Lelaki bermata hazel dengan bola mata yang cerah, mengusap dahinya yang dihujani keringat. Sesekali ia menutup matanya yang terasa silau. Wajahnya memerah kepanasan dengan tangan yang setia pada posisi hormat. Di jarak yang agak jauh darinya duduklah lelaki paruh baya dibawah rindangnya pohon beringin.
"Lima belas menit lagi. Setelah itu kamu boleh pergi ke kelas," katanya sambil melirik arloji di pergelangan tangannya. Laskar mencebikkan bibir mendengar itu. Akibat dari kelakuannya yang bolos sambil memperhatikan Arsya olahraga, berdiri dan hormat pada tiang bendera dengan pancaran sinar matahari yang menyengat, menjadi hukumannya kali ini. Entah bagaimana guru kimianya itu bisa menemukannya di lantai satu yang notabene-nya bila menuruni tangga akan membuat pinggang gurunya itu encok dan akan pergi ke uks yang berada di lantai dua.
"Pak saya mau pingsan nih. Sudah dong hukumannya. Bapak mau gendong saya ke uks kalo pingsan?" teriak Laskar. Berharap gurunya itu akan berbaik hati membiarkannya pergi ke kantin dan mengalirkan air sejuk ke tenggorokan.
"Nggak! Saya tau itu cuman akal-akalan kamu aja! Sudah diam saja kamu. Tinggal lima belas menit lagi, bentar!" balas teriak Pak Kamal. Kumis tebalnya tampak bergerak ke kiri dan kanan. Kemudian ia melanjutkan acara membaca laporan kegiatan siswa tentang materi kimianya tadi. Laskar geram sekali. Hampir saja ia berlari sekuat tenaga dan menabrakkan dirinya pada mobil yang lewat di depan sekolah. Percobaan bunuh diri yang hampir saja.
"Pak, saya beneran haus nih. Gak bohong deh. Bapak bisa raba tenggorokan saya yang kering nih!" teriak Laskar sekali lagi. Kali ini ia benar-benar jujur. Tenggorokannya kering bagaikan gurun sahara. Namun, respon yang ditunjukkan gurunya membuat Laskar ingin melompat terjun dari gedung lantai lima puluh. Percobaan bunuh diri kedua yang hampir saja. Akhirnya, demi menyelamatkan tenggorokannya yang semakin kering, Laskar memutuskan diam dan menjalankan hukuman dengan tekun walau rasanya ia akan pingsan saat itu juga.
Matahari semakin menyengat, membakar kulit siapa saja yang berteduh di bawahnya. Tapi, Pak Kamal tak juga kunjung menyuarakan bahwa lima belas menit telah berlalu. Ia masih saja sibuk dalam keseriusannya. Laskar menghela napas lelah. Tenggorokannya benar-benar kering nan kesat apabila diraba. Kepalanya juga berdenyut hebat,tak kuasa menahan hantaman pening yang menggebu. Entah sudah berapa lama ia berdiri di tengah lapangan.
"Hahh.. ," napas Laskar lemah. Mungkin efek haus yang menyergap tubuhnya.
Si kumis ngapain sih? Kabarin kek kalo udah lima belas menit! Gak tau apa dia tenggorokan gue kering kek gurun sahara gini! -batin Laskar. Matanya sudah berkunang-kunang dengan rasa pening yang berdenyut hebat. Tiba-tiba, Laskar merasa ada cairan hangat yang turun dari bawah hidungnya. Terasa kental dan amis. Setelah diraba, itu darah. Ya darah. Laskar mimisan. Napas Laskar putus-putus. Ia tak salah lihat kan? Ini beneran darah? Namun setelah diteliti lagi itu memang darah. Satu fakta tentang Laskar.
Ia benci darah.
Bruk!
Laskar pingsan.
***
"Lo gak bilang ke gue kalo Laskar dihukum! Coba lo bilang, gue bisa bantu ngomong sama Pak Kamal! Sekarang lihat, Laskar mimisan dan pingsan! Lo kan tau kalo dia gak bisa berdiri lama di bawah panasnya matahari! Sebel gue!"
"Sorry.. Sya. Gue gak maksud. Tadi gue buru-buru ke kantor nemuin Bu Lisa. Gak kepikiran buat hubungin lo. Sorry!"
"Giliran aja, nemuin guru seksi gercep lo! Lah giliran sahabat dihukum lupa diri lo!"
"Sya.. gak.. gi—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Laskarsya
Ficção Adolescente"Dia itu ibarat jantung gue. Sumber detak kehidupan gue. Dia paru-paru gue. Sumber napas gue. Kalo dia kalah, sama aja gue mati."-Laskar "Selagi kosong dan gak menyakitkan, kenapa gak?"-Arsya