35. The Guardian

21.4K 2.1K 1.4K
                                    

Arsen berjalan menuju ruang inap vvip sebuah rumah sakit dengan langkah tergopoh. Begitu masuk, beberapa pasang mata mengarah kepadanya.

Pandangan Arsen beralih ke sosok yang terbaring di tempat tidur. Lemah dan terpejam. Hatinya mencelos melihat selang infus yang menusuk kulit lelaki itu.

Arsen menoleh ke perempuan yang duduk di sebelah tempat tidur.

"Kenapa aku yang paling terakhir tau kalo Papa masuk rumah sakit?" tanya Arsen pada Kazi.

"Gimana mau tau duluan, lo nya sibuk sama Mia." Alih-alih mendengar suara ibu tirinya, telinga Arsen justru menangkap suara Moza. Gadis itu sedang duduk di sofa berwarna abu-abu yang menghadap televisi.

"Moz, aku nggak--" Arsen hendak menjelaskan bahwa semalam dirinya juga jatuh sakit, bahkan pagi hari ini ia datang agak siang ke kantor. Namun, penjelasan sepertinya bukan hal yang dibutuhkan sekarang.

Ia pun mengurungkan niatnya. Selain Arsen dan Moza yang bicara, di ruangan itu juga terdapat Kazi dan Irene yang seperti enggan menatap ke arahnya.

Tangan Arsen mengepal. Ia membaca catatan medis yang tertulis di papan, yang tertempel di ujung tempat tidur. Bahkan bertanya bagaimana keadaan papanya pun sepertinya sia-sia.

Mata Arsen kembali tertuju pada Moza, yang sepertinya juga baru pulang kerja. Ia meraih tangan sahabatnya itu, bermaksud untuk mengajaknya bicara di luar.

"Sopan sedikit! Nggak selalu semua orang bisa kamu ajak ngomong semau kamu!" Moza menarik tangannya dari genggaman Arsen.

Mata Arsen menyipit menatap Moza. "Kenapa kamu nggak balas pesan aku? Mia bilang kamu nelpon aku tadi pagi. Kenapa aku harus tau dari Ndaru kalo Papa masuk rumah sakit? Bukan dari  keluarga aku atau kamu?"

"Tanya sama diri kamu sendiri. Kenapa mereka begitu sama kamu." Moza berdiri, meraih tasnya. Ia melirik Kazi dan mengangguk sopan. "Aku balik duluan, Tante."

"Hati-hati. Makasih udah nyempetin datang, Moz," balas Kazi dengan suara lembut.

Moza tersenyum tipis. Kemudian tanpa memedulikan Arsen, ia berjalan keluar ruangan.

"Moz! Moza!" Arsen menyusul gadis itu dari belakang. "Moz, tunggu!" Arsen meraih bahu Moza, membuat wanita itu berhenti dan memandangnya malas.

Namun, sesuatu yang sedari tadi tertahan di tenggorokannya mendadak mendesak keluar ketika melihat tampang innocent Arsen yang seolah menjadi bagian paling menderita dalam peristiwa ini. "Mungkin kamu mikir aku beban kamu. Mungkin bagi kamu, aku villain di kisah cinta kamu sama Mia. Because I tied you with this stupid engagement."

"Nggak gitu, Moza." Suara Arsen terdengar melunak.

"Tapi kenyataannya itu yang kelihatan dari sikap kamu." Moza menatap Arsen tajam. Menelanjangi tiap sisi kemunafikan Arsen yang memuakkan dan makin sulit dipahami. "Kamu seolah lupa kalo pertunangan ini juga terjadi atas persetujuan kamu. Kalo kamu beneran peduli, harusnya kamu bisa jaga komitmen. Tahan dong cewek kamu supaya privasi kalian nggak seliweran di internet. Tahan dong ego kamu buat nggak sayang-sayangan di depan publik. Udah tinggal serumah, 'kan sekarang?"

Arsen tidak menjawab. Namun, juga tidak menyangkal.

Moza membuang muka, tertawa sinis. "Dua bulan." Ia kembali menatap Arsen. "Sisa waktu kita. Atau kamu mau kita selesai sekarang? Toh semuanya udah kacau. You know that you..." kalimatnya mendadak terputus. Kepalanya menggeleng. "Aku nggak bisa ngomong sama kamu sekarang. Demi dua puluh tujuh tahun kita, aku nggak mau kita berantem dan berakhir benci satu sama lain."

HEROIN (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang