34. Asing

21.9K 2.1K 872
                                    

Moza berjalan dengan stiletto-nya memasuki kafetaria di lantai bawah gedung kantor Arsen. Sejak kepulangan Arsen dari pulau, keduanya baru sempat bertemu siang ini.

Gedung kantor Arsen hanya terdiri dari empat lantai, khusus dimiliki oleh perusahaan tempat Arsen bekerja, tidak berbagi dengan perusahaan lain.

Untuk gedung yang hanya ditempati satu insatansi seperti ini, level jabatan sekelas Arsen jelas dikenali semua orang. Mulai dari security sampai koki di kafetaria.

Beberapa pasang mata mencuri pandang ke arah Moza. Mereka seolah ingin mengamati lebih detil, apa yang kurang dari wanita cantik dan anggun seperti ini, hingga kabarnya diselingkuhi oleh tunangannya itu, yang tidak lain adalah salah satu manajer di kantor itu.

"Orang kantor kamu ngelihat aku kayak ngelihat hantu," ungkap Moza ketika sampai di meja tempat Arsen menunggunya.

Arsen mengaduk cappuchino yang tadi dipesannya. "Sorry. Udah bikin kamu nggak nyaman."

Ia kemudian menyodorkan secangkir white tea ke arah perempuan itu. "Aku pesenin buat kamu. Kalo nggak cocok, aku pesenin lagi," katanya, padahal Arsen tahu betul Moza adalah penggemar minuman itu.

Moza melirik minuman itu sekilas, kemudian melipat kedua tangannya. "Nggak usah. Lagi pula aku cuma sebentar," balasnya.

So what dari Miles Davis mengalun menemani siang santai pengunjung kafe.

Moza menyibak rambut pendeknya yang menyentuh bahu, lalu mulai bicara. "Waktu berita itu tersebar, aku nggak kaget sama sekali. Aku malah bertanya-tanya, setelah ini apalagi?" Moza tersenyum sinis. "Berita kamu sering nginep di tempat dia? Kalian kawin lari? Mia hamil? Sex tape kalian tersebar?"

"Kami nggak kayak gitu, Moz!" Arsen menyela ucapan Moza.

"Bukannya semua ini berurutan? Aku nggak salah, kan? Itu memang tahapannya." Moza tidak mau kalah.

"Jadi kamu ke sini cuma untuk mojokin aku?" Suara Arsen meninggi.

"Memangnya kamu berharap apa? Kita duduk santai ngomongin tanggal pernikahan? Diskusi bakal pakai vendor mana buat acara nikahan?" Moza berdecak. "Kamu bikin aku ada di posisi yang sama-sama berat, tau nggak? Di satu sisi aku menghormati Om Erass, berusaha supaya beliau nggak kehilangan dukungan. Seperti yang kamu bilang waktu itu, untuk nggak menyia-nyiakan perjuangan kita. Di satu sisi, aku nggak bisa maksa ayahku supaya terus-terusan ada di pihak Om Erass. Sementara kamu asyik main rumah-rumahan sama Mia."

"Kalo gitu pilih ayah kamu. Biarin dia dengan keputusannya, pindah haluan." Suara Arsen terdengar santai.

"Segitu nggak pedulinya kamu sama nasib papa kamu, Sen?"

"Aku cuma ngomong apa adanya," jawab Arsen datar.

Mata Moza menyipit. Gadis itu tertawa, tidak habis pikir.

"Aku capek, Moz. Dari dulu sampai sekarang, selalu jadi pion Papa sama Ayah kamu. Urusan kita berantem waktu kecil aja, ayah kamu malah ngaitin itu sama hubungan bisnis mereka. Aku nggak boleh salah."

"Kenapa bahasan kita jadi melebar ke yang dulu-dulu sih?"

"Karena emang masalah kita akarnya udah dari dulu."

HEROIN (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang