke meja Amy dengan langkah anggun. "Jujur siapa yang lempar tutup pena ke Amy?" tanyanya dengan menatap seisi kelas yang saling toleh menanyakan siapa yang melempar tutup pena. Arsya menunduk dan menutupi wajahnya. Pura-pura fokus menjawab soal padahal jantung udah senam aerobik.
"Eh tunggu Bu! Ini ada namanya. Namanya...Ars—ergghhhhhh gak ada buk!" seru Amy panik setelah membaca nama pemilik tutup pena. Matanya melihat ke arah Arsya yang sudah melotot. Kini ia baru sadar situasi. Bu Amel mengernyit dan berdiri di samping Amy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laskarsya
Roman pour Adolescents"Dia itu ibarat jantung gue. Sumber detak kehidupan gue. Dia paru-paru gue. Sumber napas gue. Kalo dia kalah, sama aja gue mati."-Laskar "Selagi kosong dan gak menyakitkan, kenapa gak?"-Arsya