6. Menelan Kenangan

49.9K 3.7K 164
                                    

Usai pembicaraan dengan Moza berakhir, Arsen melahap habis potongan croissant di piringnya lalu meneguk sisa latte-nya yang sudah dingin.

Sial! Bahkan sampai pesanannya habis tak bersisa, Mia belum juga kelihatan. Ia pun menutup tab beserta wireless keyboard-nya. Cuti jelas merupakan basa-basi baginya yang menduduki posisi marketing di salah satu perusahaan farmasi yang berkantor pusat di Amerika.

Rentetan email dan telepon dari kantor pusat, cabang, mau pun rekanan bisnis masih menerornya. Meski selalu diawali dengan kata "sorry" karena telah mengganggu cutinya, tetap saja tidak mengurangi volume issue yang harus ditanggapinya.

Mata Arsen mengamati sekitar. Orang-orang sedang menikmati kopi sembari bercengkrama dengan teman atau kolega mereka. Arsen mendesah pelan.

Bodoh, pikirnya. Kedai ini bahkan bisa berjalan baik tanpa si pemilik harus bertandang ke sini setiap hari. Namun, lagi-lagi Arsen tidak tahu cara apalagi yang harus ditempuhnya untuk bertemu dengan Mia. Menghubungi nomor manajer Mia yang tertera di bio instagram gadis itu? Memangnya Arsen mau jadi klien? Atau ..., Arsen harus mempertimbangkan pilihan itu sekarang?

Jangan norak, Sen! Gini aja lo udah nyaris kayak stalker Mia. Jangan sampai lo dilaporin karena perbuatan tidak menyenangkan.

Arsen berdecak. Heran dengan dirinya sendiri yang mendadak sempat memikirkan hal-hal manusiawi seperti ini. Biasanya, otaknya dipenuhi target dan pencapaian. Hidupnya selalu lurus. Karena itu, mendadak normal dan ribut soal perasaan seperti ABG, agaknya membuatnya merasa konyol.
Dan dari semua kekonyolan ini, yang paling konyol adalah gagasan bahwa ia masih ingin bertemu Mia.

Untuk apa? Duduk manis mengobrol soal perpisahan mereka sepuluh tahun lalu? Yang mungkin oleh Mia dianggap sebagai putusnya cinta monyet biasa? Atau memastikan perasaannya terhadap Mia sebelum ia benar-benar menjalani pernikahan dengan Moza?

Lama bergulat dengan pikirannya, Arsen memutuskan untuk beranjak dari tempat itu. Ia bejalan keluar menuju Range Rovernya yang terparkir tak jauh dari kedai.

Tepat saat memasuki mobil, nada dering ponselnya menyeruak. Dilihatnya nama yang tertera di sana, kemudian mengangkatnya.

"Halo, Ren?" sapa Arsen pada adiknya.

Terdengar isakan dari ujung sana. Arsen yang semula bersiap menyalakan mesin, menghentikan kegiatannya.

"Kamu kenapa?" tanya Arsen.

"Kak Enand. Dari semalem nggak bisa dihubungi," ujar Irene tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir dan suara sesenggukan.

Arsen menggertakkan gigi. "Kenapa lagi tuh anak?"

****

Mia memotret air mancur mewah yang menyegarkan suasana lobi hotel, lalu memperbarui story-nya. Tak lupa juga ia menambahkan titik lokasi. Sekitar sepuluh menit berlalu sejak ia tiba dan diminta menunggu terlebih dulu. Di sampingnya, Tonny tengah merapikan rambutnya yang baru saja di-blow. Mia tersenyum melihat aksi manajernya itu. Yang akan dipotret adalah dirinya, tapi sejak tadi, yang heboh mempersiapkan penampilan justru Tonny.

Dengar-dengar, jadwal pemotretan Mia bersinggungan dengan jadwal Finn, model cowok yang cukup manis dan seksi. Sayang sekali Mia tidak dipasangkan dengan cowok itu, keluh Tonny sejak mereka menerima job ini. Padahal, tema pemotretan Mia kali ini adalah untuk series baju tidur paket honeymoon. Namun alih-alih bersanding dengan pria, Mia justru hanya akan melakukan pose solo di kamar suite yang didesain layaknya kamar pengantin.

Meski begitu, Tonny, cowok kemayu itu masih bersikukuh untuk menampilkan sosok dirinya yang terbaik.

"Paling nggak, gue nggak berantakan pas kita papasan nanti, Dear," kata Tonny yang kini sudah memasukkan cermin ke dalam tasnya.

Tak lama kemudian, seorang cowok bertubuh pendek menghampiri mereka. Kehadirannya membuat Mia dan Tonny bangkit dari sofa.

"Sorry agak lama. Bisa langsung mulai sekarang?" tanya cowok bernama Agam itu, setelah menjabat tangan Mia dan Tonny

Senyum Mia dan Tonny mengembang, kemudian keduanya mengangguk hampir bersamaan. Mereka bertiga akhirnya menuju kamar 118 yang terletak di lantai empat. Saat keluar lift, Tonny tidak bisa menyembunyikan senyum kikuknya ketika mendapati Finn berdiri menunggu lift terbuka dan terlihat mengibaskan rambutnya.

"Gue cabut dulu, ya?" sapa Finn terhadap Agam.

"Oke. Thank's Finn," balas Agam sambil menepuk bahu Finn yang kala itu hanya mengenakan kaos tanpa lengan.

Finn tersenyum, yang selain ditujukan untuk Agam, juga ditujukan untuk Mia dan Tonny yang saat itu keluar dari lift.

"Tuh kan apa gue bilang, kita pasti papasan sama doi!" bisik Tonny sambil menyikut Mia.

"Papasan doang. Nggak ada efek ser-ser-annya sih kalo buat gue," celetuk Mia.

Akhirnya, keduanya memasuki ruangan. Nuansa romantis dan sedikit sensual langsung terasa ketika menatap property ruangan. Kamera, tripot, lighting, dan tim sudah siap. Tonny segera membedah kopernya dan memberikan setelan pertama yang akan dikenakan Mia. Usai Mia bersiap, pemotretan itu pun dimulai.

****

"Oke, satu lagi. Agak ke kiri ..., done!" seru Rian, si fotografer setelah Mia menyelesaikan pose terakhir sesuai arahannya.

Cowok itu memeriksa jepretannya dengan saksama lalu menunjukkannya kepada Mia dan Agam. Setelah oke, ia mematikan kamera beserta lighting.

"Gue edit dulu kayak biasa. Besok gue kirim," kata Rian seraya memasukkan kamera ke dalam tas.

"Oke. Thank you buat hari ini," ujar Agam kepada Rian juga Mia.

Dalam waktu sekejap, peralatan pemotretan telah rapi dan siap untuk diangkut. Tangan Rian dan asistennya membereskan semuanya dengan gerakan taktis.

"Gue langsung aja, ya." Rian mengalungkan tas kamera di lehernya. "See you next project," katanya sebelum akhirnya meninggalkan ruangan lebih dulu bersama asistennya.

Mia menoleh kanan-kiri. Tinggal dirinya dan Agam. Entah ke mana si manajer genitnya.

"Tonny ke mana?" tanya Mia.

"Ke bawah. Katanya sih beli rokok. Gue kasih punya gue, dia bilang nggak level," sahut Agam disertai tawa.

Mia memutar bola matanya, lalu mendengus.

"Ini dia naruh baju gue di mana lagi? Risih nih lama-lama pake ginian."

Agam menggaruk kepalanya. "Paling bentar lagi juga balik. Atau lo telepon aja. Teriakin ada cowok ganteng di sini. Pasti langsung ngibrit balik," ujar Agam kemudian meninggalkan Mia untuk ke toilet.

Mia mencoba memilah-milah beberapa setelan yang dibawa Tonny. Ia hanya membalut tubuhnya yang masih mengenakan gaun tidur pemotretan, dengan handuk.

Belum sempat Mia menemukan baju yang tadi ia gunakan saat menuju hotel, terdengar sebuah ketukan berasal dari pintu. Ia mengangkat kepalanya. Itu pasti Tonny, pikir Mia. Ia menghentikan aktifitas mencari bajunya, dan segera menghampiri pintu. Lebih baik ia bertanya Tonny daripada isi tasnya semakin berantakan karena baju yang ia cari tak kunjung ditemukan.

----------------------------------------to be continued

Arsen oh Arsen, yok diurus dulu yok adeknya yang badung...

Urusan Mantan dan Mba Tunangan nanti dulu.

Anyway, adakah yang bisa nebak siapa yang mengetuk pintu??

HEROIN (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang